Kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Syafri Harto Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau (FISIP UNRI) memasuki babak baru. Untuk buktikan kebenaran kasus, pimpinan kampus sudah bentuk Tim Pencari Fakta atau TPF. Kata Sujianto selaku juru bicara, tim ini akan dijanjikan bekerja sesuai amanah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud-Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Namun pada kenyataannya, sejumlah ketentuan-ketentuan dalam TPF tak seirama dengan peraturan yang diundangkan September lalu itu.

Lantas bagaimana idealnya TPF harus bekerja? Bagaimana pula Permendikbud-Ristek PPKS bisa melengkapi dan menguatkan upaya legal dalam melindungi korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi?

Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa (BM) menghelat diskusi daring melalui siaran langsung dari Instagram @bahana_unri. Kegiatan ini masuk agenda rutin BM tiap Jumat. Bertajuk Permendikbud-Ristek PPKS dan Realita Penanganan Kekerasan Seksual di UNRI, BM bikin bincang-bincang.

Dalam diskusi kurang lebih satu jam pada 12 November itu, BM hadirkan dua pembicara. Pertama Bivitri Susanti, ia seorang Pakar Hukum Tata Negara. Hadir pula Tunggal Pawestri—aktivis perempuan sekaligus konsultan gender. Raudatul Adawiyah Nasution, Kru BM memandu diskusi tersebut.

Bagaimana sebenarnya Indonesia melindungi hak perempuan? Sejak kapan Anda merasa hak perempuan sering dirugikan?

Tunggal Pawestri: Awal-awal saya gabung dengan kelompok perempuan dan ikut diskusi. Pun terlibat aktif dikerja-kerja untuk pemenuhan hak perempuan. Indonesia sendiri belum punya Undang-Undang (UU) Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Padahal ini penting untuk melindungi perempuan dalam ranah rumah tangga, yang dianggap sebagai ranah personal.

Di masa Soeharto, gerakan perempuan mendapat stigma buruk. Banyak yang harus diperjuangkan. Salah satunya perwakilan perempuan di politik. Bicara soal indeks gender 20 tahun lalu. Ketimpangannya sangat tampak, termasuk di bidang pendidikan. Sekarang, ketimpangan itu jauh berkurang.

Bivitri Susanti: Orang hukum itu sebenarnya tidak punya kepekaan gender. Saat kuliah di Fakultas Hukum dulu, selalu ditekankan equality before the law, supremacy of law.  Kenyataannya hal itu tidak bisa sama untuk banyak orang dan orang miskin. Selain itu untuk perempuan dan anak-anak, penyandang disabilitas, serta lesbian, gay, biseksual, trangender. Hukum seakan-akan menutup mata terhadap perbedaan itu.

Pada kasus pelecehan seksual misalnya, ada viktimisasi di kalangan penegak hukum ketika korban lapor. Biasanya yang ditanya justru korban pakai baju apa dan kenapa keluar malam. Kadang juga muncul stigma bahwa korban menikmati hal itu kalau penyintas lama dalam melapor.

Bicara hak perempuan dan kekerasan seksual, beda zaman beda tantangan. Kalau dulu banyak orang yang tidak paham hal tersebut. Sekarang justru banyak orang memandang dengan cara yang konservatif. Seakan-akan bicara hal ini berarti liberal.

Kapan korban perempuan sadar kalau telah dilecehkan?

Tunggal Pawestri: Kesadaran mengalami kekerasan seksual tiap korban berbeda. Berdasarkan pengalaman pendampingan yang pernah saya lakukan bersama teman-teman lain, ada korban yang langsung bisa merasakan. Tetapi, ada juga yang tidak yakin jika yang dialaminya pelecehan seksual. Contohnya, ada yang sadar mendapati pelecehan setelah keluar dari ruangan pelaku. Ada pula yang sadar setahun kemudian ketika mendengar cerita dari orang lain bahwa hal itu masuk pelecehan seksual.

Lalu bagaimana agar perempuan korban sadar akan haknya dan berani bicara?

Tunggal Pawestri: Kaitannya dengan kultur di keluarga, rumah, sekolah, keseharian, dan cara pandang. Jika di rumah bisa membiasakan untuk berbicara terbuka tentang apa yang terjadi. Korban bisa punya kemauan dan kekuatan untuk itu.

Situasi eksternal pun ada juga yang memengaruhi. Contohnya saat seseorang tau ketika bicara kekerasan seksual yang dialaminya maka ia akan mendapat stigma buruk. Akhirnya korban memilih tidak lapor dan tidak membicarakan ke publik. Jadi, meskipun korban berani berbicara tapi ekosistemnya tidak mendukung, ini jadi penghambat bagi korban.

Di Indonesia, kita tidak mendapatkan kemewahan untuk mempelajari pendidikan seksual. Hal ini membuat perempuan mencari tahu sendiri. Bisa jadi sumbernya tidak pasti. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab bersama untuk menyediakan informasi tersebut. Pun membangun sebuah ekosistem yang mendukung serta kebijakan yang berpihak kepada perempuan. Lagi-lagi, pendidikan kesehatan reproduksi dan pengenalan kekerasan seksual harus diajarkan sejak dini.

Apakah pembentukan TPF oleh Pimpinan Kampus UNRI sudah tepat untuk menangani kasus pelecehan oleh Dekan FISIP tersebut?

Bivitri Susanti: Saya agak ragu dengan istilah TPF. Namun, apapun tim yang menanganinya, harus punya perspektif korban dulu. Seandainya tidak punya perspektif korban dan tidak punya pengalaman soal itu, pasti hanya ditangani berdasarkan pencarian fakta biasa. Akhirnya akan ada ketidakadilan bagi peremuan.

Secara konvensional, untuk mencari fakta adalah dengan mengkonfrontasikan kedua belah pihak. Padahal misalnya dalam kasus-kasus kekerasan seksual hal itu tidak boleh dilakukan­, karena akan menimbulkan trauma bagi pelapor atau korban.

Saat TPF ingin mengadakan pencarian fakta, pertemuan harus diadakan terpisah antara pelaku dan korban. Urusan tempat pun seharusnya netral. Apapun tempatnya tidak boleh menimbulkan trauma. Juga menimbulkan ketakutan bagi korban untuk kemudian bercerita apa yang sesungguhnya terjadi.

TPF harus terdiri dari berbagai pihak yang terkait, seperti komposisi Satuan Tugas atau satgas yang diatur dalam Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021.  Harus ada mahasiswa, tenaga pendidik, jangan beranggotakan  dosen-dosen yang punya relasi kuasa terhadap korban.  Semua tim juga harus punya pengalaman menangani kasus-kasus seperti ini dengan perspektif korban. Cara pandangnya tidak boleh disamakan dengan TPF umumnya. Tetapi harus betul-betul paham dalam konteks kekerasan seksual.

Jangan sampai TPF ini hanya jadi selubung nantinya. Jangan ada kecenderungannya dengan hanya untuk nama baik kampus. Transparansi kejadian bukan berarti mengekspos secara detail. Jangan sampai TPF hanya seperti ajang cuci dosa, kemudian melupakan fokus pemulihan korban.

Tanggapan soal tuntutan terlapor terhadap koran dan admin @komahi_ur masing-masing 10 miliar?

Bivitri Susanti: Ini judicial harassment namanya. Artinya menggunakan pengadilan untuk memberikan tekanan bagi korban. Sehingga pelapor atau korban akan mengalami kelelahan. Pun letih berhadapan dengan hukum dan alami tekanan mental. Seringkali pelaku atau kuasa hukum belum menganalisis apakah ini masuk gugatan atau laporan. Kalau sifatnya ganti rugi 10 miliar itu disebut perdata. Sedangkan UU ITE masuk pidana.

Lalu apakah dasar tuntutannya kuat?

Bivitri Susanti: Saya kira pelapor atau korban justru dalam posisi yang cukup kuat. Proses pengadilan akan mengungkap apa yang ditutupi. Tapi tetap saja ada sedikit kecemasan. Alasannya sistem hukum Indonesia lebih sering dipakai untuk melakukan judicial harassment. Mereka yang punya kekuasaan akan cenderung menggunakan pengadilan dan sistem hukum untuk menekan korban. Lagi-lagi agar korban mundur untuk menghadapi sistem hukum yang ada.

Bagaimana Permendikbud-Ristek PPKS ini bisa melengkapi dan menguatkan upaya legal dalam melindungi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus?

Tunggal Pawestri: Permendikbud-Ristek PPKS ini sangat penting. Aturan tersebut semacam jawaban bagi korban. Mulai dari cara mendapat bantuan hukum hingga bagaimana kasus akan ditangai. Alhasil tercipta ruang aman di kampus bagi siapapun, khususnya mahasiswa.

Apa makna kalimat “Tanpa Persetujuan” dalam Permendikbud-Ristek tersebut?

Bivitri Susanti: Dari segi judul tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, sehingga yang diatur memang harus soal itu. Salah satu penanda kekerasan seksual yaitu ketika tidak diberikan persetujuan, itulah bermakna kekerasan.

Kalau kata-kata ‘tanpa persetujuan’ dihilangkan dari pasal-pasal itu, maka tidak akan jadi kekerasan. Justru akan menjadi peraturan tentang hubungan seksual, yang wilayahnya memang bukan di sini. Sementara bicara masalah hubungan seksual atau hubungan antar manusia, kita punya sistem yang lain.

Jangan berpikir bahwa hanya hukum dan peraturan menteri saja yang akan mengatur tata kehidupan kita.  Ada juga norma kesusilaan, norma kesopanan, dan bagian-bagian lain itu sudah dijangkau oleh hukum. Misalnya, dalam pernikahan. Kalau tidak memakai persetujuan dari salah satu pihak, aturannya masuk di KUHP pasal zina. Contoh lain, ada mahasiswa bercumbu di kampus, maka bisa kena kode etik kampus. Hal-hal seperti ini sudah bisa dijangkau.

Saya kira cara berpikir terkait aturan ini harus dengan nalar hukum. Artinya tidak semua hal yang tidak diatur itu dibolehkan. Cara berpikir dalam sistem hukum kita adalah yang tidak diatur bukannya menjadi boleh.

Kata persetujuan yang kemudian menimbulkan persepsi adalah keliru. Kalau bicara hukum maka tidak bicara soal persepsi. Melainkan harus bicara kata-kata dan apa normanya. Ketika satu atau dua kata dicabut, maka maknanya akan berbeda. Sehingga tidak lagi menjadi kekerasan seksual.

Tunggal Pawestri: Kita berpikir sampai sekarang korban pelecehan seksual banyak sekali. Kasusnya benar-benar ada. Para korban sudah gerah untuk segera menghentikan. Mereka sendiri tidak bisa bersuara. Pun tidak tahu harus lapor ke mana, ditambah punya ketakutan-ketakutan dan trauma.

Macam-macam pelecehan seksual yang selama ini, dinormalisasi. Seperti suit-suit, sampai mengomentari tubuh perempuan dengan nada sensual. Sekitar 77 persen dosen  mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Dan tidak ada aturannya. 

Data di atas juga diperkuat oleh survei Kemendikbud pada 2020, dilansir dari laman Tempo.co. Sebanyak 63 persen bahkan tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan.

Kemudian ada persepsi, atau implikasi jika setuju maka boleh. Ini lompatan logika yang agak jauh. Semacam punya persepsi yang aneh-aneh di luar konteks itu. Jadi, imajinasi-imajinasi liar semacam ini tidak bisa masuk ke dalam Permendikbud-Ristek.

Bagaimana menyikapi korban yang berani menceritakan kasusnya?

Tunggal Pawestri: Sederhana saja, ketika mendengar maka percaya dengan yang disampaikan korban. Bersimpatilah terhadap cerita korban. Tanyakan bagaimana perasaan dan keinginan korban. Ceritakan juga kepada Lembaga Bantuan Hukum yang berkompeten. Lalu tanyakan langkah terbaik yang mengedepankan perspektif korban.

Jadilah pendamping korban yang pro-aktif. Tentu saja tetap dampingi korban. kuatkan mentalnya dan berikan dukungan. Korban juga butuh waktu cerita sedetail-detainya. Tiap langkah yang diambil korban, tentu pendamping harus berhati-hati.

Penulis: Raudatul Adawiyah Nasution

Editor: Firlia Nouratama