Andari Karina mengatakan banyak sekali ilmuan, media online, dan media cetak menyebarkan berita terkait pandemi yang melanda berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Media berebut mencari informasi teranyar. Terlepas dari kebenarannya, atau sekadar mencari berita saja.
“Beberapa dari narasumber menyebut dirinya sendiri sebagai ilmuan dan mengatakan memiliki peran dalam penemuan vaksin covid-19,†kata Andari saat memandu diskusi bertajuk Memverifikasi Narasumber Ahli di Masa Pandemi.
Heru Margianto katakan bahwa dalam memilah narasumber yang dapat dipercaya, periksa dahulu profil orang tersebut. Termasuk karya, pengalaman, lembaga tempatnya bernaung dan pengakuan orang di sekitarnya.
“Gunakan google scholar atau google books. Semakin bagus indeks orang yang dicari, maka orang tersebut semakin dapat dipercaya sebagai narasumber. Jika tidak menemukan orang yang dicari, maka patut dicurigai,†ujar Managing Editor kompas.com ini.
Sudah hampir satu tahun Indonesia didatangi oleh Covid-19. Menjamurnya narasumber, dinilai Iqbal membuat sebagian masyarakat kebingungan mencari narasumber terpercaya. Bahkan, banyak masyarakat termakan hoaks. Mereka menelan mentah-mentah informasi yang diterimanya, tanpa mengecek terlebih dahulu.
“Informasi hoaks tersebut terus disebarkan dari masyarakat ke masyarakat lainnya. Kita harus melakukan pengecekan fakta dan sumber informasi,†ujar Iqbal yang merupakan bagian dari Akademi Ilmuan Muda Indonesia ini.
Ia mengatakan, jika berbicara soal Covid-19, banyak hal tercakup di dalamnya. Seperti virus, orang yang terpapar virus, publik, otoritas dan hal lain. Jumlah orang yang terdeteksi lebih banyak daripada orang yang terkonfirmasi positif. “Informasi yang menyesatkan terkadang datang dari otoritas, dengan alasan supaya masyarakat tidak panik,†jelas Iqbal Elyazar.
Hal ini menurut Iqbal sering terjadi ketika awal muncul pandemi. Pada akhirnya, masyarakat menyadari dan kehilangan kepercayaan terhadap otoritas, sebab telah menyembunyikan informasi sebenarnya. Ketimpangan antara data di rumah sakit dengan yang diberitakan media juga terjadi, seperti jumlah angka kematian.
Iqbal mengungkapkan, database kesehatan menunjukkan publikasi tentang kesehatan ada lebih dari 3.000 artikel setiap minggunya. Ledakan pengetahuan baru bisa dilihat dalam National Library of Medicine atau PubMed.
Menurutnya, di tengah pandemi ini, ilmuan dan jurnalis sama-sama mencari kebenaran. Yang membedakan adalah pendekatannya. Rata-rata masyarakat cepat menerima sesuatu, tanpa melakukan klarifikasi. Padahal, bisa diperiksa kebenarannya di situs terpercaya.
“Sebagai masyarakat, kita perlu menelaah informasi yang beredar. Seperti melakukan re-cek, latihan mengasah keahlian dalam menentukan sebuah informasi palsu dan fakta. Juga perlunya membangun kepercayaan antara jurnalis dan ilmuan,†tutup Iqbal dalam diskusi bertajuk Memverifikasi Narasumber Ahli di Masa Pandemi yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (19/2).
Reporter: Hardiansyah
Editor: Annisa Febiola