Tim Pencari Fakta yang digagas UNRI pada 9 November lalu telah berakhir. Buntutnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berikan rekomendasi untuk bentuk Tim Investigasi Khusus usut tuntas kasus tersebut.
“Kapan terbentuknya belum tahu, sebab menunggu dari pusat,†ujar Sujianto Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan Universitas Riau atau UNRI.
Hal ini merupakan jawaban dari Aksi Solidaritas yang digelar Aliansi Mahasiswa UNRI pada Senin (11/15). Pukul 4 sore itu, mahasiswa padati Jembatan Kupu-Kupu dengan almamater biru langitnya. Mereka bawa spanduk berisikan tuntutan terhadap kasus pelecehan seksual yang dialami Bintang — bukan nama sebenarnya.
Aksi Solidaritas ini bertujuan memberi tekanan kepada pimpinan UNRI serta mengharapkan keputusan yang diharapkan. Seperti pendampingan psikologis korban dari universitas secara langsung. Sebab, hal itu belum ada sampai sekarang.
Rifqi Siregar, bekas Vice Mayor Korps Mahasiswa Hubungan Internasional atau Komahi bilang bahwa massa berkumpul untuk adakan mimbar bebas. Sebagai edukasi agar mahasiswa sadar akan kasus tersebut. Selain itu, supaya kasus ini tidak tenggelam. Selaras, Voppy Rosea Bulki selaku Vice Mayor Komahi katakan ia ingin meminta ketegasan kepada pimpinan universitas.
Di sisi lain, Kurnia Sandi selaku Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa ungkapkan bahwa pimpinan universitas harus berkomitmen dan anggap serius kasus pelecehan seksual. Bukan hanya untuk FISIP, namun juga untuk seluruh kasus yang terjadi.
“Kita sudah mempunyai dasar-dasar hukum yang telah mengarahkan bentuk penanganan dan penegakan kasus ini. Jadi kita harus menuntut kepada rektor serta pimpinan untuk bergerak segera menangani kasus ini,†tambahnya.
Orasi dilanjutkan oleh Fitria. Menteri Pemberdayaan Perempuan Badan Eksekutif Mahasiswa UNRI ini menyayangkan bahwa perguruan tinggi justru menjadi tempat terjadinya perbuatan-perbuatan yang tidak bermoral. Maka dari itu, kasus harus terus dikawal. Sampai tuntas.
Aksi diteruskan penanandatanganan spanduk oleh massa. Hingga pukul lima sore, massa berjalan ke gedung rektorat dan mengibarkan spanduk tersebut di gedung.
Tak sampai di situ, malam harinya digelar konsolidasi dan okupasi rektorat dengan mengundang seluruh kelembagaan. Hasilnya, empat poin tuntutan disepakati dan akan diserahkan ke Rektor Aras Mulyadi.
Tuntutan pertama adalah menuntut rektor berkomitmen dan nyatakan sikap menolak segala tindakan pelecehan seksual di UNRI. Kemudian mendesak Rektor UNRI untuk memberhentikan sementara pelaku sebagai tenaga pendidik selama proses investigasi. Ketiga menuntut Rektor UNRI untuk mempublikasikan investasi secara bertahap dan menyelesaikan proses investigasi paling lama pada tanggal 17 Desember 2021 terhitung 30 hari kerja. Terakhir, menuntut rektor Universitas Riau menjalankan tim pencari fakta bersesuaian dengan pasal 27 dan pasal 28 Premendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021.
Tuntutan ini kemudian direvisi saat hendak ditandatangani Aras. Diantaranya, mengganti tuntutan nomor dua dengan mempersilakan mahasiswa untuk mengganti dosen pembimbing dan mengajukan surat kepada ketua jurusan.
Kemudian, pada tuntutan poin tiga dan empat yang berisi publikasi dan menuntut TPF untuk menjalankan tugasnya. Poin tersebut diganti dengan menuntut rektor untuk Menjalankan Tim Investigasi Khusus. Kemudian terus mempublikasikan perkembangannya dimulai dari terbentuknya tim tersebut oleh pusat dan terhitung 30 hari kerja.
Besoknya, massa kembali berkumpul. Pukul 10 pagi, Rektor Aras Mulyadi muncul dari dalam Gedung Rektorat. Ia didampingi Sujianto serta Ketua Tim Pencari Fakta Muhammad Ikhsan.
Razali Wakil Presiden BEM UNRI langsung sampaikan tuntutan. Tuntutan ini mereka tujukan sebagai bentuk kekecewaan mahasiswa tehadap lambatnya respon dan tindakan pada kasus pelecehan seksual dari universitas. Ia juga mengatakan ada sejumlah tuntutan yang dibuat berdasarkan hasil aksi FISIP Bergerak pada 5 November lalu. Namun, sudah 10 hari berlalu, belum ada kesesuaian tanggapan dari pihak pimpinan UNRI itu sendiri.
Rektor Aras Mulyadi pun menganggapi tuntutan. Ia katakan kalau kampus telah membentuk Tim Pencari Fakta. Tim ini telah menjalankan tugasnya sejak 9 November lalu dan telah berakhir. Selanjutnya akan dibentuk Tim Investigasi Khusus oleh Kemendibud-Ristek. Kampus juga akan memberikan perlindungan akademik kepada korban.
Perihal pendampingan psikologis, Sujianto sebutkan sudah datangkan pihak universitas untuk mendatangi korban pada seminggu silam. Mereka diberi surat tugas oleh pimpinan untuk membawa korban bertemu psikolog dari Kepolisian Daerah Riau dan sampaikan keluh kesahnya.
Pada pertemuan tersebut, mahasiswa juga tanyakan sebab mengapa spanduk Aksi Solidaritas yang terpasang di beberapa titik dicabut oleh satpam. “Kami memasang spanduk atas dasar solidaritas dan bentuk kepedulian kami sebagai mahasiswa Universitas Riau. Tapi saat kami memasangnya, kami direkam dan dijadikan seperti penjahat kampus,†ucap Nadya Siregar.
Sujianto beralasan, pencabutan spanduk itu karena isinya yang tidak pas dan tidak pantas dipandang oleh masyarakat. Pembentukan TPF adalah salah satu bentuk sikap dari kampus yang sangat tidak mentolerir kasus ini. Tim ini dibentuk sebagai upaya perpanjangan tangan dalam menanggapi kasus ini.
“Buat apa kita berpendidikan tinggi, sampai S3 dan bahkan profesor tapi permasalahan seperti ini kita tolerir,†tuturnya.
Lebih jauh, Rifki kembali bersuara. Ia tanyakan terkait proses akademik yang terhambat di FISIP. Khususnya mahasiswa yang melakukan bimbingan skripsi kepada pelaku. Rifki menuntut pihak universitas untuk menonaktifkan sementara pelaku yang juga menjabat sebagai Dekan FISIP.
Menanggapi hal tersebut, Sujianto sebutkan sudah memanggil Ketua Jurusan dan Sekertaris Jurusan Hubungan Internasional pada Sabtu dan Senin lalu. Ia memberikan arahan untuk mengganti dosen pembimbing.
“Tidak ada persoalan tentang hal ini. Silakan mahasiswa sekalian yang ingin mengganti dosen pembimbingnya, silahkan ajukan surat kepada ketua jurusannya,†ujar Sujianto.
Namun selanjutnya, Sujianto juga bilang kalau penonaktifan sementara terlapor tidak dapat dilakukan. Sebab, hal tersebut harus dilakukan dengan aturan hukum yang jelas. Salah satu peraturan yang mengikat ialah UU No 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Sipil Negara (PNS). Hal ini juga dikarenakan terlapor yang berstatus sebagai PNS tersebut.
Selanjutnya, tanggapan lain juga datang dari Muhammad Abdul Yazid selaku Gubernur Mahasiswa FISIP. Ia menyinggung kinerja TPF yang tak kunjung berbuah hasil, setelah kurang lebih 10 hari kerja. Jawabannya, TPF tidak dibutuhkan lagi sebab tugasnya hanya mencari fakta saja. Maka selanjutnya, kementerian akan membentuk Tim Investigasi Khusus yang memiliki tonggak acuan kepada Peraturan Mentri Kemendikbud-Ristek No 30 Tahun 2021.
“Jadi, TPF sudah selesai kerjanya sesuai dengan SK Pimpinan. Akan dilanjutkan dengan investigasi khusus untuk perkembangan ke depannya,†ucap Sujianto. Ia juga tambahkan jika tim sudah terbentuk, Sujianto akan tampil di media.
Penulis: Najha Nabilla, Norfrida Hanum, Asih Novia Sari, Sakina Aidah, Sasgia Handayani
Editor: Andi Yulia Rahma