Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau nonaktif Syafri Harto memasuki Ruang Mudjono. Ia akan menjalani sidang tuntutan perkara dugaan kekerasan seksual terhadap mahasiswi bimbingannya. Berbalut kemeja putih dan rompi merah bertuliskan Tahanan Kejaksaan Negeri di bagian punggung, Senin (21/3). Seperti biasa, pada kedua pergelangan tangannya terpasang borgol.
Empat orang Jaksa Penuntut Umum atau JPU sudah lebih dulu duduk di depan, tepatnya di sebelah kiri. Syafri Harto menyusul, ia duduk di kursi pesakitan, ditemani kuasa hukumnya. Tak lama, hakim ketua pun datang dan segera bacakan nomor perkara.Â
“Sidang dilakukan secara tertutup,†lanjutnya. Para mahasiswa dengan almamater biru langit berbalik dan melengos keluar. Suasana di luar ruangan begitu ramai. Awak media juga datang memantau.Â
Awalnya, sidang ini diagendakan pada 18 Maret lalu. Namun, harus diundur sebab jaksa belum selesai merumuskan tuntutan. Penantian akhirnya terjawab. JPU pun mendakwa dengan masa tahanan selama tiga tahun. Kemudian, Syafri juga mesti mengganti biaya kerugian dari pihak korban senilai Rp10.772.000.
JPU Rita Octavera duduk kembali usai bacakan tuntutan. Sidang yang berjalan selama kurang lebih dua jam ini menggugat Syafri dengan pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Â
Pasal itu berbunyi: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
JPU Syafril mengatakan bahwa terdakwa Syafri Harto melakukan pembelaan atas dirinya. Meskipun begitu, JPU menilai hal itu sebagai pintu jebakan bagi terdakwa untuk menunjukkan kesalahan yang telah ia buat.Â
Selain itu, Syafril juga menyebut adanya relasi kuasa yang tidak seimbang. Tepatnya antara dosen dan mahasiswa, yang menjadi sebab adanya unsur pemaksaan. Tak hanya pemaksaan, JPU juga buktikan kebenaran atas itu. Seperti melakukan perbuatan cabul kepada korban, dengan cara mencium bagian pipi dan kening. Juga, berusaha mencium bibir korban.Â
“Dalam perbuatannya terdapat unsur pemaksaan dan cabul,†Ujar Syafril di Ruang Mudjono.
JPU juga kembalikan barang bukti kepada korban. Instrumen yang digunakan terdakwa dalam melakukan kejahatan seperti handphone yang hendak dirampas dan dimusnahkan.Â
Sementara itu, Rian Sibarani dari Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru menyayangkan tuntutan yang diberikan. Rian menilai tuntutan itu masih tergolong rendah. Bila dibandingkan dengan tuntutan maksimal pidana pada pasal terkait, Syafri Harto bisa dituntut selama 9 tahun.Â
Apalagi, tambah Rian, terdakwa merupakan tenaga pendidik. Sederhananya, jika diberikan hukuman ringan, diasumsikan bahwa Syafri Harto akan kembali mengulang perbuatannya. Hukuman yang diberikan kepada terdakwa hendaknya menjadi efek jera. Sehingga, kata Rian, siapapun yang berpotensi menjadi korban, dapat merasa aman di lingkungan kampus.Â
“Semoga nantinya majelis hakim dapat memutuskan tuntutan yang memberikan efek jera bagi pelaku,†harapnya.
Sementara itu, Agil Fadlan Mabruri dari Korps Mahasiswa Hubungan Internasional yang mendampingi korban sejak awal juga utarakan kekecewaannya. Ia ingin agar hukuman terhadap pelaku dapat memberikan keadilan bagi penyintas, dengan hukuman seberat-beratnya.Â
“Agar memberikan efek jera bagi penjahat kekerasan seksual,†tulis Agil dalam pesan WhatsApp.Â
Perjalanan panjang kasus ini belum usai, masih akan ada sidang lanjutan. Agendanya pembelaan terdakwa melalui kuasa hukum yang akan digelar pada 24 Maret mendatang.Â
Penulis: Novita Andrian, Juanito Stevanus, Zacky Devian Alvis
Editor: Andi Yulia Rahma