Abdul Manan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai kekerasan terhadap jurnalis perempuan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Mulai dari kekerasan fisik, verbal, psikis, pelecehan seksual, maupun doxing.

”Seiring pesatnya teknologi digital, kekerasan berbasis online juga meningkat.”

Berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, setidaknya lebih dari 350 kekerasan berbasis gender online terjadi pada rentang Januari-Mei 2020. Sedangkan, angka kekerasan terhadap perempuan pada rentang yang sama mencapai 892 kasus.

Alsih Marselina Jurnalis Sultengnews.com, ceritakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum kepolisian kala ia meliput demo Undang-Undang Cipta Kerja pada 8 Oktober lalu.

“Pasca kejadian, saya berada di rumah untuk menenangkan diri karena sempat trauma seperti orang kebingungan,” terangnya.

Dukungan dari teman kantor dan keluarga yang ia yakini membantunya pulih dari trauma.

Kekerasan lain juga dirasakan Ira Rachamawati, Editor Kompas.com. Ia mendapat kekerasan verbal berisi ancaman pembunuhan dan perkosaan. Kekerasan itu ia terima pasca meliput demo tolak tambang di Banyuwangi.

Dalam diskusi virtual ini Ira ceritakan, malam itu ia merasa gerak-geriknya diawasi. Tengah malam tiba, mendarat sebuah pesan singkat ke telepon genggamnya—diikuti dengan panggilan telepon.

“SMS [Short Message Service] itu berisi ancaman pembunuhan dan perkosaan. Malam itu juga, saya memutuskan untuk mematikan semua ponsel dan telepon. Pukul 4 pagi, saya memutuskan untuk ke luar rumah.”

Hari itu Ira memilih untuk tak pulang ke rumah. Ia mendatangi kantor kerjanya untuk melaporkan kekerasan yang ia terima dengan tangkapan layar pesan tersebut sebagai bukti. Selain itu, ia juga laporkan hal ini ke AJI Jember. Namun, ia memilih tak melapor ke kepolisian karena dirasa masih rancu.

Ira mengaku sempat mengalami trauma psikis setelah itu. Menurutnya, tak ada berita seharga nyawa. Pasca kejadian, ia memilih di rumah saja selama dua minggu.

“Aku pikir trauma itu ada ya. Kalau udah ada kaitan dengan tambang itu, aduh. Terus kalau ada SMS enggak pernah aku baca, telepon pun juga begitu,” terangnya.

Lain cerita dengan Ika Ningtyas, Jurnalis Tempo.co. Ia mengalami kekerasan berupa doxing. Doxing adalah kegiatan melacak dan membongkar identitas seseorang atau menyebarluaskannya tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Kasus ini berawal ketika tim cek fakta tempo menerbitkan empat artikel hasil verifikasi terhadap klaim dokter hewan terkait Covid-19 yang kadung tersebar luas dan dapat menyesatkan.

“Rentang April sampai Agustus, saya dan tim menerbitkan sekitar empat artikel untuk membantah status-status yang ditulis oleh dokter hewan ini yang sudah viral. Tidak satupun status dia itu yang benar,” tegas Ika.

Diskusi ini digelar AJI bertepatan dengan peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada 25 November. Kata Abdul Manan, tujuan diskusi ialah membangkitkan kesadaran publik dan pengambil kebijakan terkait kekerasan yang dihadapi jurnalis perempuan.

Reporter: Mulia Natasya

Editor: Annisa Febiola