Bagaimana Memverifikasi Pseudosains Covid-19?

Hampir genap satu pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia. Banyak berita terkait Covid-19 akhirnya bermunculan. Aghnia Adzkia, seorang Data Journalist BBC menegaskan bahwa apapun berita yang tersebar, haruslah berhati-hati dalam menerimanya. Tak hanya itu, juga perlu memerhatikan rujukan pemberi informasi. “Apakah itu seseorang atau lembaga otoritatif untuk mengklaim, atau malah hanya dokter yang mengklaim saja,” katanya.

Untuk itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) gelar diskusi guna membahas cara memverifikasi yang disebut dengan pseudosains, serta perbandingannya dengan teori sains. Mengingat banyaknya bermunculan berita hoaks terkait Covid-19. Lilik Dwi Mardjianto saat memandu diskusi, menyebut bahwa pseudosains merupakan ilmu semu. Dapat dikatakan sebagai sebuah ilmu pengetahuan, metodologi, keyakinan, atau praktik yang diklaim bersifat ilmiah. Tetapi, sejatinya tak mengikuti rangkaian metode ilmiah.

“Ilmu semu mungkin kelihatan ilmiah, tetapi tidak memenuhi persyaratan metode ilmiah yang dapat diuji dan sering kali berbenturan dengan kesepakatan ilmiah yang umum. Secara sederhana, pseudosains ini dapat disebut sebagai mitos,” tutur Lilik Dwi Murdjianto.

Aghnia uraikan empat langkah untuk memeriksa apakah sebuah informasi merupakan fakta atau hanya klaim sepihak. Pertama, periksa kebenaran setiap klaim satu persatu. Caranya, bisa dengan mewawancarai ahli pada bidang tersebut. Selain itu, bisa juga memeriksa pada situs web badan yang terkait. Misalnya, berita tentang obat yang diklaim dapat menyembuhkan Covid-19 dan sudah mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Selain mewawancari pihak BPOM, kebenaran bisa juga didapat dengan memeriksa nomor registrasi obat tersebut di situs web milik BPOM.

Kedua, mewawancarai ahli. Kata Aghnia, jika mempunyai kapasitas lebih dalam keilmuan terkait Covid-19, maka sebaiknya memverifikasinya kepada ahli. Karena, mereka tergolong orang yang autoritatif dalam menjelaskan. “Jika kita sok tahu, terutama sebagai wartawan, kita berpotensi untuk menyebarkan lebih jauh berita yang belum terverifikasi.”

Ketiga, mengecek profil penyebar berita. Misalnya jika penyebar informasi mengaku sebagai saintis atau profesor, maka kita dapat mencari tahu kebenarannya dalam situs web yang menyediakan jurnal-jurnal ilmiah. Di dalam jurnal, tertera nama dan asal institusi penulisnya. Sebagai pembaca, haruslah skeptis dalam mencari informasi menyangkut identitas dan kapasitas penyebar berita.

Keempat, bercerita langsung dengan orang pertama. Kekuatan informasi dari orang pertama lebih kuat daripada informasi yang diteruskan. Akan tetapi, harus berhati-hati dalam mengambil sampel atau orang yang akan angkat bicara.

Lalu untuk untuk mendapat sumber riset yang mendalam, Aghnia berikan enam tips, yakni:

  1. Memilih lembaga yang otoritatif dalam riset, terkhusus untuk memverifikasi berita tentang Covid-19. World Health Organization (WHO) merupakan sumber yang tepat untuk mencari informasi akurat.
  2. Jika menemukan jurnal, periksa profilnya dan situs web mana yang mempublikasikannya.
  3. Apabila sudah mengetahui namanya, periksa profil dan data dirinya di Science and Technology Index atau Pangkalan Data Pendidikan Tinggi milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  4. Carilah jurnal yang sudah di-review, bukan prosiding. Jika darurat, cek lembaganya.
  5. Perhatikan, bagaimana informasi tersebut berada pada nalar berpikir atau ilmu yang sudah ada sebelumnya
  6. Lihat metodologinya. Untuk metodologi kuantitatif, bagaimana sampling dan erornya. Sedangkan dalam metode kualitatif, perhatikan apakah simplikasi dari fenomena umumnya. Apakah analisis triangulasi data sudah dilakukan atau tidak.

Aghnia juga memberi tahu beberapa mesin pencari jurnal yang kredibel. Misalnya Pubmed, Web of Science, ScienceDirect, Europe PMC, dan Google Schoolar. “Pada intinya, pada masa pandemi ini perbanyaklah membaca informasi yang kredibel. Terutama membaca dari jurnal ilmiah,” lanjut Aghnia.

“Dengan membaca jurnal yang kredibel, bisa meminimalisir pseudosains, dan dapat memverifikasi ilmu semu tersebut,” sambung Dyna Rochmyaningsih dalam diskusi yang berlangsung pada 22 Februari itu. Dyna merupakan Direktur Eksekutif Society of Indonesian Science Journalists.

Reporter: Aliyah Aziz

Editor: Annisa Febiola