kepolisian Daerah Jambi menetapkan 20 dari kelompok Serikat Mandiri Batanghari (SMB) pada 18 Juli 2019 lalu. Kasusnya berupa tindak pidana penghadangan, perusakan dan penganiayaan terhadap tim satuan tugas Pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Jambi yang bertugas di wilayah konsesi PT Wira Karya Sakti (WKS).
Era Purnamasari selaku Wakil Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menceritakan kasus yang pernah ditangani pada Juli 2019. Salah satunya kekerasan terhadap petani SMB di Jambi. SMB merupakan organisasi petani di tanah Jambi.
Kasus ini terkuak melalui video YouTube berdurasi kurang lebih tiga menit. Dalam video tersebut, tampak beberapa Tentara Nasional Indonesia (TNI) menerima pukulan oleh sekelompok massa bersenjata. Tak hanya itu, terjadi pula kerusakan fasilitas kantor PT WKS.
Era menilai, berita yang disampaikan pihak media sama sekali tidak berimbang. Informasinya terkesan menyudutkan petani SMB. Paling parah, stigma negatif dan kesalahpahaman di masyarakat kian terbentuk.
Di salah satu berita, ungkap Era, SMB disebutkan sebagai mafia tanah. “Mereka adalah pendatang, bukan orang asli.†SMB dikatakan memanfaatkan suku Anak Dalam sebagai tameng. Pun sekelompok gembong narkoba.
Lebih jauh, Eka jelaskan, konflik ini dilatarbelakangi oleh sengketa lahan dan kepentingan kooperasi besar milik PT WKS. Pondok-pondok dan fasilitas umum dibakar dan ditanami bibit akasia. Perusahan ini adalah anak perusahaan Sinar Mas yang memiliki lahan terbesar di Provinsi Jambi. Sedangkan organisasi SMB mengusung nilai bahwa petani harus menguasai lahan.
“Intinya, semua tindakan yang dilakukan polisi dan TNI itu ujung-ujungnya memfasilitasi perusahaan. Sayangnya, hal ini tidak pernah terungkap ke media,†sambung Era.
Era turut mengomentari respon media terhadap hoaks pasca berjalannya kasus tersebut. Mayoritas pemberitaan relatif berimbang. Media-media di awal terkesan memihak Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Respon media pasca laporan investigasi disampaikan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Parahnya, hasil rilisan yang dipublikasikan ke publik jauh berbeda. Pers relatif menceritakan gejala, tapi tidak mengungkapan akar masalahnya.
Singkatnya, untuk mencapai relasi yang kuat antara pers dan masyarakat sipil, maka harus berani menegakkan kebebasan pers. Alhasil, jika ada hal yang menyerang pers, masyarakat gencar membela.
I Wayan Gendo Suardana atau Bli Gendo, Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) berpendapat, pers di daerah terkesan tak konsisten. Padahal, pemberitaan terbilang sudah tepat sesuai kaidah jurnalistik.
“Jika mood-nya lagi bagus, ForBali merasa didukung habis-habisan. Tapi, kalau mood-nya nggak bagus, kami sering merasa dikeroyok oleh pemberitaan yang bersifat diskriminasi dengan berbagai angle,†pungkasnya.
Kata Bli Gendo, sekitar 80 persen media memberitakan kasus dengan kepentingan pemilik kekuasaan. Hanya sedikit pernyataan ForBali sekadar memenuhi kaidah jurnalistik.
Menurutnya, banyak aksi besar yang dilakukan ForBali luput disorot media. Belasan ribu massa sudah berhasil diturunkan. Namun, media hanya fokus pada investor yang jumlahnya tidak sampai 2000 orang.
Bli Gendo mengaku heran pada wartawan dan media. Sebab, banyak berita yang mendiskriminasikan gerakan dan sangat tidak objektif. Hal itu jelas menguras energi dan merugikan gerakan rakyat. Alasannya, informasi tersebut bukan karya jurnalistik sesungguhnya, melainkan berita propaganda.
Hal serupa dijelaskan oleh pendiri Watchdoc Documentary, Dandhy Dwi Laksono. Secara frekuensi, 34 persen media hanya mengutip pernyataan pemerintah dan polisi. Biasanya, ini terjadi karena perusahaan dan negara merupakan sumber penting bagi bisnis media.
“Daripada terus-menerus mendakwah wartawan dan media, bagaimana kalau semua pihak bekerja sama menjadikan warga negara tanah air untuk memiliki kemampuan seperti wartawan,†tutup Dandhy.
Diskusi virtual bertajuk Relasi antara Pers dan Masyarakat Sipil diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada (16/2). Acara ini bersempena dengan Road to Congress XI AJI 2021.
Penulis: Yella Meilsyafina
Editor: Andi Yulia Rahma