Para guru besar galang dukungan buat 75 pegawai KPK yang gagal tes wawasan kebangsaan. Dari semua profesor itu, hanya satu yang berasal dari Riau. Selebihnya memilih bungkam dengan berbagai alasan.

Oleh Ambar Alyanada

Pesan berantai itu masuk ke gawai Syafrinal pertengahan Mei lalu. Beberapa guru besar tengah menghimpun dukungan buat 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK. Para pegawai dipecat lantaran tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Tes yang disinyalir buah akal-akalan Ketua KPK Firli Bahuri untuk menggembosi pemberantasan rasuah.

“Saya setuju dan bergabung. Karena memang dari dulu, saya komit sekali dengan pemberantasan korupsi,” ujar Syafrinaldi.

Ia dan 73 guru besar lintas kampus lainnya, berkirim surat pada Presiden Joko Widodo, 16 Mei 2021. Para profesor yang menamakan diri sebagai Guru Besar Antikorupsi, mendesak presiden ambil tindakan atas pemecatan 75 pegawai KPK. Pada Pimpinan KPK, mereka minta hasil tes TWK dibatalkan.

Syafrinaldi adalah Rektor Universitas Islam Riau. Ia satu-satunya profesor dari Riau yang ikut gerakan ini. Baginya, seorang guru besar harus menjadi suri tauladan bagi akademisi lain. “Sivitas akademika diharapkan tidak, atau bebas dari nilai-nilai korupsi itu,” tutur Guru Besar bidang Hak Milik Intelektual dan Hukum Internasional ini.

Sikap para guru besar menginspirasi koalisi masyarakat sipil Gerakan Riau Antikorupsi (Grasi). Selama satu pekan, koalisi ini bagikan seratus surat untuk akademisi lintas kampus di Riau. Juga sejumlah tokoh berbagai latar belakang. Seniman, mahasiswa, aktivis hingga kartunis. Mereka diminta menuliskan pandangan ihwal polemik di lembaga antirasuah tersebut.

Namun, dari seratus surat yang dikirimkan hanya sepuluh orang yang menanggapi. Kesepuluh surat inilah yang kemudian dikirim Grasi ke Istana Negara di Jakarta.

“Tanda tanya besar mengapa akademisi tidak mau merespon. Sebagai ujung tombak wilayah intelektual, sudah seharusnya kebebasan berpikir kritis muncul dari kampus-kampus,” kata Ahlul Fadli Koordinator Grasi.

Ahlul juga menyangkan tak satupun guru besar dari kampus negeri di Riau yang buka suara. Ia miris lebih-lebih Riau masuk daftar provinsi zona merah rawan korupsi.

Bagaimana Tanggapan Guru Besar Universitas Riau?

Sejak awal Juni lalu, Kru Bahana Mahasiswa (BM) hubungi seluruh Guru Besar UNRI. Tujuannya hendak cari tahu sikap masing-masing mahaguru menyangkut isu KPK. Dari data Senat Universitas Riau, tercatat ada 73 nama dosen berstatus aktif guru besar.

Pada masing-masing guru besar itu, Kru BM menawarkan dua pilihan. Melakukan wawancara langsung lewat telepon seluler atau mengisi kuesioner jajak pendapat.

Dari seluruh profesor yang dihubungi, hanya tujuh orang yang menyatakan pendapat mengkritisi polemik di KPK. Yustina misalnya. Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ini mengaku konsisten mengikuti pemberitaan KPK lewat televisi dan kanal Youtube. Ia menilai beberapa pertanyaan yang diberikan tak sesuai dengan tugas pegawai KPK itu sendiri.

“Cenderung mendiskreditkan salah satu agama yang juga melanggar UUD 1945,” tulis dosen Biologi FKIP UNRI ini. Ia ingatkan hasil TWK mesti dikaji ulang.

Hal serupa juga diungkapkan Zulfadil. Ia  mengikuti polemik di KPK sejak 75 pegawai dinyatakan tak lolos TWK. Menurutnya, ada yang disembunyikan di balik keganjilan tes tersebut. Ia heran dan bertanya, mengapa KPK perlu membuat tes seperti itu.

“Ada hidden mission. Kompetensi yang dimiliki 75 yang tidak lulus tersebut sangat bagus. Mereka juga sudah bekerja keras di KPK,” ujar Guru Besar Bidang Manajemen Sratejik ini.

Pendapat lain datang dari salah satu Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Iwantono. Baginya pro dan kontra isu KPK wajar terjadi. Lantaran KPK adalah lembaga yang diharapkan masyarakat jadi tumpuan pemberantasan korupsi.

“Masyarakat berharap banyak dari KPK ini. Jadi berita tentang KPK cukup menarik khalayak,” kata Iwantono yang juga Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni UNRI ini,  di ruangan kerjanya.

Namun, ia mengaku belum berkontribusi luas dalam menanggapi isu TWK ini.  Dia bilang urusan itu bukan ranahnya. Yang merupakan akademisi di bidang nano material. “Kalau kontribusi membuat opini atau edukasi ke pihak lain, saya belum sampai ke tahap itu,” jelas dosen Fisika ini.

Soal kontribusi, Saryono punya cerita sendiri. Guru Besar bidang Biokimia ini mengaku telah memulai dari hal-hal kecil. Ia contohkan, selama pembelajaran di kelas, ia menekankan perilaku jujur pada mahasiswanya. Alumnus Kimia UNRI ini mengaku miris melihat serangkaian kejadian yang melemahkan KPK.

“Kita sebagai bangsa berharap dengan berkurangnya korupsi, pembangunan semakin baik. Ekonomi baik dan rakyat semakin sejahtera,” ujarnya.

Di luar dari tujuh orang yang memberi tanggapan. Sisanya memilih tidak menyatakan sikap dengan berbagai alasan.

Sebut saja Usman Pato. Bekas Dekan Fakultas Pertanian ini enggan berkomentar. Lewat pesan WhatsApp, ia menolak mengisi jajak pendapat dengan alasan tak sesuai dengan bidang keilmuannya.

Begitupun dengan Sujianto Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan. Sebagai Guru Besar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, ia justru mengaku tak punya kapasitas dan mengalihkan ke yang lain.

Kamis siang, Rektor Aras Mulyadi tengah menuruni anak tangga dari  lantai dua Gedung Rektorat UNRI. Fani ajudannya mengikuti dari belakang. Sambil memegang gawai, Aras memilih bungkam saat ditanya ihwal polemik yang menderu KPK.

Aras dan pembantunya—M. Nur Mustafa Wakil Rektor Bidang Akademik—seia sekata memilih tak berkomentar. Keduanya malah saling tunjuk. Aras arahkan kru BM untuk wawancara M. Nur . Sementara, WR I itu justru melemparnya lagi ke Iwantono.

“Yang lain lah dulu,” jawab Aras menanggapi. Saat itu, ia juga menyanggupi akan mengisi jajak pendapat. Namun hingga berita ini terbit, Profesor Fakultas Perikanan dan Kelautan itu, tak menepati janjinya.

Ketua Senat UNRI—Adel Zamri punya pandangan berbeda. Ia akan berkomentar setelah  semua profesor mengisi angket. Guru Besar FMIPA ini juga menyarankan lakukan wawancara ke profesor senior.  Ashaluddin jalil dan Yusmar Yusuf. Keduanya Guru Besar dari FISIP.

Ashaluddin Jalil mengaku sedang di daerah yang susah akses sinyal. Selang lima hari berikutnya, mantan Rektor UNRI ini tak  juga mengangkat panggilan telepon meskipun berdering. Sedangkan Yusmar Yusuf tidak merespon sama sekali. Ia hanya membaca pesan yang dikirim padanya.

Setelah menghubungi seluruh guru besar, Adel tak jua tepati perkataannya. Profesor dari FMIPA ini hanya membaca pesan yang dikirim padanya.

Ada pula yang beralasan sedang sibuk atau tengah sakit. Misalnya Harlen dari FEB. Saat pertama kali dihubungi, ia tak membalas pesan yang dikirim. Esoknya dihubungi kembali namun ia katakan belum bisa memberi komentar, karena sedang dalam masa pemulihan usai dirawat di rumah sakit.

Selain itu, Zuchra Herwani dari Teknik Kimia. Saat dihubungi ia mengaku tengah banyak kegiatan. Tak berkenan memberi pendapat.

Bungkamnya beberapa guru besar dengan alasan bukan bidang keahliannya disayangkan Syafrinaldi. Baginya kepedulian pemberantasan korupsi adalah masalah pribadi. Siapa yang peduli pasti akan berkomentar.

“Untuk gerakan moral begitu, ndak harus orang hukum. Saya kebetulan orang hukum aja,” tuturnya.

Lebih lanjut, kata dia sudah semestinya melihat isu korupsi sebagai masalah yang serius. Dampaknya besar karena dapat menggerogoti ekonomi negara. “Siapapun bilang korupsi pasti gak bagus. Agama manapun bilang itu pasti tidak baik.”

Ketua Badan Kajian Antikorupsi dan Tata Kelola Pemerintah yang Baik (BAKAT) Fakultas Hukum Universitas Riau, Davit Rahmadhan sebut polemik yang menderu KPK merupakan sebuah keruntuhan bagi eksistensi lembaga itu sendiri.

Dosen Hukum Pidana ini, melihat apa yang terjadi sangat bertentangan dengan nilai dan moralitas di negara hukum yang bersumber pada Pancasila.

“Kecacatan moral terjadi di institusi KPK. Pada proses peralihan dari pegawai KPK ke dalam ASN itu,” jelasnya.*