DENGAN menempuh perjalanan selama dua setengah jam, Sabtu (6/5) BM pun beranjak meniggalkan Pekanbaru menuju Desa Kuntu, Lipat Kain, Kampar Kiri. Di desa itulah terdapat makam seorang penyebar agama Islam di Kuntu dan Kampar Kiri, Syekh Burhanudin. Suasana alam pedesaan begitu sejuk. Angin berhembus sepoi-sepoi diiringi kicauan burung dan pepohonan yang rindang menyambut kedatangan BM kala itu.

Malam harinya BM mendatangi rumah Drs.Azwir, Kepala Desa Kuntu yang menjabat tahun 1989-1997. Di rumahnya yang sederhana itu ia menjelaskan sejarah makam Syekh Burhanudin. “Tinjau dari nama Syekh Burhanudin berarti orang yang menyebarkan agama islam,” Azwir mengawali pembicaraan. “Sedangkan nama asli dari Syekh Burhanudin ini adalah H. Jalalullah,” jelas Azwir lebih lanjut.

Jika ditelusuri sejarahnya, sebelum kedatangan Syekh Burhanudin ke desa Kuntu. Waktu itu pada tahun 500 SM di Kuntu telah berkembang agama Hindu dan pada waktu itu pula Kuntu menjadi daerah penghasil lada. Dalam perkembangannya pada abad ke 9 di Kuntu berdiri Kesultanan Kampar. Setelah Burhanudin datang barulah satu persatu warga Kuntu beralih memeluk ajaran Islam.

Setelah meninggal. Burhanudin dimakamkan di Kuntu pada sebidang tanah berukuran panjang 270 cm dan lebar 140 cm. Makam ini sebelumnya hanya dipagar denga rantai besar. Saat ini makam telah dipugar dengan sentuhan Melayu yang terlihat dari bangunan atap yang dihiasi dengan ukiran melayu. Kini, disekitar makam telah diberi keramik lalu dipasang kelambu.

Ketika memasuki areal pemakaman kita akan memasuki tiga pintu. Dalam pintu pertama ada beberapa makam masyarakat setempat. Memasuki pintu kedua lebih tinggi dari yang pertama terdapat makam istri Syekh Burhanudin. Disekitar makam banyak pohon-pohon yang sangat rindang sehingga panaspun tidak begitu terasa di sekitar makam. Menjelang masuk pintu makam ke dua menuju makam Syekh Burhanudin terdapat makam istrinya.

Menurut cerita masyarakat setempat, masyarakat datang kemakam untuk bernazar atau membayar nazar. Pembayaran dilakukan dengan membacakan surat yasin dan ada juga yang membawa anak yatim yang ada di Kuntu. Biasanya dilanjutkan dengan makan bersama-sama. Ada juga tamu-tamu yang datang dari luar daerah untuk melakukan ziarah seperti dari Sumatera Utara, Sumatera Barat khusus pada hari besar islam

Konon, Syekh B u r h a n u d i n m e n y e b a r k a n agama islam dengan main Bengkek (sejenis p e r m a i n a n kelereng). Setiap kali memulai menjentik ia membaca Bismillah dan sampai kepada seni lagu-lagu seperti lagu menidurkan anak.

Heek ia, lailahailallah tiduo la-anak, tiduo la sayang jan buek laku buwouk, kalau buek laku buwouk uoang bongi ka awak. (he lailahailallah, tidurlah nak, tidurlah sayang. Jangan buat perilaku buruk. Kalau berperilaku buruk orang marah sama kita), begitu bunyi lirik lagu yang dibuat Syekh Burhanudin. “Namun nyanyian untuk menidurkan anak tersebut telah mulai hilang sekarang,” papar Azwir.

Peninggan dari Syekh Burhanudin yang masih ada berupa stempel dengan tulisan AL-Wasid Haji Jalalullah Qodi Makah Mukaromah. Selain itu juga ada tongkat yang biasa dipakai pada khutbah Jumat dan pada khutbah hari-hari besar seperti hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri. Sayangnya keberadaan benda itu tak diketahui lagi.

Ada kabar lain yang sering terdengar di Kuntu. Menurut kabar Mutawtir, salah seorang penduduk, pada malam 27 Ramadhan ada cahaya terang dari makam Syekh Burhanudin yang tembus kelangit. Keanehan lain yang pernah dijumpai penduduk pada sore kamis sering terdengar suara orang berzikir di sekitar makam. Memang sampai saat ini tidak ada yang bisa membuktikan secara nyata tetapi kepercayaan akan hal itu masih tetap tumbuh dan melekat di hati warga Kuntu dan sekitarnya.

 

Kennepri

Edisi Mei 2006