Taufiq Siddiq, salah satu Wartawan Tempo rasakan kehidupan pers mulai berbeda, sejak Desember tahun lalu. Saat itu, media mulai beritakan isu Virus Corona, namun masih skala internasional. World Health Organization (WHO) nyatakan fenomena tersebut sebagai Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19 pada awal 2020. Presiden Joko Widodo umumkan kasus positif Covid-19 pertama Indonesia dua bulan setelahnya.
Taufiq katakan, pers mahasiswa atau persma sebagai jurnalis dituntut peka terhadap isu pandemi dari sudut pandang berbeda. Di antaranya terkait protokol kesehatan, Standar Operasional Prosedur keuangan, dan sterilisasi area. Lalu program dari rektorat menyoal pembangunan, infrastruktur dan jumlah penerimaan mahasiswa baru. Juga menyangkut proses perkuliahan dan kualitas lulusannya.
Pasal 1 Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 199 Tentang Pers menyebutkan, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Mulai dari mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Bentuk melalui tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik. Sedangkan medianya berupa cetak ataupun elektronik dan jenis saluran yang tersedia.
Menurut Taufiq, media merupakan salah satu aspek yang terdampak akibat wabah ini. Oleh karenanya, menjadi tantangan bagi media sebagai penyebar informasi. Mulai dari shock issue yang berakibat pada kegagapan jurnalis. Banjir  informasi mengakibatkan informasi cepat menyebar lewat media sosial.
“Sebagai seorang jurnalis, harus bisa masuk dalam arus banjir informasi. Mana informasi benar, mana yang keliru,†tuturnya.
Physical Distancing merupakan imbauan untuk menjaga jarak fisik antarmanusia. Imbasnya, observasi dan verifikasi dalam liputan tidak maksimal. Wabah Covid-19 menyebabkan banyak narasumber enggan diwawancarai dengan alasan keselamatan. Terakhir, menyangkut keselamatan jurnalis.
Ia tambahkan perlunya strategi dalam peliputan, terkhusus saat pandemi. Seperti halnya akurasi, yaitu dengan menentukan sudut pandang yang tepat. Hal ini berguna agar tidak mangalami kendala. Riset diperlukan guna memperdalam dan memperluas data awal. Lalu jaringan, artinya koneksi dengan berbagai sumber yang terlibat. Kemudian adaptif, yang berarti harus tetap bergerak dan mulai beralih ke digital.
Hendra Makmur— Koordinator Aliansi Jurnalis Independen Wilayah Sumatra— paparkan data posisi persma sebagai pers alternatif. Ia nilai persma dapat mengisi kekurangan dan pengaderan pers profesional. Tak hanya itu, juga sebagai tempat berlatih sebelum masuk ke dunia profesional.
“Jenjang kompetensi bisa menjadi rujukan untuk memperbaiki kualitas,†ujar Hendra.
Ia juga singgung kelemahan persma. Pertama, berorientasi selalu pada cetak dan kegagapan reporternya. Selain itu, pengaderan yang tidak sistematis, serta pengelolaan yang tak serius. Hal ini berujung sebagai ancaman bagi persma. Seperti tidak diakui dan tidak memiliki reputasi. Selain itu, juga mudah terjerat hukum dan mendapat kekerasan. Intervensi pimpinan kampus untuk isu internal akan marak terjadi.
Namun, fakta bahwa persma dikelola oleh anak muda menjadi sebuah kelebihan.
“Persma memiliki orang-orang yang mau belajar. Muncullah manusia yang lebih berintegritas dan tidak berorientasi pada penghasilan.â€
Kelebihan-kelebihan ini dirasa Hendra memunculkan peluang. Misalnya jaminan kebebasan berpendapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Lalu, UU keterbukaan informasi publik. Ada juga perkembangan teknologi informasi. Terakhir, minim intervensi dari pimpinan kampus untuk isu internal.
Diskusi ini digelar virtual oleh Lembaga Pers Mahasiswa Suara Kampus Universitas Islam Negeri Imam Bonjol pada Sabtu (28/11) dengan tajuk Jernih sejak dalam Redaksi.
Reporter: Eka Suci Pramana Sari
Editor: Firlia Nouratama