Tahun 2020 lalu, ia jadi ketua PKM yang lolos sampai ke Pimnas. Bonusnya ia dapat pembebasan skripsi. Cukup pakai makalah Pimnas pada sidang sarjana.
Oleh Rio Eza Hananda
Karangan ilmiah itu hanya sekitar tiga puluh halaman. Bagian sampul berwarna hijau agak gelap. Tri Padila Rahmasari presentasikan skripsinya akhir Januari lalu. Di hari Selasa itu, ia pun resmi bergelar Sarjana Pendidikan.
“Mungkin saya satu-satunya dari FKIP dengan skripsi hanya 30 lembar. Biasanya skripsi anak FKIP itu tebal-tebal, sampai ratusan halaman,†kata  perempuan kelahiran Pangean, Kuantan Singingi ini.
Di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan—FKIP— Universitas Riau, mahasiswa baru bisa menyelesaikan Starata Satu setelah ikuti empat kali sidang ujian. Seminar mata kuliah di semester enam. Disusul seminar proposal dan seminar hasil. Terakhir ujian komprehensif atau sidang sarjana.
Aturan itu tak berlaku bagi Dila—sapaan akrabnya. Ia tamatkan kuliah di Pendidikan Kimia pakai jalur ekspres. Tanpa seminar proposal juga seminar hasil.
Muasalnya dari kebijakan Mahdum Adnan. Terhitung Agustus 2020 lalu, Dekan FKIP itu, bebaskan skripsi mahasiswa peserta Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Penelitian dan Teknologi yang lolos sampai Pekan Ilmiah Nasional alias Pimnas. Cukup pakai makalah Pimnas, mahasiswa sudah bisa ikut sidang akhir.
Dila pertama kali tahu aturan ini dari Rozalinda—Ketua Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam sekaligus dosen yang mendampinginya di ajang PKM. Masih penasaran, Dila temui Wakil Dekan III FKIP. Niatnya hendak memastikan kepastian aturan yang dimaksud Rozalinda.
“Iya benar dan memang kebijakan ini baru ditetapkan Agustus 2020. Selamat ya kamu menjadi mahasiswa pertama di FKIP yang mendapat hak istimewa seperti ini,†kata Dila menirukan ucapan Hermandra saat itu.
Pimnas merupakan salah satu ajang bergengsi bagi mahasiswa beradu ide dan kreativitas secara nasional. Pesertanya diikuti ratusan perguruan tinggi se-Indonesia.
Pelaksanaan Pimnas ke-33Â pada 2020 lalu, di Universitas Gadjah Mada sedikit berbeda dari biasanya. Akibat pandemi Covid-19, peserta hanya diwajibkan membuat artikel yang di unggah ke jurnal terakreditasi. Beda dari tahun-tahun sebelumnya yang mengharuskan peserta membuat produk atau benda.
Bersama Gesty Mika Juwani dan Lani Dwi Kurnia, tim ini ikut PKM kategori Penelitian Sosial dan Humaniora. Di UNRI bidang penelitian masih minim peminat. “Jadi peluangnya besar untuk sampai ke Pimnas,†cerita Dila.
Mulanya mereka berniat mengembangkan bahan ajar berbasis elektronik untuk membantu guru melek teknologi dalam pembelajaran. Namun rencana itu berubah. Meraka putuskan pilih judul penelitian Elektronik Lembar Kerja Peserta Didik (E-LKPD) untuk Menumbuhkan High Order Thinking Skills pada Materi Kesetimbangan Larutan.
Dalam proposal ketiganya menyebutkan, E-LKPD merupakan salah satu bahan ajar yang efektif pada materi kesetimbangan larutan yang menuntut peserta didik mampu memecahkan soal-soal berbasis HOTS. Atau kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti berpikir kritis, kreatif dan memecahkan masalah.
Dila cerita sempat alami kendala dalam menyusun proposal. Lantaran sulitnya mencari literatur dan bahan referensi. Di UNRI belum ada skripsi yang membahas topik seperti penelitian mereka. Berkat kegigihan yang kuat, semua kendala berhasil dilewati. Tim ini lolos ke Pimnas.
Keikutsertaannya di PKM 2020 silam bukanlah yang pertama. Dila sempat coba keberuntungan di tahun sebelumnya, saat Universitas Udayana jadi tuan rumah penyelenggara PKM ke-32. Naik pesawat sekalian liburan gratis ke Bali sudah terbayang.
Apa hendak dikata. Dila harus relakan angannya itu tak sampai. Proposal bidang pengabdian yang diajukan, tak lolos sampai ke nasional. Bagi mahasiswi kelahiran tahun 1999 ini, kegagalan adalah hal yang biasa. Ia punya motto Everything will be, if you believe you can be. Segala sesuatu bisa terjadi ketika kamu percaya itu terjadi. Hal inilah yang terus membakar semangatnya.
Pupe Piliani menilai Dila adalah sahabat juga sosok ketua yang bisa mengatur timnya. Dila  mengerti kemampuan teman-temannya, ia akan membagi tugas sesuai keahlian masing-masing anggota.
“Satu pelajaran yang Dila ambil dalam PKM adalah bentuk perjuangan yang sangat panjang. Perlu komitmen dan tekad,†kata Pupe.
Baru dua hari masuk Taman kanak-kanak (TK). Dila kecil—saat itu beusia lima tahun—sudah minta pindah ke Sekolah Dasar. Anak ke tiga dari pasangan Murnis dan Ardiana ini mengaku bosan, lantaran hanya diajarkan menggambar.  Tokoh Si Unyil dalam kartun anak-anak adalah gambar hari pertamanya di TK.
Ardiana lalu menemui Kepala SD 001 Pasar Baru. Ia ceritakan anaknya tak mau sekolah TK lagi. “Ini anak saya katanya nggak mau TK, bu. Di umur segini, dia mau masuk ke SD. Kalau nggak bisa mengikuti pelajarannya, nggak usah dinaikkan kelas,†cerita Dila menirukan perjanjian ibunya dengan Kepala SD kala itu.
Ardiana yakin akan kemampuan anak bungsunya itu. Sebab ia sudah membakalinya pengetahuan baca tulis. Sambil berjualan di warung, pakai kardus bekas, ia ajarkan anaknya membaca juga menulis.
Perjanjian pun disepakati. Dila diterima masuk SD tahun 2005. Selama duduk di bangku SD, Dila selalu jadi juara kelas bahkan langganan juara umum. Ia juga sempat mewakili sekolahnya pada olimpiade matematika tingkat kabupaten. Jura tiga berhasil dibawa pulang.
Selesai dari SD, Dila lanjut ke Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Kuantan Singingi. Di madrasah atau setingkat Sekolah Menengah Pertama, Dila juga ikut olimpiade matematika lagi.
Naik setingkat, di tahun 2014, pendidikannya lanjut ke Sekolah Menengah Atas Negeri Pintar—SMA N Pintar, salah satu sekolah favorit di Riau. Dila tergolong siswa yang aktif dan berprestasi. Minatnya berubah, dari olimpiade matematika ganti ke pelajaran Kimia. Risna Sastia, guru kimianya yang membuat tertarik dan akhirnya memilih masuk di klub olimpiade kimia SMA N Pintar. Tepat di 2016 pada ajang Olimpiade Sains Nasional bidang kimia, Dila keluar sebagai juara satu tingkat kabupaten. Di akhir jenjang sekolah ini, ia jadi lulusan siswa berprestasi.
Masuk jenjang perkuliahan, beberapa kampus ternama di Pulau Jawa akan jadi rujukan. Salah satunya di Institut Teknologi Bandung. Rencana itu urung dilakoni, kedua orang tuanya masygul bila anaknya merantau jauh dari kampung halaman.
Dila ikut kehendak ayah dan ibunya.  Pilihannya berlabuh ke UNRI, masuk jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Nasional di tahun 2017. Di awal-awal kuliah, ia kerap menangis. Keinginan kuliah di kampus idamannya masih bergejolak.
Di semester dua, ia coba peruntungan masuk Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Hal itu justru membuatnya tak fokus kuliah. Indeks Prestasi Kumulatifnya turun.
Hingga suatu ketika, salah satu dosen di kelas pernah berujar. “Kampus itu tidak menentukan siapa kamu, tetapi kamulah yang harus menentukan siapa diri kamu di kampus itu,†Dila menirukan kalimat Ardiansyah saat itu. Perkataan itu menyentak, Dila bangkit mulai menerima kenyataan.
Masuk tahun kedua perkuliahan, ia ikuti ajang Kompetisi Nasional Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam bidang kimia. Bercokol di peringkat tujuh, mewakili UNRI di bidang kimia untuk tingkat regional.
Tak berhenti di situ, di semester enam lalu ia coba ikut Pemilihan Mahasiswa Berprestasi (Pilmapres). kesempatan itu tak mau ia lewatkan. Sebelumnya, saran untuk ikuti ajang ini telah didapatnya pada semester dua. Rasa percaya diri yang kurang, menjadi penghambat langkah Dila.
“Sempat pas mau seleksi Mapres, saya gak niat gitu. Sampai pas ada technical meeting, saya nggak datang. Saya di-chat sama salah satu panitianya. Istilahnya, waktu itu saya coba-coba aja karena disarankan beberapa teman dan kakak tingkat,†kenangnya.
Pada Pilmapres ini, Dila bersaing dengan 21 mahasiswa FKIP lainnya. Salah satu tahapan, peserta mempresentasikan gagasan di hadapan dewan juri. Sehari sebelum penampilan ia diberi tahu bahwa peserta wajib menuliskan ide dalam bahasa Inggris. Hari itu juga, ia langsung berlatih sendiri di depan cermin. Kala itu, tema yang diangkat dalam seleksi awal fakultas adalah Revolusi Industri 4.0 dan Sustainable Development Goals (SDGs).
Di akhir penilaian, Dila memenangkan kategori sebagai best presentation dan terpilih jadi  Mahasiswa Berprestasi III FKIP UNRI.
Kertas-kertas itu tertempel di dinding kamar. Isinya beberapa target yang ingin dicapai. Setiap akhir kalimat di tutup dengan tulisan ‘Aamiin Ya Allah’. Harapan Dila, siapapun yang berkunjung turut membaca dan mengaminkan targetnya.
Target-target itupun ia diskusikan bersama ibunya. “Ibu kasih support dan hadiah dalam bentuk yang bermacam-macam, seperti alat-alat sekolah,†cerita Ardiana lewat sambungan telepon. Ia bangga anaknya menyelesaikan kuliah dengan predikat Cumlaude hanya 3,5 tahun. Lebih-lebih, Tri Padila biayai kuliah sendiri pakai beasiswa Bidikmisi yang didapatnya.
Kini Dila tengah menunggu jadwal wisuda. Sembari ancang-ancang lanjut ke jenjang Strata Dua. Jadi dosen merupakan cita-citanya.
“Ketika kamu menginginkan sesuatu, maka harus berjuang semaksimal mungkin. Setiap orang memiliki kemampuannya masing-masing dan akan unggul ketika memaksimalkan potensi yang dimiliki,†tutup Dila.#