Dahulu Gambus Selodang dijadikan musik pengiring tari Zapin di Istana Siak. Kini keberadaannya telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda.
Oleh Wan Ecika Amalia
Tersebut kisah pada zaman dahulu, terdapat sepasang muda-mudi dimabuk cinta. Bersama di mana pun berada. Tak lama berselang, sang dara jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia. Meninggalkan sang bujang seorang diri. Ia bersedih meratapi nasibnya ditinggal sang kekasih.
Di atas pusara sang kekasih, ditanaminya sebatang pohon. Lama-kelamaan, pohon itu tumbuh besar dan menghasilkan kayu. Dibentuknya kayu itu seperti tubuh, gambaran pujaan hatinya yang telah tiada. Kayu itu dipeluk dan dibelainya tiap hari. Membayangkan bahwa kekasihnyalah yang ia peluk.
Bagian kepala, leher, pinggul, hingga betis dibelai-belai nya sembari mengiba menyanyikan lagu sedih. Merasa tak cukup, ia ingin kayu itu bersuara. Lalu direntangkannya tali dari kepala hingga ke bagian yang berbentuk pinggul. Dengan cara memetik tali-tali itu, timbullah bunyi yang dapat mengiringi lagu-lagu sedih nyanyiannya.
“Begitulah cerita orang kampung sini mengenai asal muasal gambus. Benar tidaknya pun saya tak tahu,†jelas Tengku Indra. Ia Pegawai Dinas Pariwisata Kabupaten Siak, sekaligus pegiat musik gambus Kabupaten Siak.
Ada versi lain menyangkut asal muasal alat musik tradisional ini. Mulanya, gambus masuk ke Indonesia bersamaan dengan meluasnya ajaran Islam. Di Kabupaten Siak, ada yang dinamakan Gambus Selodang. Bentuknya mirip dengan alat musik Al-‘Ud atau ‘Ud, sebagai hasil interaksi budaya dengan Timur Tengah. Irama musiknya pun bernapaskan Islam. Dipadukan dengan syair berbahasa Melayu, Arab, dan India.
Gambus merupakan alat musik berdawai tujuh—dibunyikan dengan cara dipetik atau dipeteng (dalam istilah Melayu Siak). Ukurannya lebih kecil jika dibandingkan dengan gambus ‘Ud.
Beberapa motif khas menghiasi bagian kepalanya. Motif naga melambangkan kejayaan sekaligus simbol mahkota Kerajaan Siak Sri Indrapura. Lalu Burung Serindit mengandung cerita bahwa dahulunya burung ini banyak di Siak.
Ia dinamai Gambus Selodang karena bentuk punggungnya yang menyerupai selodang atau seludang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, seludang berarti pembungkus mayang kelapa atau pinang.
Bahan baku utama untuk membuat Gambus Selodang adalah kayu cempedak atau nangka. Kayu ini dipilih sebab mudah dicari dan mampu menghasilkan bunyi yang elok saat dimainkan.
“Kalau dulu, orang menggunakan batang kayu leban. Tapi sekarang payah dicari,†ungkap Tengku Indra.
Kayu nangka dibelah dua dengan panjang sekitar 110 cm. Bagian kepala dan lengannya masing-masing membutuhkan kayu sepanjang 30 cm. Bagian perutnya 40 cm dan 10 cm bagian ekor.
Selanjutnya pola gambus mulai dirancang. Usai merancang pola, tujuh telinga gambus dilubangi sesuai dengan jumlah senar. Bagian perut dibentuk hingga bagian dinding tersisa 1 cm. Lalu bagian perut ditutup dengan kulit kambing.
Cat pernis kayu dapat mendukung warna Gambus Selodang yang lebih alami. Butuh sekitar enam jam hingga catnya kering. Barulah dilakukan pemasangan senar pada telinga gambus. Proses terakhir adalah menyetem atau melaraskan musiknya. Kebutuhan nada tergantung pada pembuat, tidak ada pakem tertentu.
Sama seperti alat musik petik lainnya, Gambus Selodang dapat dimainkan dengan posisi berdiri, duduk bersila, maupun duduk di kursi. Tangan kanan memetik senar, sedangkan yang kiri menekan nada pada leher gambus. Selain memetik gambus, pemain juga dapat bernyanyi. Beberapa penabuh gendang kecil atau marwas juga dapat mengiringi.
Saat ini, musik gambus dapat ditemui dalam upacara pernikahan, khitanan, malam berinai, serta berbagai upacara adat Melayu lain.
“Awalnya musik gambus ini kita jumpai di istana sebagai pengiring tari zapin,†lanjut Tengku Indra.
Tak hanya eksis di daerah asalnya, keberadaan musik gambus semakin meluas di kalangan masyarakat Riau. Mulai dari yang muda hingga tua, telah menekuni musik satu ini.
“Dulu, anak muda malu belajar musik gambus. Sekarang, siswa Sekolah Dasar sudah banyak yang belajar main gambus,†ujar Monda Gianes—Staf Dinas Kebudayaan Provinsi Riau Bidang Pelestarian Adat dan Nilai Budaya.
Warisan Budaya Tak Benda
Gambus Selodang Siak telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda. Warisan budaya tak benda atau intangible cultural heritage bersifat tak dapat dipegang. Diwariskan dari generasi ke generasi serta terus-menerus diciptakan kembali oleh masyarakat. Paling tidak, warisan budaya tak benda telah ada di masyarakat selama 50 tahun.
Berbeda dengan warisan budaya benda yang dapat dilihat dari bentuk fisiknya, warisan jenis ini dilihat dari nilai-nilai yang dikandungnya. Warisan budaya tak benda dikelompokkan atas tradisi lisan dan ekspresi, seni pertunjukan, adat istiadat masyarakat, ritual, dan perayaan-perayaan. Juga pengetahuan, kebiasaan perilaku mengenai alam semesta, serta keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional. Termasuklah Gambus Selodang di dalamnya.
Pemberian status ini diberikan atas rekomendasi Tim Ahli Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Prosesnya melibatkan berbagai pihak, di antaranya pemerintah pusat, pemerintah daerah, Balai Pelestarian Nilai Budaya, komunitas terkait serta masyarakat.
Sebuah warisan budaya layak diresmikan sebagai warisan budaya tak benda apabila memenuhi beberapa syarat. Telah menjadi identitas budaya masyarakat tertentu, meningkatkan kesadaran jati diri, sudah ada turun-temurun, berdampak pada aspek kehidupan, terancam punah dan mendesak untuk dilestarikan.
Pemberian status juga dilakukan jka ada kajian ilmiah terkait warisan budaya tersebut dan harus ada maestro yang dapat mengajarkannya. Lebih diutamakan lagi untuk warisan budaya di wilayah perbatasan negara.
“Kalau Gambus Selodang, maestronya ada di Sungai Apit, Siak. Beliau namanya Tengku Firdaus,†tutur Tengku Indra.
Mulanya, Riau mengusulkan 32 warisan budaya tak benda ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah melewati berbagai proses, tersisa 10 warisan yang berhasil dicatat.
Di antaranya Gambus Selodang dari Siak, Tari Inai Pinggan Dua Belas dari Rokan Hilir, Togak Tonggol dari Pelalawan, Tari Zapin Pecah Dua Belas dari Pelalawan, Tari Poang dari Siak. Lalu Gawai Gedang Talang Mamak dari Indragiri Hulu, Syair Ibarat Khabar Kiamat dari Indragiri Hilir, Upah-upah dari Rokan Hulu, Nolam dari Kampar, dan Ma’awuo Danau Bokuok dari Kampar.
“Perjalanannya cukup panjang [WBTB]. Sejak tahun lalu [2019], kami sudah mulai mengumpulkan syarat-syaratnya,†kenang Monda.
Setelah dicatatkan sebagai warisan budaya tak benda, pemerintah lebih gencar dalam upaya perlindungan, pemanfaatan dan pengembangannya. Sebab warisan budaya harus berfungsi dan menjadi asupan nilai di masyarakat.
Menurut Monda, Pemerintah Provinsi Riau, terutama Kabupaten Siak harus bisa melakukan usaha pengembangan.
“Jika ada event, helat, dan peristiwa kebudayaan, jangan lupakan warisan-warisan budaya ini. Jika pemerintah tidak mengusahakan pengembangannya, maka status warisan budaya tak benda sewaktu-waktu dapat dicabut,†lanjutnya.
Kini, Pemerintah Daerah Siak sedang giat mengembangkan sektor budaya. Tujuannya mengenalkan budaya Melayu melalui berbagai perlombaan, sekaligus sebagai upaya pelestarian. Salah satunya melalui Festival Siak Bermadah.
“Yang paling penting, budaya kita terhindar dari klaim-klaim negara lain. Target dari pemerintah daerah adalah warisan budaya tak benda yang telah tercatat itu dapat bertahan, bahkan berkembang,†harap Monda.#