Maulidya memandang masih banyak yang salah paham mengenai kekerasan seksual. kekerasan seksual terjadi ketika seseorang dipaksa atau dimanipulasi untuk melakukan kegiatan seksual. Ia adalah salah satu anggota Serikat Jurnalis untuk Keberagaman atau SEJUK.
Tindakan dilakukan tanpa persetujuan, dan korban tidak memahami konsekuensinya. Korban tidak mengenal usia, gender, orientasi seksual, agama, dan ras. Juga etnisitas, profesi, serta status ekonomi. Pelakunya pun beragam. Mulai dari orang terdekat hingga orang asing.
Maulidya menilai masyarakat sering menganggap orang terdekat tidak mungkin melakukan hal tersebut. Realitas ini menjadi pil pahit bagi korban.
Selain itu, penulisan berita kekerasan seksual di media kerap kali menggunakan istilah eufemisme. Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasa kasar.
Eufemisme tidak tepat digunakan pada kasus kekerasan seksual. Terkesan bahwa korban mengizinkan pelaku dan menormalisasi tindakan tersebut. Sehingga memicu sikap menyalahkan korban sampai mendorong kekerasan seksual di media.
Etika wawancara diperlukan untuk menulis cerita yang urut. Kemudian melakukan paraphrase ketika menanyakan kronologi kejadian. Bersikaplah secara professional dan tenang. Kata Maulidya, sebaiknya bicara pada pendamping korban. Pastikan mendapat persetujuan korban serta penilaian mitigasi risiko.
Tak hanya itu, etika dalam penulisan juga harus diperhatikan. Pastikan tidak menggunakan kosa kata sensasional. Lalu gunakan nama samaran yang melindungi. Tujuannya membantu memulihkan kondisi korban. Hindari pertanyaan pribadi yang tidak berhubungan dengan konteks kasus. Lakukan pengoreksian kembali pada tulisan dengan meminta pendapat pendamping. Hal ini perlu agar ketika tulisan dipublikasi tidak menyakiti korban.
Hemat Maulidya, tujuan adanya pendamping adalah untuk pemulihan korban. Sementara untuk keadilan, korban sendirilah yang menentukan karena prosesnya panjang.
Adi Marsiela dari Aliansi Jurnalis Independen Bandung menambahkan bagaimana penulisan kronologi kasus kekerasan seksual.
Konteks penulisan atau bahasa, kata Adi sangat menentukan psikologis orang yang membaca. “Ketika ia tersentuh [emosi], itu menjadi feedback dan harapan jurnalis.”
Menurutnya, ada dua hal dasar yang harus diperhatikan pada korban. Seperti identitas dan informasi pribadi. Secara etika, jurnalis harus memegang kode etik jurnalistik yang terdiri atas sebelas butir.
Bagi Adi, media tidak harus netral, karna media harus berpihak kepada publik. Media juga harus mengedepankan praduga tidak bersalah.
“Liputan yang baik ialah liputan yang membela korban,” pungkasnya.
Ia menyayangkan pengelola media memandang sesuatu yang publik anggap penting menjadi yang banyak dicari di google trend. Apalagi di Indonesia, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) belum disahkan. Akibatnya, para pembuat kebijakan menjadi abai karena media tidak banyak mengangkat isu ini.
Kemudian persetujuan dari korban menjadi prioritas. Perhatikan pula penggunaan istilah. Mulai dari aktivitas seksual, kekerasan seksual, dan pencabulan. Wendhy J. Murphy Profesor New England Low mengatakan, istilah-istilah tersebut adalah rancu dan tidak menggambarkan kejahatan yang sebenarnya. Akibatnya, publik tidak bisa memahami apa yang terjadi. Juga tidak tahu cara menanggapi kejahatan. Pun melihat bagaimana reaksi para pihak yang bertanggung jawab.
Kemudian, jurnalis harus berpegang pada keterangan korban daripada mengedepankan kecepatan. Artinya, tidak terburu-buru dan hati-hati dalam melakukan verifikasi. Pastikan korban sendiri yang bercerita terkait kronologi dengan memberikan izin kepada media untuk dipublikasi.
Terakhir, korban diperkenankan memeriksa draf tulisan sebelum terbit. Ajak korban berdiskusi mengenai risiko keselamatannya secara mendalam.
“Selalu berpegang kepada 5W + 1H, serta menuliskan suatu kejadian secara naratif tentang kekerasan seksual dengan niat menggambarkan kejadian yang sebenarnya,” jelas Adi.
Workshop bertajuk Penulisan Berita dan Kronologis Kasus Kekerasan Seksual diselenggarakan oleh Samahita Bandung, pada (01/12). Samahita adalah komunitas yang menyuarakan isu gender. Selain itu, memerangi kekerasan dan pelecehan seksual. Kegiatan ini adalah bagian dari 16 hari kampanye untuk mendorong para legislator atau pembuat kebijakan mengesahkan RUU PKS.
Penulis : Febrina Wulandari
Editor  : Firlia Nouratama