Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak berikan akses publik yang luas saat pembacaan putusan Syafri Harto. Sidang Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) nonaktif Universitas Riau itu diadakan di ruangan yang kecil dan sempit. Padahal, kata Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru Rian Sibarani, persidangan sebelumnya  di ruang yang miliki kapasitas 50 orang. 

Rian juga sampaikan beberapa hal yang ganjal. Seperti dibatasinya beberapa orang untuk saksikan sidang secara langsung. Selain itu, agenda ini awalnya akan dilakukan tatap muka. Namun, dikarenakan beberapa hal diganti secara daring. Parahnya, masyarakat juga tidak diberikan akses untuk ikuti persidangan secara online dari pengadilan. 

Pembacaan putusan yang diadakan 30 Maret ini hasilkan tiga pertimbangan oleh majelis hakim. Menurut mereka, terdakwa tidak terbukti bersalah. Rian simpulkan kalau putusan itu berdampak buruk terhadap penanganan kasus kekerasan seksual. Menurutnya, keputusan ini seolah-olah melanggengkan terjadinya kekerasan seksual. Khususnya di dunia pendidikan. 

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum atau JPU layangkan dakwaan primer ke SH dengan Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).  Diikuti dengan subsider Pasal 294 ayat 2, dan lebih subsider pasal 281 ayat 2 KUHP. 

“Ketiga dakwaan ini menurut hakim tidak terbukti satupun,” keluh Ryan.

Sebelum vonis dibacakan hakim, JPU menuntut SH menggunakan pasal 289 KUHP kurungan selama tiga tahun.

Atas keputusan itu, LBH menilai beberapa hal. Pertama, hakim tidak mempertimbangkan psikis yang dialami penyintas. Padahal sudah ada keterangan ahli psikolog terhadap korban. 

Selanjutnya, hakim menyatakan bahwa korban tidak dipukul atau dipaksa. Dengan kata lain, unsur kekerasan tidak terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa majelis hakim tutup mata ihwal kekerasan psikis yang dirasakan penyintas. 

“Ketimpangan relasi kuasa tidak dapat dijadikan alasan adanya suatu perbuatan ancaman kekerasan,” ujar Rian mengulangi pernyataan hakim. 

Lebih jauh, LBH singgung perihal pemahaman hakim tentang pedoman mengadili perkara perempuan. Hakim dianggap gagal memaknai maksud dan tujuan pasal tersebut. Sebab tidak mempertimbangkan Peraturan Mahkamah (Perma) Agung Nomor 3 Tahun 2017. 

“Majelis hakim dalam menangani kasus perempuan yang berhadapan dengan hukum  haruslah lebih hati-hati dalam menggali dengan analisis gender,” ujarnya.

Selain itu, hakim dinilai tidak memandang kasus kekerasan seksual secara komprehensif. Buktinya, mereka terkesan kaku dalam hal pembuktian. Kelima, diperlukan majelis hakim yang progresif dan memiliki perspektif gender dalam memutus kasus kekerasan seksual. 

Rian juga sesalkan terhadap nihilnya payung hukum yang lebih spesifik dalam tangani kasus kekerasan seksual. Sejauh ini, Rian sebutkan, kasus dengan korban orang dewasa menggunakan pasal KUHP. Disisi lain, pasal tersebut tidak secara khusus berikan keadilan bagi korban kasus kekerasan seksual.

Hal ini tentunya menjadi hambatan besar dan bertentangan penuh dalam menangani kasus kekerasan seksual. Putusan bebas ini jadi cerminan buruk dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Serta melanggengkan kasus serupa di setiap kampus. 

Pasalnya, hakim berpendapat bahwa perlu saksi yang melihat secara langsung kasus kekerasan seksual jika terjadi di ruangan tertutup. Sementara itu, tidak memungkinkan adanya saksi lain yang dapat melihat hal tersebut.

Rian juga keluhkan status SH sebagai seorang dekan di FISIP UNRI. Belum ada sanksi administrasi yang dijatuhkan. Baik dari rektor maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Padahal, Satuan Tugas Kekerasan Seksual UNRI sudah usai lakukan pemeriksaan secara administratif. Hasilnya juga sudah diserahkan ke rektor. Namun, hasil pemeriksaan dan rekomendasi tak nanpak hilalnya sampai sekarang. 

LBH Pekanbaru sampaikan beberapa desakan. Seperti mendorong JPU menyusun memori kasasi yang lebih spesifik. Khususnya menjabarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Gunanya memperkuat dakwaan atau tuntutan yang sudah dibacakan di persidangan. 

“Kita juga meminta atau mendesak ketua Mahkamah Agung untuk menunjuk hakim agung yang berspektif gender dan mampu memeriksa kasus kekerasan seksual ini,” katanya. 

Nantinya, majelis hakim agung pemeriksa perkara dapat memperbaiki penerapan hukum yang disusun hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru. Terutama memperhatikan mandat Perma Nomor 3 Tahun 2017 tersebut. 

Selepas itu, LBH minta rektor berikan sanksi administratif kepada SH. Berdasarkan Permendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021. Harapannya, hukuman yang diberikan mampu tegakkan keadilan bagi penyintas. Terakhir, Kemendikbud Ristek juga diharapkan berikan perhatikan khusus dan mempertegaskan Permendikbud Ristek Nomor 3 Tahun 2021. 

Tak hanya LBH Pekanbaru, turut hadir Meila Nurul Fajriah dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI. Menurut Meila, keputusan bebas itu sungguh pengkhianatan terhadap korban. Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa keputusan ini bisa jadi acuan untuk membuat keputusan yang sama kedepannya. 

YLBHI memberikan poin penting pada putusan ini. Selaras dengan Rian, Meila juga sampaikan hakim yang mengabaikan Perma nomor 3 tahun 2017 itu. Terkait cara penanganan perkara perempuan di ranah hukum. 

“Banyak pasal-pasal yang dilanggar,” lanjutnya. 

Misalnya pada pasal satu nomor 9. Hakim menampik masalah relasi kuasa. Lalu kondisi korban pada saat itu yang wajib diperhatikan oleh hakim dalam putus perkara. Dapat dilihat proses keputusan perkara, YLBHI menyayangkan  bukti yang dilampirkan tidak kuat. 

Padahal  salah satu poin dalam perma nomor 3 tahun 2017 tertulis bahwa kondisi korban harus diperhatikan. Hal itu juga bisa dijadikan bukti. Terlebih jika sudah diperkuat oleh jaksa dengan datangkan keterangan ahli. Apalagi hakim tidak menggunakan pasal dakwaan primer dalam putusan ini. 

Hal yang sama diminta oleh YLBHI. Mendesak Mahkamah Agung untuk melihat implementasi pasal tersebut. Juga menekan UNRI untuk keluarkan hukuman etik atau sanksi administrasi kepada pelaku. Selain itu, masyarakat juga harus tetap getol kawal perkembangan kasus ini. 

Keluhan Rian dan Meila tadi didukung dengan riset yang digarap Komisi Nasional (Komnas)  Perempuan. Siti Aminah Tardi, perwakilan dari Komnas Perempuan paparkan kasus berbasis gender yang terjadi di Riau. Sejak 2015 sampai 2021. 

Siti katakan kalau kasus yang dilaporkan hanyalah puncak gunung es. Masih banyak korban yang belum bicara terhadap kejadian yang dialaminya. Dari awal, lembaga ini sudah sampaikan rekomendasi agar sistem penyelenggaraan pendidikan nasional harus serius dalam melakukan pencegahan dan penanganan kasus terhadap perempuan. Hal ini jadi bagian dari penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Saran dan rekomendasi tersebut diusul dari tahun 2015. 

Menurut data Komnas Perempuan yang diambil sejak 2015-2021, kampus menempati urutan pertama sebagai kasus terbanyak atas kekerasan seksual. Pelakunya mendominasi guru atau ustad. Disusul dosen diurutan kedua. Maka dari itu, dunia pendidikan harus memahami konteks relasi kuasa. Antara peserta didik dengan guru ataupun penyelenggara pendidikan. 

“Hal ini dikarenakan seseorang yang diberikan kuasa untuk membimbing tau memberikan panutan itu menggunakan kuasa untuk keuntungan seksual.” tutup Siti pada Konferensi Pers Putusan Bebas Pelaku Kekerasan Seksual di UNRI pada Selasa, (5/4) lewat Zoom Meeting. 

Penulis: Najha Nabilla

Editor: Andi Yulia Rahma