Adopsi Ritual Pengobatan Spritual Rentak Bulian Jadi Tarian

Tari ini adalah kreasi hasil adaptasi dari ritual upacara pengobatan bulian. Melibatkan roh dan alam gaib.

Oleh Ellya Syafriani dan Rio Eza Hananda

Hentakan kaki kanan dan kiri melangkah bergantian. Bunyi musik seruling dan gendang ketobung mengikuti rentak kaki. Musik tradisional Masyarakat Adat Talang Mamak dan Melayu itu berpadu mengiringi gerak para penari.

Seorang pawang yang disebut kumantan memandu dengan selendang putih berbentuk jubah. Kepalanya diikat dengan kain merah dan bercelana hitam. Di belakangnya diikuti penari wanita yang berjumlah ganjil.

Para penari menjatuhkan lutut ke lantai dengan perlahan. Kumantan pasang posisi bersedekap, menumpangkan kedua tangan di atas perut. Sementara itu, dua perempuan di sebelah kanan dan kiri memegang piring berisi sajenan. Mereka adalah bajang bayu dan kebayu. Pembantu atau asisten kumantan dengan busana merah berpadu kuning.

Tarian ini dikenal dengan Tari Rentak Bulian. Adalah kreasi hasil adaptasi dari ritual upacara pengobatan bulian. Dengan niat melestarikan ritual tersebut, pegiat seni abadikan gerakan-gerakannya menjadi bentuk tarian. Tarian asal Indragiri Hulu atau Inhu ini umumnya ditampilkan dalam acara hiburan atau sambutan tamu besar.

Rentak artinya melangkah atau gerakan kaki yang meloncat. Sedangkan bulian diambil dari nama kayu. Kayu bulian merupakan bahan pembuat ketobung. Alat musik berupa gendang panjang yang digunakan sebagai pengiring tarian ini.

Ada pula yang mengatakan bahwa kata bulian dalam bahasa Indragiri Hulu berarti tempat singgah makhluk huni atau makhluk halus.

Tari ini termasuk kategori tari primitive, melibatkan roh dan alam gaib. Menurut Saharan selaku Budayawan setempat, rentak berlangsung selama bulian dan gelang-gelang kaki yang dikenakan penari mengeluarkan bunyi. Hal ini menjadi inspirasi Almarhum Was Nurmirza menggeser fungsi tari dari upacara sakral ke kesenian. Sementara gerakan tarian dibentuk oleh M. Simanjuntak. Kemudian artistik, musik, dan resimen oleh Salimi Yusuf.

Penelitian Irni Oktavia bertajuk Transformasi Upacara Bulean Suku Talang Mamak menjadi Tari Rentak Bulean pada Masyarakat Indragiri Hulu Provinsi Riau menyatakan, tarian ini ditransformasi oleh orang luar suku Talang Mamak pada tahun 1978.

Sedangkan bila merujuk pada penelitian Annisa Satriati, dalam judul Kajian Sosiologi Tari Rentak Bulian di Kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau, tarian ini ada sejak tahun 1982.

Awalnya para penari memberi sembah. Gerakannya monoton, mengikuti ketukan suara gendang yang berbunyi. Saat melakukan sembah, kumantan berada di tengah-tengah bajang bayu. Mereka membawa dupa atau bara dan mayang pinang.

Begitu musik berganti, terdengar seperti sorakan-sorakan kecil. Para penari di belakang kumantan dan bajang bayu berlari ke belakang. Mereka menghentakkan kakinya.

Sementara itu, kumantan masih duduk dengan tangan terlipat dan disilangkan ke masing-masing bahu. Ketika seruling dibunyikan, tangannya direntangkan oleh bajang bayu. Bajang bayu mengoleskan arang dan kapur sirih di bagian lengan kanan kiri kumantan. Sedangkan para penari atau dayang tadi masih menghentakkan kaki mereka di belakang. Gerakan ini diberi nama merentak.

Sembari merentakkan kaki, para penari mengangkat tangan mereka ke atas sambil digerakkan. Maksudnya adalah penari tengah mengambil pinang untuk siapkan acara bulian. Pada gerakan ini, dinamakan goyang pucuk.

Kemudian, kumantan mengangkat tangannya yang disilangkan sambil digerakkan dan berdiri. Para bajang bayu bergeser sedikit dari kumantan. Mereka terus merentakkan kaki sambil ayunkan tangan ke depan dan belakang. Berbeda arah. Pada gerak menyembah ini, para tokoh tari beri persembahan pada makhluk halus yang akan membantu jalannya prosesi bulian.

Para penari mengubah posisi badan menjadi duduk. Semacam mengayunkan tangan, inilah gerakan meracik limau. Gerakannya ke depan dan ke samping. Saat penari tengah meracik, kumantan berdiri dan berkeliling. Ia memastikan bahwa kondisi penari baik-baik saja.

Usai berkeliling, kumantan kembali ke tempat semula. Ia angkat mayang pinang dan menghancurkan dengan giginya. Gunanya mengusir roh pengganggu yang jahat. Kumantan berkeliling diikuti bajang bayu. Dengan mayang pinang, ia percikkan ke para penari. Gerakan ini disebut merenjis limau.

Para penari kemudian membentuk tangannya ke samping, bawah, dan atas. Kumantan dan bajang bayu angkat mayang pinang di depan para penari. Kaki yang terentak dipadukan dengan ayunan sebelah tangan ke atas dan samping bawah.  Gerakan ini bernama 4 penjuru. Gerakan ini sebagai penutup tarian rentak bulian. Para penari ikuti kumantan di belakangnya, membentuk satu barisan ke belakang.

Ada gong, seruling, ketok-ketok. Ada pula tambur, kerincing di kaki penari, dan gendang ketobang. Alat-alat musik tersebut mengiringi tarian.

Salah satu penari Rentak Bulian, Desra Endico Chesia katakan, musik tarian ini terdengar berbeda dari yang lainnya. Menurutnya, ada ciri khas tersendiri. Bunyi yang dikeluarkan juga tak hanya dari alat musik, namun juga ada dari suara mulut.

“Haah, misalnya gitu,” tambah Desra menirukan.

Dari Ritual Pengobatan Jadi Tari Kreasi

Tarian yang diambil dari ritual pengobatan ini berasal dari komunitas Talang Mamak.  Makna orang sakit  bagi mereka adalah orang yang telah menyimpang dari kehidupan normalnya. Ada juga yang katakan, jiwa yang kosong sesaat menjadi sebab datangnya penyakit. Maka, perlu adanya pemanggilan jiwa tersebut supaya kembali.

Mereka juga beranggapan bahwa kehidupan manusia selalu terancam. Baik gertakan yang tampak maupun yang tidak. Baik mengancam jasmani ataupun rohani, sehingga mengganggu penyakit tubuh secara fisik dan mental. Baik yang bersumber dari manusia, alam, binatang, ataupun roh halus.

Tak hanya penyakit manusia, bulian juga diadakan untuk beberapa macam musibah. Antara lain mengobati penyakit menular yang melanda desa, memberi makan binatang buas yang mengamuk, dan bila ada pelanggaran adat. Selain itu, buang sial dari desa juga diperlukan bulian. Hingga, upacara pengangkatan kumantan baru dan membuang pantang.

Menjadi pemimpin atau kumantan dalam pengobatan tak bisa sembarangan. Ada syarat tertentu, terutama dilihat dari gen atau keturunan. “Haruslah orang pilihan, teruji, miliki kemampuan kebatinan. Mereka miliki kemampuan supranatural, dan indera keenam yang luar biasa,” jelas Saharan.

Pengobatan bulian diawali dengan musyawarah dan kesepakatan antara tuha-tuha adat dan kumantan. Selama pengobatan berlangsung, kumantan dibantu oleh bintara laki-laki dan perempuan. Biaya pengobatan dikumpulkan dari masyarakat desa. Jika mufakat telah bulat, pengobatan diserahkan pada kumantan yang dibantu para pembantunya.

Bulian berlangsung pada malam hari di rumah batin. Pengobatan dimulai jam 8 hingga 4 subuh. Gilung—pengurus organisasi masyarakat adat Alinasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) INHU—utarakan alasan pemilihan waktunya. Sebab, roh bekerja pada malam hari.

“Kalau siang kumantannya gak sanggup, panas,” terangnya melalui panggilan telepon.

Ketika subuh datang, jumlah hyang atau ruh mencapai 33. Masuk di dalamnya leluhur, datuk-datuk, harimau-harimau, monyet, dan macam-macam ruh lain. Sebelum memimpin bulian, kumantan minta petunjuk dahulu pada makam kumantan tua. Permohonan petunjuk ini dinamakan dengan meditasi.

Selama bulian berlangsung, kumantan dan bajang bayu tidak diperbolehkan untuk makan, minum, dan buang air kecil. Mengutip penelitian Annisa Satriati, waktu istirahatnya tergantung permintaan dari roh yang datang. Roh yang datang akan beristirahat di pucuk, di ancak, dan di gulang-gulang. Pada momen inilah, kumantan dan perangkatnya punya kesempatan untuk istirahat.

Selama proses pengobatan, bintara laki-laki dan perempuan ikut membantu. Musik juga dibunyikan semalaman oleh para penabuh atau biduan. Ketabung menjadi alat musik paling dominan.

Ketika itu pula, kumantan dirasuki oleh roh. Ia mulai berbicara dengan makhluk gaib, roh-roh, jin, dan malaikat. Ia minta obat untuk pasiennya. Kumantan membuang bala, buat palis tawar, membuat jimat, dan membuang sumbang.

Saat kerasukan, bintara tanyakan beberapa pertanyaan. Kata Saharan, tak ada yang paham bahasa kumantan saat kerasukan. Bintara laki-laki dan perempuan berperan penting untuk menerjemahkannya. Seperti siapa yang merasuki kumantan dan apa sebab serta obatnya. Dari komunikasi itu, bintara meneruskannya ke pemohon.

Lalu, mereka sampaikan obat atau ramuan pada keluarga pasien. Jika obat sulit ditemukan, maka para bintara bertanggung jawab ikut membantu.

Saat proses bulian, ketabung, gong, dan gendang terus dibunyikan. Para dayang terus merentakkan kakinya. Inilah yang dinamakan dengan Rentak Bulian. Mereka berkeliling sebanyak tujuh keliling. Dayang-dayang itu merupakan para emak-emak yang jumlahnya ganjil.

Setiap hal mesti dipersiapkan. Begitu pula dengan rentak bulian yang harus matang. Apabila ada kesalahan, dapat timbulkan kebinasaan. Menurut keyakinan mereka, perbuatan mereka ialah amal kebaikan. Saharan ungkapkan kalimat ini dalam penggalan kalimat barang siapa yang tak buat kebaikan, menurut mereka berdosa, barang siapa yang berdosa, menurut mereka celaka. Barang siapa yang celaka, menurut mereka binasa.

“Makanya kata mereka, lebih baik mati anak daripada mati adat,” ungkap budayawan ini.

Waktu penyembuhan pasca upacara umumnya berkisar 3 hari. Dalam kurun waktu tersebut, pasien dapat berkunjung kembali apabila belum ada perubahan.

Usai laksanakan bulian, kumantan melakukan pemulihan. Waktunya bisa sebulan. Pun untuk waktu pelaksanaan, kumantan melihat cuaca terlebih dulu. “Kumantan lebih tahu, ini bisa berbulian atau tidak,” lanjut Saharan.

Masyarakat Talang Mamak takut jika menyalahkan adat, bulian dapat menimbulkan penyakit. Penyakit tersebut dapat menularkan satu kampung, hingga haruslah dilakukan upacara bulian pembersihan kampung.

Masyarakat Talang Mamak mengenal adanya istilah batin di dalam dan batin di luar. Makna batin di dalam adalah orang yang betul-betul melakukan upacara ritual itu tak boleh salah. Kalau salah, akan dihukum. Sedangkan batin di luar, diperkenankan ikut. Pun apabila lakukan kesalahan, tak akan diberi sanksi.

Masyarakat Talang Mamak katakan, penyebutan tari tradisional Talang Mamak Rentak Bulian adalah kekeliruan. Pengucapan yang benar ialah tari nilai tradisional Rentak Bulian Talang Mamak.

“Yang tradisi pengobatannya, yang di talang mamak. Itu pun enggak bisa ditampilkan setiap saat. Kalau tariannya, kan, boleh,” kata Saharan.

Perbedaan keduanya terletak pada nilai. Apabila rentak bulian identik dengan nilai sakral, maka tari rentak bulian khas dengan nilai estetika. Pun waktu pagelaran juga berbeda.

Gilung, sebagai bagian dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Inhu, pernah menyaksikan ritual bulian. Salah satu keponakannya sakit dan diantarkan bulian. Butuh waktu 3 hari untuk menemui kumantan. Sebelumnya, keluarga, ahli waris, pemangku adat berkumpul guna musyawarah kesepakatan bulian.

Usai musyawarah, pemohon pergi ke rumah bintara untuk kepengurusan kumantan. Pengobatannya berlangsung di rumah sendiri. Sebab, penyakit yang diderita cukup parah hinga tak memungkinkan untuk membawa pasien.

Hingga 5 hari, mereka berkumpul di tempat yang telah ditentukan. Lengkap dengan kebutuhan-kebutuhan bulian. Ada pelepah salak, pucuk aren, kemenyan, lilin, pulut ketan hitam, beras kuning, hingga ayam.

“Ayam kalau enggak salah ada empat. Ayam yang kecil baru menetas itu satu ekor. Ayamnya pun ayam kampung,” cerita Gilung. Tambahnya, seluruh komunikasi disampaikan pada bintara, nantinya ia akan teruskan pada kumantan.

Waktu 15 hari habis untuk masa pengobatan keponakan Gilung. Penyakitnya tergolong parah, ia tak bisa bicara. “Langsung lah kita kumpul, dan ke rumah bintara minta pedoman. Apa penyakitnya dan obatnya apa. Kata bintara, ini harus bulian.”

Pasien diberi obat-obatan berupa kemenyan, air putih, dan air sirih. Perlahan ada perubahan. Selang tiga hari setelah bulian, mereka datang lagi ke kumantan untuk bertanya tahap selanjutnya.

Gilung melihat bahwa kumantan hanya kenakan selendang saat prosesi pengobatan. Tidak pakai baju. Menurut Saharan, pakaian sakral kumantan merupakan kain putih dan hitam, yang berganti tiap pengobatan.

Selain pengobatan itu, Gilung juga pernah saksikan bulian untuk salah satu saudaranya yang hilang. Dua hari dua malam tak kunjung pulang dan akhirnya dilakukan upacara bulian. Dua hari setelahnya, dia pulang sendiri. Pengobatan semacam ini hingga kini masih banyak di Indragiri. “Kalau di Talang Mamak hampir rata-rata.”

Namun, bulian yang dikreasikan jadi tari menimbulkan perdebatan. Gilung sendiri tidak menerimanya. Katanya, jika ingin dilestarikan, ada mandat ke orang Talang Mamak. Baik pada kumantan maupun lainnya. Sebab, tak sembarang bisa menampilkannya.

Hal serupa juga dikatakan oleh Saharan. Sudut pandangnya, bulian merupakan pengobatan, bukanlah tarian.

“Saya budayawan tulen, mengatakan tidak,” katanya.

Hingga saat ini, upacara bulian asli belum pernah di bawa ke luar daerah. Yoserizal Zen Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau pernah coba daftarkan tari ini sebagai warisan budaya Riau. Namun, ditolak karena usia tari belum sesuai persyaratan.

Mengacu pada Undang-undang Pemajuan Kebudayaan, kata Yoserizal, ada 10 objek kebudayaan. Lingkup ekosistemnya adalah pembinaan, memberikan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan.

“Harus kita lakukan supaya tidak punah. Kalau budaya itu punah, nanti ada lagi namanya musibah kebudayaan. Kalau tidak memberikan pembinaan, Provinsi Riau alami musibah. Selain dari musibah banjir dan asap, ada namanya musibah kebudayaan,” tutup Yoserizal.