Oleh Redha Alfian

SEBELUM cerita dilantunkan, terdengar suara gendang mengiringi. Gendang kuning berbahan pohon kayu Losso. Bukan sembarang kayu. Taslim mengambil kayu ini setelah warnanya menguning—terkena sambaran petir—barulah pohon ditebang. “Tak bisa sembarang diambil karena bisa gatal kena kulit,” jelas Taslim.

Jika tak sedang ia gunakan untuk berkoba, gendang tersebut selalu diasapi dengan kemenyan. Setelah diasapi akan ia simpan. Pantangannya, gendang berbahan kulit kijang ini tak boleh dilangkahi. “Gendang ini suaranya lain dari yang lain.”

Kini gendang jarang ia pakai. Pasalnya sudah sedikit pesta rakyat yang gunakan tradisi koba.

 

ATUK Taslim sapaan akrabnya, salah seorang tukang koba asal Pasir Pengaraian Kabupaten Rokan Hulu. Ia berjarak sekitar 133 kilo meter dari Kota Pekanbaru. Atuk Taslim kini berusia 57 tahun, anak tertua dari enam bersaudara. Pendidikan terakhir Sekolah Rakyat.

Atuk Taslim belajar koba dari neneknya. Koba adalah kesenian yang berkembang di sepanjang pesisir dan pedalaman Sungai Rokan (Kabupaten Rokan Hilir dan Rokan Hulu). Tradisi koba disampaikan lisan, isinya berupa dongeng, pantun atau pesan tertentu tergantung kreativitas tukang koba. Semua disampaikan dengan lagu, nada dan irama.

Dalam situs warisanbudayaindonesia.info disebutkan bahwa koba merupakan Warisan Budaya Tak Benda Nasional sebagai khasanah khas Rokan Hulu. Kesenian berbentuk pertunjukan ini telah ada sejak akhir abad ke-19 dan berkembang pada abad ke-20 hingga pertengahan.

Koba biasa ditampilkan saat perhelatan pernikahan, sunatan, mencukur rambut anak maupun kegiatan sosial masyarakat. Waktu pertunjukan biasanya setelah Isya dan ditampilkan di tempat keramaian, seperti los pasar atau rumah keluarga yang punya hajatan. Jika kobanya panjang, maka akan disambung pada malam selanjutnya.

“Bisa sampai tujuh hari tujuh malam,” ujar Atuk Taslim.

Atuk Taslim katakan perlu IQ tinggi untuk belajar koba. Pasalnya harus cepat menangkap kata-kata yang digunakan untuk menyambung lirik di belakang cerita. “Suara dan fisik yang bagus juga diperlukan,” tambahnya.

 

MONDUO anak kutimang anak. Anak kutimang kami buaikan. Rumah godang buatok ijuk. Rambu tali kulindan puncari. Kololah godang anakku isuk. Ilmu cari nak kawanpun cari. Dibakalah pinang buribu. Asokno sampai ke Posoman. Dongakan pungaja Ibu. Surekkan juo ku tapak tangan. Kaik parodah sanguo Palembang. Baok muraodah kutongah rimbo. Paik darah umuo pun panjang. Amal ibadah janganlah lupo.

Munagih tududu-dudu. Dek olah pisang suku kodang. Dori sonik dikasuh Ibu. Olah godang carilah untong. Bulajalah kotorompek. Laoiknyo dalam umbak monimpo. Simak pungaja Ibu dan Bapak. Siang dan malam janganlah lupo. Sungai rapek tutian rambong. Songkudoik jangki ko soborang. Kolo munapek janganlah sombong. Murah awak dibonci urang.

Buah polom di utan jirat. Cakuk sobuah masak mongka. Kololah kolom dunia akhirat. Isuk tibo baru badan munyosa. Dori ko Simang ko Dalu-dalu. Singgah digodang munyerak jalo. Singan itu timang kito ko dolu. Jiko bosambung isuk pulo. Urang godong ko kampung lamu. Bumain rakik arilah kolom. Urang kampung mari bosamu. Mombangkikkan toreh non turondam.

Ini lirik Monduo Anak, salah satu jenis koba. Ia dinyanyikan saat menidurkan anak. Dulu kebiasaan di Pasir Pengaraian, Monduo Anak dinyanyikan mulai dari bayi hingga berusia tiga sampai empat tahun. Menurut Atuk Taslim, kini tak ada lagi orang tua yang mendendangkan Monduo Anak untuk anaknya. “Sudah tak ada lagi yang tertarik dengan koba,” katanya.

Panglimo Awang judul koba lainnya. Koba ini paling terkenal di Rokan Hulu, sekaligus paling panjang. Setiap perjalanan Panglimo Awang dikobakan. Mulai dari lahir, ditimang, dewasa, merantau, berperang, dan menikah. “Sampai Panglimo Awang punya anak diceritakan juga, makanya panjang,” jelas Atuk Taslim.

Panglimo Awang berasal dari Negeri Ledong, di bagian Dolok Sordang. Diceritakan mulai lahir, kanak-kanak sampai remaja. Panglimo Awang menikahi Anggun Cik Suri. Mereka berbeda daerah. Anggun Cik Suri berasal dari Pulau Galang di bahagian Batam, sekarang sudah tenggelam. Anggun Cik Suri konon cantiknya tiada tara. Hidung mancung, kulit putih bersih, layaknya putri.

Tiada yang menandingi kecantikan Angun Cik Suri. Untuk mandi saja, Anggun Cik Suri pakai wewangian, rempah, dan bunga. Minyak gajah. Anggun Cik Suri dan Panglimo Awang punya pertalian darah anak-mamak kontan. Hanya saja berbeda negeri. Belum pernah dipertemukan. Mereka sejak kecil sudah dipertunangkan, istilahnya Gonteh Pusek.

Pertunjukan Panglimo Awang diiringi gendang. Bila memainkan koba ini, Atuk Taslim akan memainkan gendang kesayangannya dari kayu losso. Tak semua koba dimainkan dengan musik pengiring.

Saat pertunjukan koba, sirih sering dimakan tukang koba bersama penonton untuk mempererat silaturahmi. Tak ayal terjadi balas-membalas pantun di antara tukang koba dan penonton yang hadir.

Setiap beberapa babak, tukang koba akan mengambil jeda istirahat. Jeda biasanya diisi dengan minum kopi, merokok, makan sirih maupun mengobrol dengan masyarakat. Setelah waktu jeda habis, tukang koba akan melanjutkan cerita. Terkadang tukang koba sengaja memperlama waktu istirahat. Bila ini terjadi, masyarakat akan menyindir dengan pantun agar koba dilanjutkan. Berbalas pantun pun kembali dilakukan sebelum koba dilanjutkan kembali.

Cerita yang disajikan tukang koba umumnya soal perjuangan tokoh lokal. Biasanya setiap cerita mengandung makna kehidupan. Tak jarang saat koba tamat didendangkan, menurut Amirullah dalam situs riauculture.blogspot.com, tukang koba melakukan ritual khusus, seperti menyembelih ayam atau kambing dengan persembahan pisau belati, limau purut dan kain putih. #