TAK banyak tahu kota administratif Dumai berulang tahun pada 11 Juli tiap tahunnya. Mulanya hanya perkampungan nelayan yang terletak di pesisir pantai jauh dari kesan bersih. Kota itu pun kini telah ‘menggeliat’ jadikan dirinya kota pelabuhan sarat arus bongkar muat di ‘mulutnya’.
Pembangunan terus menerus terjadi. Sesungguhnya tak dapat dipisahkan dari keberadaan kilang minyak ‘puteri tujuh’ milik Pertamina, telah beroperasi sejak 1977. Hingga sekarang, keberadaan kilang minyak itu telah berikan andil yang tak kecil bagi perkembangan kota yang sejak lama diusulkan jadi kota madya.
Tentang kota ini, ada silsilah menarik. Nama kilang minyak Puteri Tujuh, sebenarnya punya keunikan. Konon, zaman dahulu, ada kerajaan termashur di Dumai bernama Kerajaan Bunga Tanjung. Diperintah seorang Ratu yang belum punya suami. Namanya Cik Sima. Lalu, suatu hari, berkunjung seorang raja dari Empang Kuala Aceh bermaksud meminang Cik Sima.
Sebelum pinangan Raja diterima, Cik Sima punya saudara dari kakak laki-laki tertua sebanyak tuju puteri. Juga ada lima orang saudara puteri lainnya dari kakak ayahnya yang kedua. Ratu negara segera kumpulkan para tetua kerajaan untuk membicarakan hal peminangan raja Aceh.
Tanpa disadari, satu dari lima kerajaan di Dumai menolak pinangan. Konon Rajanya dikenal atas kelicikannya. Maka, menggagalkan pinangan, Raja segera sebarkan isu di kalangan istana. Katanya, jika pinangan diterima, Raja Aceh akan mengawini puteri yang lainnya pula. Kalangan istana akhirnya percaya isu itu.
Akibatnya, pinangan Raja Aceh ditolak. Sebagai balasan, Raja Aceh perintahkan pasukan menyerang kerajaan Bunga Tanjung. Cik Sima segera amankan Puteri Tujuh ketempat persembunyian dalam tanah. Sedangkan lima puteri lainnya diamankan dekat Simpang Betung. Cik Sima sendiri terjun langsung ke medan perang bersama pasukan.
Dikisahkan pula, Cik Sima miliki jin berasal dari Hulu Sungai Dumai. Kono Jin itu sahabat Raja Bunga Tanjung terdahulu. Maka, Cik Sima pun membakar kemenyan memohon pertolongan Jin bernama Umai.
Pada saat bersamaan, Raja Aceh sedang istirahat di perahu yang menepi di Teluk Susuk. Atas permohonan Cik Sima, Jin Umai pun menjatuhkan buah bakau tepat di atas atap perahu Raja Aceh.
Akibatnya, buah tersebut berhasil menerobos atap sekaligus melesat menembus perut Raja Aceh. Maka tak ayal lagi ia pun hembuskan nafas terakhir.
Sebelum wafat, Raja Aceh sempat bersumpah, “Aku minta jangan dimakamkan di sini, tapi di Aceh. Dan aku bersumpah, tidak akan selamat orang-orang Bunga Tanjung sampai tujuh turunan.†Setelah keadaan dianggap aman, Cik Sima hendak selamatkan ketujuh puteri kakaknya. Apa yang terjadi? Ketujuh puteri cantik jelita ketika ditemukan telah jadi mayat. Masyarakat mengenang kejadian itu dengan ‘Kutukan Raja Aceh’. Itulah sebabnya, legenda itu tak dapat dipisahkan dari dinamika kota Dumai.
PADA zaman Jepang, Dumai jadi ‘tempat jin buang anak’. Jadi lokasi pekerja rodi umur 17 tahun ke atas. Mereka dipaksa bikin rel kereta api menghubungkan Dumai-Pekanbaru. Bahkan, mereka ditugasi mencari sumber-sumber minyak bumi di Dumai.
Perjalanan Dumai tak berhenti sampai di situ. Perkembangan demi perkembangan terus dipacu waktu ke waktu. Pada 1966 Dumai disiapkan jadi Kota Madya. Pasalnya Dumai telah jadi pintu gerbang ekspor minyak bumi. Maka semula berstatus kecamatan lewat Surat Keputusan Gubernur KDH TK I Riau No. 31/III/1966, Dumai jadi Kota Madya.
Hingga kini tak kurang lima Walikota pernah memimpin Dumai. Mereka Drs. Wan Dahlan Ibrahim (1979-1983), Drs. Rusli Idar (1983-1985), Drs. Fadlah Sulaiman Abdullah (1993 sampai sekarang). Nah, kalau kita lihat dari tahun perencanaannya, apa yang telah diusulkan pihak Pemda Riau untuk peningkatan status Dumai, sudah memakan waktu cukup lama. Rasanya, masyarakat telah menunggu selama sepuluh tahun belakangan. Bukan mustahil, jika suatu saat nanti penundaan tersebut berdampak mematikan kreativitas serta peran masyarakat dalam membangun. Pada akhirnya mereka dapat merasakan kebosanan dengan janji-janji yang tak kunjung dipenuhi.
Jadi, apa sesungguhnya yang jadi masalah? Tampaknya tak ada alasan untuk tidak meningkatkan status yang sudah sangat mendesak itu. Bagaimana pihak pusat? Dan tidak ada pula alasan pihak daerah mengendorkan perjuangan. Pendekatan dan lobi yang lebih intensif harus dilakukan. Tidak cukup hanya dengan sepucuk surat keputusan yang telah sepuluh tahun itu.
Candra, dari berbagai sumber
Edisi Januari 1994