Matahari menyengat di atas Pulau Samosir saat kaki melangkah memasuki gerbang Huta Siallagan. Tembok batu setinggi dua meter menjulang di hadapan, menyimpan kisah kelam peradaban Batak kuno.
“Dulu, tembok ini ditanami pohon bambu di atasnya agar orang tidak sembarangan masuk ke kampung,” jelas Markito Simatupang pemandu wisata setempat.
Hanya ada satu pintu masuk dan satu pintu keluar, dengan penjaga di setiap pintu pada zaman dahulu. Sistem keamanan yang menunjukkan betapa pentingnya perlindungan bagi masyarakat Batak kuno.Di balik tembok batu yang kokoh, berdiri rumah-rumah adat Batak dengan atap melengkung menyerupai perahu terbalik.
“Rumah bolon ini memiliki tiga tingkat. Tingkat paling bawah, kolong, dulu adalah tempat untuk ternak mereka. Tingkat tengah untuk tempat tinggal, dan bagian atas untuk menyimpan hasil panen,” terang Markito.
Dalam sistem kepemimpinan Batak, peran anak laki-laki sangat penting. “Di Raja orang Batak tidak ada pemilihannya. Mereka otomatis turun-temurun kepada anak lelaki,” jelas Markito.
Tanpa anak laki-laki, kekuasaan seorang raja hanya bertahan seumur hidupnya sebelum beralih ke adiknya. Di tengah kompleks, Markito menunjukkan sebuah ‘paralan’ kalender Batak kuno.
“Orang Batak sudah punya kalender dengan 12 bulan. Dalam kalender Batak, satu bulannya mereka hanya punya 30 hari,” jelasnya.
Tak jauh dari situ, terdapat Pustaka Lalak, sebuah primbon Batak dari kulit kayu. “Aslinya panjangnya kurang lebih ada satu meter lebih dan lebarnya ada 30 cm. Di dalamnya, seorang datu atau dukun telah menulis hari-hari baik untuk pesta, bercocok tanam, dan mendirikan rumah.”
Salah satu artefak paling menarik adalah Tunggal Panaluan, tongkat mistis dengan tujuh kepala manusia, yang menyimpan kisah tragis tentang sepasang anak kembar yang tidak mengenali satu sama lain dan jatuh cinta. Di dekatnya, sebuah batu datar menjadi saksi bisu ritual eksekusi yang mencekam.
Para terpidana terutama pembunuh, mata-mata, dan pengkhianat kampung menjalani ritual mengerikan sebelum eksekusi. “Posisinya tangan diikat di belakang dan mata ditutup dengan kain ulos,” jelas Markito.
“Sebelum eksekusi, mereka harus makan seperti binatang menggunakan mulut tanpa bantuan tangan,” tambahnya.
Badannya terbelah lalu diambil hatinya. Dipotong kecil-kecil lalu dicampur dengan darah, dikasih asam. Lalu diserahkan kepada raja. Raja kemudian akan memanggil para prajuritnya untuk memakan potongan daging tersebut, dengan keyakinan bahwa ini akan meningkatkan kewaspadaan mereka.
“Jadi bukan maksudnya orang Batak makan orang. Siapa yang masuk kemari dia tangkap, dia bunuh, dia makan. Bukan begitu,” tegas Markito. “Mereka punya alasannya. Sebelum eksekusi, terpidana sudah dibicarakan bahwa mereka sudah disamakan seperti binatang.”
Praktik ini berakhir setelah masuknya agama. Berawal dengan Parmalim, agama kepercayaan lokal Batak dan kemudian Kristen yang dibawa oleh misionaris Nommensen pada tahun 1861. “Setelah masuknya Nommensen, barulah mereka beralih ke agama Kristen. Lalu terbentuklah gereja orang Batak namanya HKBP (Huta Kristen Batak Protestan),” jelas Markito.
Kini, Samosir telah berubah menjadi daerah yang toleran terhadap perbedaan agama. “Saya jamin orang Batak di setiap marga pasti ada yang beda agama,” kata Markito.
Kata Markitor orang Batak berprinsip ‘di situ tanah dipijak, di situlah langit dijunjung’. Perubahan juga terlihat dalam tradisi pemakaman. Sekarang, setiap marga memiliki kuburan batu dengan sistem yang unik tiga pintu di depan dan tiga di belakang.
“Setelah 10 tahun, semua keluarga berkumpul untuk mengambil tulang belulang yang meninggal,” jelas Markito. Tulang tersebut dimasukan ke kotak kecil. Lalu ditutup dan dinaikan ke tingkat tengah.
Ritual ini disebut Mangongkal Holi, adalah pesta besar yang bisa berlangsung hingga empat hari. “Kalau ngambil tulang belulang itu nggak boleh main-main. Pesta besar, mereka panggil semua keluarganya,” tambahnya.
Siang semakin terik saat kunjungan berakhir. Meninggalkan Huta Siallagan, pengunjung membawa pulang kisah-kisah kelam namun berharga tentang evolusi budaya Batak dari masa kanibalisme, ritual hingga era toleransi modern. Dengan latar pemandangan Danau Toba riak airnya berkilau di bawah terik matahari, saksi bisu perjalanan panjang peradaban Batak.
Penulis: Danil Zalma Hendra Putra
Editor: Najha Nabilla