Media Konde.co melakukan riset terkait bagaimana media online menuliskan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Tiga media seperti Okezone, Tribunnews, dan Kompas.com jadi sampel. Alasannya, karena ketiga media ini berada pada peringkat tiga besar Alexa Rank.
Tika Adriana sampaikan, jumlah pemberitaan RUU PKS tidak lebih dari tiga persen di antara seribu artikel perbulan dari media bersangkutan. Survei dilakukan pada rentang Juli sampai Agustus 2020. Tika adalah peneliti sekaligus Managing Editor di Konde.co.
Berdasarkan hasil riset, pemberitaan ketiga media ini dinilai mendorong adanya pengesahan RUU PKS, walaupun porsinya hanya sedikit. Sayangnya, pemberitaan hanya ditulis ketika terjadi peristiwa yang viral atau ramai dibahas publik. Pemberitaannya cenderung normatif, informasi detail menyangkut isinya juga belum digali. Di mana, bagian ini merupakan salah satu fungsi yang diatur dalam Undang-Undang Pers, yaitu fungsi edukasi.
Beberapa berita, kata Tika hanya sebatas memberi informasi secara cepat dan tanpa perspektif korban. Sifatnya sensasional, guna mengejar clickbait. Diksi yang dipakai juga terkadang masih salah.
“Seperti menggunakan kata ‘digagahi’. Itu berarti kekerasan seksual dianggap sebagai suatu hal yang gagah. Jadi, secara langsung media telah melakukan kekerasan kembali kepada korban atau penyintas kekerasan seksual,†jelas Tika.
Pemilihan narasumber pada pemberitaan RUU PKS juga belum beragam, didominasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan instansi pemerintahan lainnya. Sementara, narasumber dari pendamping korban kekerasan seksual atau aktivis perempuan masih minim. Kesimpulannya, media digambarkan belum menunjukkan adanya konsistensi dalam menyajikan pemberitaan tentang kekerasan seksual.
Endah Lismartini Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal di Aliansi Jurnalis Indepeden mengungkapkan kini jurnalis berpegang pada Search Engine Optimization. Begitupun menyangkut pemilihan diksi.
Kata-kata yang tampaknya disukai publik akan digunakan sebagai kata kunci, sehingga sudah dipastikan akan menarik banyak pembaca. Itulah yang akhirnya menimbulkan kontradiksi dengan pemberitaan RUU PKS yang diksinya mengarah pada dukungan pengesahan. Sementara, diksi pada pemberitaan kekerasan seksual malah merendahkan korban dan membuat stigma.
“Jurnalis yang punya idealis dalam menentang kekerasan seksual, khususnya saya, sangat merasa sedih. Di satu sisi, kita dikejar-kejar clickbait, tapi di sisi lain kita juga tahu tidak bisa memberitakan berita yang seperti ini,†tuturnya menyayangkan.
Endah ceritakan pengalamannya berdebat dengan pemimpin redaksinya ketika menulis berita kekerasan seksual. Ia mengaku sudah sangat berhati-hati dalam menulisnya, tanpa mengungkapkan identitas korban. Meskipun sebenarnya si korban sudah meninggal. Ia hanya menuliskan kata kunci “Kalideresâ€.
“Akhirnya, saya tahu bahwa tulisan saya diedit oleh pimpinan redaksi. Semuanya dibongkar. Baik nama anak, alamat rumah, dan lain sebagainya,†jelas Endah.
Perdebatan kala itu tak menemui ujung, pimpinan redaksi tetap tak mengubah keputusannya. Endah coba berdiskusi dengan temannya sesama jurnalis online. Ia mendapati bahwa situasi seperti ini terjadi di mana pun. Sebab, kata Endah semua perusahaan pers memang mengejar clickbait dengan acuan kata kunci yang paling banyak dicari.
Agus Sudibyo jelaskan bahwa Dewan Pers sudah cukup sering menangani kasus-kasus menyangkut kesalahan media.
“Cuma mungkin keterbatasan Dewan Pers ada pada perjanjian konferensi internasional yang menyatakan bahwa suatu kasus pemberitaan media, baru bisa ditangani oleh Dewan Pers apabila ada pelapornya,†ungkap perwakilan Dewan Pers ini.
Agus mengaku banyak mendapat kritik mengenai keterbatasan perjanjian tersebut, tetapi Dewan Pers memang tidak bisa keluar dari norma tersebut. Ia meminta para aktivis untuk berkerja sama, apabila menemukan pemberitaan yang tidak ramah korban, perempuan, dan anak. Hendaknya segera melaporkan karena Dewan Pers tidak memiliki prasarana untuk membantu pemberitaan secara mandiri tanpa pengaduan.
Momentum pendesakan disahkannya RUU PKS yang berbenturan dengan masalah politik, kata Agus menyedot perhatian publik. Akibatnya, pemberitaan soal ini dinilai kurang gencar.
Menyangkut hal ini, Purnama Ayu Rizky dari Remotivi tegaskan bahwa tugas-tugas penting dalam pemberitaan kekerasan seksual bukanlah tugas perseorangan.
“Melainkan kesadaran kolektif dari pemimpin redaksi, wartawan, Dewan Pers, dan organisasi masyarakat sebagai pembaca.â€
Reporter : Yella Meilsyafina. S
Editor   : Annisa Febiola