Sebulan Bersama Senarai, Pantau Sidang Pengadilan

“Yok, yok pegang spanduknya lagi, kita mulai,” seru Suryadi. Ia tergabung dalam Senarai—sebuah media publikasi, diskusi dan kajian yang fokus memantau terwujudnya keadilan sosial dan ekologis.

Pagi itu waktu menuju pukul 9 pagi, kami berkumpul di depan Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau. Tepatnya 13 Oktober. Bergabung pula kru Bahana Mahasiswa dan anggota Kelompok Pencinta Alam Einstein Mapalindup Ceria Club atau disingkat KPA EMC2.

Satu suara kami bawa, hendak menagih peradilan bagi PT Berlian Mitra Inti (PT BMI). Lahan milik korporasi ini diketahui terbakar seluas 94 hektare pada Maret tahun lalu. Namun hingga kini, hukuman belum jua dijatuhkan.

Peserta aksi mulai bentangkan spanduk bekas yang berisikan poin tuntutan. Kami menulisnya dengan cat semprot. Suryadi ambil posisi paling depan, ia lantang berorasi. “Kita inginkan Kejati segera menyelesaikan atau setidaknya menuntut PT BMI untuk sampai ke pengadilan,” ucap Suryadi melalui pelantang di depan mulutnya.

Satpam yang berjaga tampak kebingungan. Berkali-kali, ia bolak-balik dari pos yang tak jauh dari pagar. Sesekali ia sibuk mengecek gawainya.

Tak berselang lama, satu unit mobil milik Polresta Pekanbaru datang dari arah timur. Berhenti di pinggir jalan, tak sampai 2 meter dari peserta aksi. Polisi mulai turun dan menghampiri. “Lepas semua, bubar kalian! Bubar! Ngapain kalian kek gini,” bentak salah satu polisi.

Keadaan yang semula kondusif berubah gaduh. Adu mulut tak terelakkan antara Suryadi dan pihak polisi. Polisi memaksa peserta aksi untuk bubar. Tak lupa mereka ambil spanduk. Salah satunya aku. Aku dipaksa menjauh, hanya bisa mendengar perdebatan dengan samar-samar. Tapi, ada hal yang kudengar jelas. Polisi bilang, aksi kami ilegal, sebab tak berizin.

Jovina, polisi wanita, menyebut jika Pekanbaru masih terapkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4. Padahal, status Pekanbaru sudah turun ke level 2 sejak 4 Oktober.

Haby Frisco ikut menimpali. Sehari sebelumnya, ia sudah antarkan surat pemberitahuan aksi ke Polres. Namun, surat ditolak dengan dalih sudah lewat jam kerja. Meski begitu, surat penolakan juga tak mereka keluarkan. Idealnya, surat pemberitahuan aksi harus sudah diantarkan 3×24 jam sebelum aksi dilakukan.

Lagi-lagi, argumen pembenaran massa ditolak mentah-mentah. Pihak polisi terang-terangan bubarkan massa dengan paksa. Polisi Jovina hampir saja merusak kamera yang tengah digunakan salah satu kru Bahana Mahasiswa. Ia menepis dengan paksa.

“Jangan seperti itu, dong,” seru massa aksi.

Perdebatan kian melebar. Tak buahkan hasil, massa ambil langkah mundur dan bubar. Kami semua memutuskan untuk bertolak ke Jalan Letkol Hasan Basri, hendak menyantap sarapan. Sarapan tak dapat, yang ada malah tertimpa musibah. Saya dan Raudatul Adawiyah—kru Bahana—malah dihadang polisi, saat yang lain sudah lebih dulu berangkat.

Mereka bentak kami dan minta tunjukkan identitas diri. Kami sempat ambil gawai dan berniat mengabari rombongan. Namun, polisi kadung buru-buru minta saya nonaktifkan gawai. Tak hanya kami berdua, ada pula Ahlun—Ketua KPA EMC2. Ia memang sedari awal menunggu kami di belakang.

“Udah, bawa saja ke Polres,” ucap salah seorang polisi di sana.

Polisi memboyong kami ke kantornya untuk kebutuhan penyelidikan, katanya. Di ruang intel, saya dan Rauda diminta menjawab siapa dalang aksi itu. Ancaman-ancaman pun sempat mereka lontarkan, jika kami tak bisa kooperatif. Perlahan-lahan, suasana berubah sedikit lebih cair. Kami diajak sedikit berbincang-bincang tentang hal lain di luar ihwal aksi.

Perasaan takut dan panik masih melekat. Saya minta izin salah satu intel di sana untuk hubungi teman lain. Saya mengontak Jeffri Sianturi, Koordinator Umum Senarai yang juga ikut aksi. Cerita Jeffri, bahkan mereka belum sempat menikmati sarapan yang dipesan. Ia ajak seluruh rombongan tancap gas ke markas Polresta.

Setiba di lokasi, rombongan justru dihalangi masuk. Massa menghubungi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru untuk membantu. Akhirnya, beberapa perwakilan rombongan diizinkan masuk bersama pihak LBH.

Usai negosiasi dan bercakap di ruang intel selama 3 jam, kami bertiga dibebaskan. Namun sebelum itu, ada surat pernyataan yang harus kami tanda tangani.

Cerita ini, satu dari sejumlah pengalaman lain yang saya dapat selama satu bulan magang di Senarai.

Mundur 5 hari, Senarai sudah lakukan diskusi publik untuk bahas perihal ini. tentunya mempertanyakan kejelasan perkara kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) PT BMI yang tak ada tindak lanjutnya.

Pihak Kejati bahkan turut diundang. Sayangnya, mereka kabari berhalangan hadir hitungan jam sebelum mulai diskusi. Alasannya pun tak jelas. Suryadi jelaskan bahwa orang-orang yang berhak sampaikan informasi terkait kasus PT BMI sedang punya kesibukan. Padahal, dua hari usai undangan dikirim, pihak Kejati sempat hubungi panitia untuk tanya kepastian acara. Berangkat dari sana, Senarai menduga pihak Kejati kemungkinan datang.

“Kita [senarai] menduga sepertinya mereka tidak akan mau menjelaskan perkara ini ke publik dan memilih menjelaskan kasus ini secara tertutup,” pungkas Suryadi dalam diskusi bertajuk Kapan PT BMI Diadili? di Bonsai Coffee itu.

Lanjut Suryadi, PT BMI jadi satu-satunya perusahaan yang belum diadili atas perkara karhutla di penghujung tahun 2021. Bahkan, kasusnya pun belum dilimpahkan ke pengadilan.

Jeffri menambahkan, PT BMI ditetapkan sebagai tersangka pada Mei 2021. Kasus mandek hingga kini. Bahan perkara kasus baru dalam tahap satu. “Berkas dari polisi dilimpahkan kekejaksaan. Berputar di lingkaran itu saja. Ibarat kedua pihak ini saling berbalas pantun.”

Ia menilai Kejasaan Tinggi (Kejati) Riau bak anak emas-kan PT BMI. Buktinya saja, pengadilan memakan waktu hampir 2 tahun, tepatnya 1 tahun 8 bulan. Padahal, rata-rata dari proses terjadinya kebakaran untuk sampai ke pengadilan hanya butuh waktu sekitar 8 bulan. Apalagi, kebakaran yang terjadi cukup luas.

Belajar Liputan di Luar Kampus

Kedekatanku dengan Senarai dimulai kurang lebih sebulan belakangan. Program magang dari kampus lantas membuat saya memilih tempat ini untuk menjajal ilmu kewartawanan lebih dalam, pikirku.

Bak kata pepatah, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Selain menjadi wartawan, banyak hal baru yang kupelajari. Terutama, bagaimana etika dan proses liputan di ranah persidangan.

Sudah lebih kurang 3 tahun ini saya berkecimpung jadi jurnalis kampus di Lembaga Pers Mahasiswa Bahana. Bolak-balik meliput banyak hal, selama ini masih terpaku pada sekitaran kampus. Coba-coba menulis rubrik perca yang ringan, hingga liputan kasus.

Selain keharusan beradaptasi, aku dituntut belajar memahami etika sampai biduk permasalahannya. Apalagi jika yang disidangkan berkaitan dengan kasus karhutla serta korupsi.

Seminggu sebelum memutuskan magang di Senarai, aku sempat bimbang. Tak percaya diri akan mampu berbaur dengan baik di sana. Tapi, tak ada salahnya mencoba. Hitung-hitung memperkaya pengalaman.

Ceritaku di Senarai pun dimulai. Hingga akhirnya 20 September lalu, sebuah pemberitahuan pesan WhatsApp datang. Kira-kira hampir pukul 6 pagi.

“Jam 7 bisa sudah di kantor?” tanya Jeffri Novrizal Torade Sianturi yang juga pembimbing magang.

Aku mengiyakan pertanyaan itu, tanpa tahu akan ke mana dan mengerjakan apa. Wajar, sebagai anggota baru sulit rasanya menolak.

Berselang setengah jam, saya gulirkan gawai untuk pesan ojek online. Tak butuh waktu lama untuk sampai di kantor, hanya 15 menit. Suasana kantor masih lengang. Hanya tampak tumpukan gelas dan beberapa asbak rokok yang memenuhi meja. Maklum saja, ada pojok kafe di sana, namanya Kopi J. Kalau malam tiba, tempat ini jarang sepi. Kerap jadi lokasi diskusi atau bincang santai.

Kantor yang beralamat di Jalan Kamboja itu berlantai 2. Kantor Senarai ada di lantai 2, sedang lantai dasarnya diperuntukkan sebagai kantor Jikalahari.

Bang Jep—sapaanku pada Jeffri—minta untuk tunggu sejenak. Sekitar jam 8, ia sampai di kantor. Ia menyusulku ke atas untuk siapkan alat tempur liputan. Mulai dari kamera, tripod, perkabelan, hingga alat tulis. Semua menyatu dalam satu tas.

Usai berkemas-kemas, aku dan Bang Jep segera meninggalkan kantor. Segala teka-teki mau ke mana masih berkecamuk di pikiranku. Sebelum itu, ia ajak saya singgah dulu untuk sarapan soto. Bang Jep ceritakan, tempat ini sering ia singgahi bersama rekan sejawatnya yang juga alumni Bahana.

“Waktu sekre masih di Gobah, sering kami makan di sini,” kenangnya.

Mangkok soto sudah kosong, kami putuskan beranjak. Bang Jep nyalakan motornya. Ia kaget melihat aku yang tak memakai helm. Padahal, hari itu polisi sedang lalu-lalang. Langsung saja Bang Jep ambil jalan tikus.

Kami tiba di Pengadilan Negeri Pekanbaru sekitar pukul 9.30 pagi. Lagi-lagi tempat ini sangat asing bagiku, pertama kali datang. Aku mengekor di belakang Bang Jep, lalu naik anak tangga. Sampailah di ruang sidang Prof. R. Soebekti, SH. “Di sini tempatnya,” kata Bang Jep beri tahu.

Bang Jep asyik mengamati ruangan itu, bagian dalamnya masih sepi. Kelihatan belum ada perkara yang akan disidangkan. Tak lama, kami masuk dan siapkan peralatan tempur. Kabel dibentangkan. Begitupun kamera, siap digunakan. Kami tak berdua saja, Yusuf yang juga anggota Senarai ikut menyusul. Kurang lebih satu jam, majelis masuk ke ruangan. Formasi sudah lengkap, baik dari Jaksa Penuntut Umum (PU) maupun Penasihat Hukum (PH).

Orang-orang yang hadir langsung berdiri menyambut. Aku yang memang belum tahu apa-apa, ikut-ikutan saja. Ternyata, hal ini sebagai bentuk menghormati. Pun masuk dalam tata tertib persidangan. Sebuah pengetahuan baru bagiku.

Aku bincang singkat dengan Bang Jep, ternyata Senarai tengah memantau sebuah perkara perbankan. Tiga pimpinan cabang Bank Riau Kepri (BRK) terima fee 10 persen. Tersangkanya Nur Cahya Agung, Mayjafri, dan Hefrizal.

Belum lama duduk tenang coba mengamati, Ketua Hakim mulai tanyakan keberadaan ahli yang dihadirkan tim PH. Agenda sidang kali ini memang khusus mendengarkan pendapat ahli.

Sayang, tim PH terdakwa dari kantor hukum Topan Meiza Romadhon beri tahu bahwa ahli yang akan didatangkan berhalangan hadir. Sidang pun terpaksa ditunda. Kami berbalik pulang.

Tiga hari berlalu, masih bersama Bang Jep dan Yusuf, aku kembali ikuti sidang. Sekitar pukul 10 pagi, kami sudah sampai di lokasi. Seluruh peralatan sudah siap. Kamera sudah di posisi paling depan, dekat kursi pengunjung. Saksi ahli dari Tim PH pun sudah terlihat hadir. Pikirku, sidang akan segera dimulai.

Perkiraanku tak tepat. Ternyata, kami harus menunggu lagi. Sidang kasus dugaan korupsi terkait ambruknya turap Danau Tajwid di Pelalawan dan sidang gugatan Lembaga Pengawas Perusak Hutan Indonesia terhadap PT Chevron Pasific Indonesia sudah lebih dulu ambil ruangan.

Hampir pukul 4 sore, sidang BRK kembali dibuka. Hakim Dahlan, Estiono, dan Tommy Malik masuk ke ruang sidang. Tanpa basa-basi, dua ahli yang didatangkan pihak PH disumpah. Keduanya berasal dari Universitas Islam Indonesia. Eri Arifudin, Ahli Hukum Asuransi lebih dulu beri penjelasan. Dalam kesimpulannya, ia menyebut tindakan 3 pimpinan cabang itu masuk perkara hukum asuransi. Sepakat dengan Eri, Hanafi Amrani—Ahli Hukum Pidana juga beri pendapat serupa.

Selama proses tanya jawab berlangsung, aku makin tahu bahwa tak elok berdebat dalam sidang. Beberapa kali hakim coba peringatkan ahli dan PU untuk tak bertele-tele. “Ahli bebas memberikan pendapatnya sesuai bidang keilmuan yang ia miliki. Tapi, semua keputusan nanti ada di tangan kami [majelis hakim],” tegas Hakim Dahlan.

Sidang berlangsung cukup lama. Menjelang magrib, barulah kedua ahli selesai kemukakan pendapatnya. Hakim putuskan melanjutkan perkara esok hari dengan agenda pemeriksaan terdakwa.

Satu minggu berlalu, saya kembali ikut sidang lanjutan perkara BRK. Total, sudah 10 kali perkara ini jalani sidang. Kali ini agendanya sudah masuk tuntutan PU. Ada yang berbeda, aku ditemani Suryadi—Koordinator Monitoring dan Riset Senarai. Seperti biasanya, kami sarapan sejenak. Hujan turun dengan derasnya. Seketika reda, kami bergegas ke pengadilan.

Waktu mulai sidang yang tak tentu membuat kami lagi-lagi menunggu. Sekitar pukul 6 sore, Majelis Hakim masuk ruangan. Formasi Tim PH ternyata belum lengkap. Hakim lalu putuskan untuk lanjut persidangan usai salat magrib.

Pihak PU dalam nota yang dibacakan, minta hakim untuk menjerat terdakwa dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp100 juta. Namun nyatanya, majelis hakim menuntut ketiganya dengan kurungan 2,5 tahun penjaran dan denda dalam jumlah yang sama.

Adapun dasar yang dipakai untuk menjerat adalah pasal 49 ayat 2 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Satu bulan bersama Senarai, memaksaku belajar hal-hal baru. Mencicipi apa yang belum pernah aku temukan di lingkup kampus. Sebab pikirku, belajar bisa di mana saja. Setiap peristiwa selalu hadir membawa pelajaran berharga.

Penulis: Firlia Nouratama

Editor: Annisa Febiola