Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Riau (UNRI) Syafri Harto bebas dari dakwaannya sebagai tersangka kasus pelecehan seksual pada Maret lalu. Putusan bebas ini menjadi jejak buruk bagi keadilan korban kekerasan seksual.
Salah satu saksi bahkan tidak dianggap kesaksiannya dalam persidangan. Banyaknya keganjilan dalam putusan hakim patut diperbincangkan. Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi) UNRI ikut bersaksi dalam persidangan.
Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa (BM) menghelat diskusi daring melalui siaran langsung dari Instagram @bahana_unri. Bertajuk Menilik Kejanggalan Persidangan Syafri Harto, BM taja bincang-bincang.
Dalam diskusi pada Sabtu (21/5) lalu, dihadiri oleh Agil Fadlan Ketua Divisi Advokasi Komahi. Juga Andi Wijaya Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum atau JPU layangkan dakwaan primer ke SH dengan Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Diikuti dengan subsider pasal 294 ayat 2, dan lebih subsider pasal 281 ayat 2 KUHP.
Menurut hakim, ketiga dakwaan tidak terpenuhi. Sebab tidak adanya unsur kekerasan. Alasannya, korban tidak dipukul atau dipaksa oleh pelaku. Hal ini dinilai jelas bahwa majelis hakim tutup mata ihwal kekerasan psikis yang dirasakan oleh penyintas.
Selain itu ada unsur pencabulan yang terpenuhi. Namun, pemenuhan unsur pembunuhan tidak terbukti. Sebab hanya ada satu saksi. Hal ini terbukti saat korban bersama Komahi melaporkan kasus ini ke kepolisian dan konferensi pers. Ia menyatakan bahwa pelaku menyentuh bahu korban tanpa persetujuan penyintas.
“Apabila sudah memegang tidak dengan izin dan tidak ada kendali disana, benar itu termasuk kekerasan seksual,†ujar Andi.
Malang, saat persidangan, pelaku tidak mengakui kejadian itu. Andi sebutkan, saat konferensi pers, SH mengakui beberapa adegan yang dilakukannya saat di ruangan dekan. Sehingga, ini perlu ditelusuri lebih dalam. Kejanggalan ini harus banyak ditemukan lagi. Caranya menelisik kejadian di ruang keputusan. Seperti kesaksian, terdakwa, dan pakar ahli yang hadir.
“Kita perlu mengoperkan fakta-fakta dari ruang sidang dengan fakta yang tertulis di ruang keputusan, karena kasus ini pun tertutup,†tegasnya.
Andi katakan bahwa ia membahas masalah ini bersama beberapa ahli pidana. Lanjutnya, mereka menilai ketiga hakim menggunakan sudut pandang dan metode penyelesaian yang klasik terhadap pasal.
“Seharusnya menggunakan penafsiran yang lebih progresif. Sehingga, ketika berada di masa kini tidak berlaku lagi tafsiran umum yang lama,†kritik LBH ikut melihat kejanggalan yang terjadi selama proses sidang.
Berdasarkan kejadian sidang putusan yang disaksikan oleh Andi dan Agil, disebutkan bahwa ancaman kekerasan seksual itu tidak nyata. Andi katakan, hakim mengakui ancaman kekerasan yang bukan fisik atau ancaman nyata.
Akan tetapi, menurut Andi, perlu diperhatikan kembali bahwa ancaman psikologis korban yang tidak dipandang oleh hakim. Ia merasa kecewa karena penafsiran hakim terhadap unsur-unsur ancaman kekerasan seksual masih dangkal.
“Menurut kita pandangan hakim itu dangkal sekali,†keluhnya.
Keganjilan selanjutnya adalah hakim tidak mempertimbangkan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan dari saksi dan ahli yang dihadirkan oleh JPU. Padahal, ada 16 saksi fakta dan 7 pakar ahli yang datang.
“Ahli detektor poligraf menyatakan bahwa terdakwa berbohong dengan akurasi 90 persen,†jelas Agil.
Bahkan, kata Agil, ahli psikologi yang melampirkan asesmen korban mengidap depresi berat juga ditolak. “Tidak mungkin korban mengalami depresi berat jika tidak didasari dengan satu kejadian tersebut,†ujar Agil dengan pasti.
Agil menambahkan, ada ahli digital forensik yang mengekstrasi data telepon pelaku, namun juga ditolak oleh majelis hakim. Penolakan didasarkan karena berita acara dari ahli yang kurang jelas kesaksiaannya.
“Padahal saat koordinasi kami dengan Polda, ahli forensik ini menyatakan bahwa ada isi chat dan foto-foto tidak senonoh yang mengimplikasikan adanya perilaku yang mengarah pada pasal itu,†ungkap Agil.
Menurut Agil, ketiga ahli dapat menjadi kunci dari kesaksian dan dapat membuka titik terang dalam kasus ini.
Andi menanggapi persoalan penolakan bukti, ia mengkritik hakim seharusnya mempunyai terobosan yang tepat dan jeli terhadap bukti dari para ahli. Bukti-bukti yang perlu diutamakan di atas pertimbangan hukum dari tiga orang hakim.
Meskipun ditolak, Andi menyampaikan berkas bukti tetap disimpan sebagai petunjuk untuk hakim agar memberikan penilaian yang jeli. “Yurisprudensi, banyak hakim dari pengadilan negeri di luar Pekanbaru yang memberi vonis bersalah kasus kekerasan seksual,†imbuh darinya menambahkan masukan untuk pertimbangan hakim.
Agil kembali ungkapkan kejanggalan lainnya. Ia sebut, ada penundaan putusan selama satu hari dan Komahi tidak diperbolehkan berada di lokasi persidangan. Agil mengaku, ia curiga ada apa dibalik penundaan putusan.
“Apakah ini salah satu protokol keamanan mereka atau ini adalah mitigasi mereka terhadap putusan. Nah, kita tidak tau tapi ini asumsi belaka,†ucap Agil. Ia mencurigai hal itu karena pihak pengadilan mengatakan perlu mencari referensi. Tidak masuk akal di pikiran Agil, bahwa bagaimana mungkin menemukan referensi dalam satu hari kemudian penjagaan keamanan pun semakin ketat.
Andi sebagai saksi melihat banyak kejanggalan mulai dari proses, fakta-fakta persidangan, notulensi dan pertanyaan yang diajukan tidak selengkap pada saat proses pemeriksaaan. Akhirnya alat bukti dalam persidangan ini pun ikut dipertanyakan.
Ia katakan bahwa setiap aturan dalam KUHP telah mengatur kaidah permasalahan alat bukti, yaitu hakim membuktikan tindak pidana dalam dua objek saja. Berupa saksi dan petunjuk. Termasuk keterangan ahli itu di dalam petunjuk jika sudah cukup bukti untuk memvonis atau menjatuhkan pembuktian pasal. Meskipun demikian, penafsiran hakim tersebut dinilai dangkal olehnya.
Agil yang turut menjadi saksi dalam persidangan, sekaligus menjadi perwakilan advokasi Komahi, mengatakan bahwa pertanyaan hakim tidak menyinggung penyelidikan kasus. Misalnya, pertanyaan apakah ada orang yang meminta Komahi mengajukan pembelaan.
Hakim juga menanyakan alasan mengapa Komahi mempercayai korban. Agil katakan bahwa korban melaporkan dalam keadaan depresi dengan bukti-bukti diantaranya chat Whatsapp. Bukti berisikan pesan dan bujukan SH agar Bintang bungkam terhadap kejadiaan.
Agil turut bersaksi kepada hakim bahwa korban melaporkan kejadian ke pihak jurusan namun tidak mendapat respon yang baik. Ia pun mengetahui perjalanan kasus yang dimulai dari 29 Oktober saat korban melapor ke Komahi.
Demikian juga Agil menilai bagaimana pertanyaan yang dilontarkan oleh kuasa hukum SH yang berusaha menjauhkan pandangan dari terdakwa. Misalnya, mengenai birokrasi organisasi di kampus. Kuasa hukum SH bertanya mengapa tidak berkoordinasi dengan fakultas dan universitas sebelumnya.
Penulis: Shinta Rahayu
Editor: Denisa Nur Aulia