Ahmad Fitri dan M. Hanshardi

Terhitung sudah dua puluh tiga tahun silam, peristiwa di mana Presiden Soeharto mengumumkan pengalihan kekuasaan kepada wakilnya, B.J Habibie. Ia mengundurkan diri. Kabar ini nyatanya bukan hal yang mengejutkan lagi. Sebab, sehari sebelum peristiwa ini, rencana penurunan Soeharto sudah santer terdengar.

Kabar riuh penurunan Soeharto tak hanya terjadi di pusat Indonesia saja, bahkan gejolak peristiwanya juga berlangsung di kampus Universitas Riau (UNRI). Bahana Mahasiswa mengajak pembaca melihat kilas balik peristiwa tersebut pada majalah edisi April 1998 dengan laporan utama berjudul Menunggu Kelahiran Angkatan 1998.

Mimpi menjadikan Indonesia salah satu macan ekonomi yang disegani di kawasan Asia sudah tak lagi ada. Hal ini disebabkan oleh krisis ekomoni yang sudah berlangsung sejak sepuluh bulan terakhir. Perekonomian Indonesia dinilai seperti nangka busuk yang jatuh, langsung amblas dan remuk. Episode rezim orde baru yang sangat membanggakan pertumbuhan ekonomi, terhenti sejenak. Tingkat pertumbuhan ekonomi dengan kisaran tujuh persen tiap tahunnya, dinilai sangat menakjubkan. Namun sayang, nilai tukar rupiah anjlok hingga 400 persen dari sebelumnya. Bisa dikatakan penduduk Indonesia empat kali lebih miskin, terhitung sejak Juli 1997.

Dampaknya juga tampak pada harga barang-barang pokok yang melonjak tajam. Ada banyak tenaga kerja yang kehilangan ladang penghidupannya. Imbasnya, rakyat kecil justru merasakan himpitan krisis yang terjadi.

Mental Tempe Mahasiswa

Krisis yang melanda negeri ini bisa dikatakan yang terberat selama periode pemerintahan Presiden Soeharto. Menurut Hasanuddin selaku Pengamat Politik, pertumbuhan ekonomi yang terjadi dijalani tanpa kontrol yang baik antara penguasa dan rakyat.

“Pemerintah cenderung berjalan sendiri, one man show tanpa dapat dikontrol rakyat,” ungkapnya dalam kuliah umum akbar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNRI 14 April 1998 silam.

Sistem politik yang ada cenderung diformat demikian rupa. Misalnya saja, negara ditempatkan pada posisi superior kompleks yang sangat tinggi sehingga tidak bisa dikontrol oleh rakyat. Sedangkan posisi inferior kompleks jatuh ke masyarakat. Dengan mental inferior, maka banyak kalangan yang pesimis, bermental tempe, serta rasa takut yang berlebihan.

“Untuk apa bersusah payah melakukan reformasi, tidak ada untungnya bagi saya,” kata Hasanuddin mencontohkan mental inferior ini.

Efektifnya Depolitisasi Kampus

Rentetan aksi mahasiswa yang terjadi sekian lama ini, bahkan dijanjikan tidak akan berhenti sebelum tuntutan tersebut dipenuhi.  Terlihat janggal memang, karena sejak diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus oleh Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) sejak 20 tahun lalu, demo mahasiswa hanya terjadi secara sporadis. Kasus yang diangkat pun hanya masalah lokal. Rupanya, kebijakan depolitisasi kampus tersebut berjalan dengan efektif.

Menanggapi hal itu, Syed Ghazali yang saat itu Pembantu Rektor III tampak setuju saja. Menurutnya, semakin berkurangnya aktivitas mahasiswa di luar kampus tak lepas dari konsep buatan Daud Yusuf, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) kala itu.

“Daud Yusuf menghendaki di kampus hanya kegiatan ilmiah. Politik silahkan, tapi yang bersifat practis political action, yang menyentuh kekuasaan mempunyai wahana penyaluran tersendiri,” ungkapnya

Pendapat Syed Ghazali bertolak-belakang dengan Magsay-say, mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam cabang Pekanbaru. Menurutnya, konsep NKK/BKK diberlakukan agar mahasiswa tidak berkutik. Alasannya, selama ini gerakan mahasiswa dianggap kontrol sosial setelah Dewan Perwakilan Rakyat.

“Jadi tujuannya untuk menghilangkan kekuatan mahasiswa,” katanya tegas.

Walau begitu, beragam aksi mahasiswa tidak selamanya berjalan mulus. Salah satu bariernya tak lain adalah Wiranto Arismunandar. Lelaki ini dahulu menjabat Mendikbud. Dirinya tegas melarang politik praktis di kampus yang ia defenisikan sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang ikut melaksanakan atau mempengaruhi secara langsung atau tidak langsungpengambilan keputusan politik.

Hariman Siregar, mantan ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia dan tokoh Malari menyebutkan, pernyataan Wiranto tentang larangan tadi tidak bijaksana karena memperkeruh suasana. Hariman menyebut, Wiranto menggunakan istilah-istilah yang tidak atau belum ada defenisinya dalam kamus politik sekalipun.

“Defenisi politik praktis itu tak ada dalam ilmu-ilmu politik. Pak Wiranto sama sekali tidak ada dasarnya dalam menuduh-nuduh. Karena itu, daripada menuduh-nuduh, lebih baik pak Wiranto mengusir sumber keresahan mahasiswa,” kata Hariman seperti dikutip D&R, 18 April 1998.

Reformasi atau Status quo

Kalau boleh, jika ditarik garis ke belakang di mana potret pergerakan mahasiswa dibentangkan, beragam aksi itu sebenarnya sudah dikenal mahasiswa Indonesia sejak lama. Seperti aksi mahasiswa pada tahun 1900-an. Saking terkesannya pada peran pemuda itu, Benedict Anderson, Indonesianis sekaligus pengamat politik Universitas Cornell, Amerika serikat, sampai menyebut revolusi 1945 sebagai Revolusi Pemuda.

Namun, perlu diingat bahwa setting politik yang berkembang turut berperan dalam pasang surut pergerakannya. Di masa kemerdekaan 1945, mahasiswa dihadapkan pada pilihan yang jelas, yaitu mendukung Soekarno dengan cita-cita pembebasan bangsa atau bergabung ke kubu penjajah. Sementara itu, gerakan mahasiswa 1966 tak lepas dari setting politik meruncingnya konflik beberapa petinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Partai Komunis Indonesia.

Lalu sekarang, di tengah riuhnya berbagai gejolak yang dipicu dari fundamental ekonomi, mahasiswa juga dihadapkan pada pilihan yang jelas, seperti mendukung reformasi di segala bidang. Ada Amin Rais sebagai soko guru, atau berdiri di belakang panji kemapanan dengan kepemimpinan tunggal sambil menunggu petunjuk dari bapak presiden saat itu. Tidak mustahil kiranya, jika kelak akan lahir angkatan 1998 yang terbentuk dari koalisi mahasiswa dan seluruh masyarakat plus dukungan militer seperti era tahun 60-an.

Sementara krisis terus melilit, gelombang aksi mahasiswa dan masyarakat justru semakin berkobar. Intinya jelas, mendesak reformasi ekonomi, politik, hukum, dan moral-budaya segera dilaksanakan dengan sepenuh hati. Jadi, perlu ada political will serta political action dari pemerintah untuk segera keluar dari azab ini.

Namun di balik itu semua, tampaknya tidak semua komponen masyarakat mau berbenah diri. Hingga saat ini, korupsi, kolusi, dan tindak kekerasan juga semakin merajalela. Akankah bangsa ini seperti cerita Titanic, di mana sudah tahu kapal akan tenggelam tapi masih mengadakan pesta, judi, dan perbuatan asusila lainnya? *

Ditulis ulang oleh: Salsabila Diana Putri