Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum (RKUHP) kembali naik daun setelah tiga tahun silam menjadi buah bibir masyarakat. Tidak transparannya parlemen membahas dan mengajukannya, memunculkan berbagai polemik di tengah hiruk pikuk dunia perpolitikan.
Karena itu, hal tersebut tidak diarahkan hanya pada proses legislasinya yang seolah-olah tergesa-gesa, serta absennya peran warga negara. Pula lahirnya pasal-pasal yang mengancam kebebasan sipil dan hak asasi manusia.
Karena hal itu, Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru mengajak para kritikus, aktivis, mahasiswa serta masyarakat umum berpraktik di Rumah Walhi Riau. tema RKUHP Ancaman Hak Asasi dan #SemuaBisaKena, konsolidasi ini merupakan bentuk serangan terhadap RKUHP.
Para hadirin datang dari berbagai institusi. Ada Boy Even Sembiring dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau. Kemudian Eko Faizin dari AJI Pekanbaru, Zainul Akmal Dosen Hukum Tata Negara Universitas Riau. Lalu Noval Setiawan dari Lembaga Badan Hukum Pekanbaru sebagai pembicara pelaksanaan diskusi pada sore itu.
Keluhan yang ada dalam diskusi adalah banyak pasal RKUHP yang tidak sesuai dengan kebebasan sipil. Serta hak asasi manusia.
Rancangan ini memerlukan waktu yang lama untuk penyelesaian dan penerapannya. Mengingat bahwa RKUHP yang saat ini digunakan Indonesia merupakan produk yang sudah lama, beberapa di antaranya sudah relevan dengan dinamika masyarakat.
Contohnya saja tentang pasal terkait dengan presiden dan wakilnya. Noval Setiawan menjelaskan rancunya pasal tersebut.
“Pasal ini bukan memberikan fitnah melainkan memberikan kritikan terhadap presiden dan wakil presiden maka dari itu pasal ini harus dilakukan perbaikan,” tuturnya.
Selanjutnya ia menyampaikan tentang negara yang membatasi masyarakatnya melakukan unjuk rasa. Seperti sekarang, demo harus melampirkan surat izin kepada polisi. Bila tidak ada dan tidak mendapatkan izin, maka akan dianggap ilegal dan bisa dikenakan sanksi.
Dalam diskusi itu, Indra menambahkan beberapa pendapatnya mengenai hukum adat yang tertulis pada RKUHP. Disebut bahwa pelanggaran terhadap hukum adat akan dipidana. Ia menyampaikan ketidaksetujuannya mengenai pasal tersebut.
“Jika terjadi pelanggaran hukum adat, sebaiknya diselesaikan secara hukum adat setempat. Hal ini akan terlihat lebih elegan,” tuturnya.
Hal tersebut tidak perlu dimasukkan dalam rancangan RKUHP. Agar tidak merusak asas legalitas.
Ada lagi Miftahul Huda yang turut sumbang pendapat. ia mengaku sangat tidak setuju dengan RKUHP. Bukan sedekar mengikut suara saja, sebab rancangan ini ia sebut sebagai produk kolonial. Lagi pula sebagian pasalnya perlu dilakukan evaluasi. Khususnya dalam pasal 218, 219. Kemudian 343 dan 344.
Saat ini pemerintah yang terbuka terus menguji dan membahas RKUHP. Karena rendahnya kepercayaan masyarakat, wakil rakyat diminta transparan dan melibatkan masyarakat dalam rancangan rancangan. Ia juga berharap pemerintah mempertimbangkan sebelum mengesahkannya.
Sebagai penutup, Haldi sebagai moderator katakan, bahwasannya LBH Pekanbaru akan mendorong dan memfasilitasi sebuah aksi bersama. Kelompok-kelompok sipil yang ada di Pekanbaru atau Riau secara umum untuk menolak RUU KUHP.
Penulis : Nola Aulia Rahma
Editor : Karunia Putri