SIANG itu Jeffri- Kru Bahana mengunjungi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Riau. Hendak berdiskusi dengan staff dinas yang berkecimpung mengurusi aset budaya di Riau. Sembilan orang sedang bekerja dalam ruangan dinas tersebut. Ketika saya jelaskan niatan berdiskusi soal makanan khas melayu bernama Asidah, setiap orang sibuk menanggapi.

“Hei, kue Asidah dari Rengat tu,” ujar seorang Ibu menimpali ketika baru masuk ruangan. Teman sebelahnyapun menimpali bahwa itu kue khas melayu, tak hanya dari Rengat.

“Tapi asal awalnyanya dari Rengat tu,” ujar Ibu tersebut tetap bersikeras. Sayangnya, dari sini tak banyak informasi yang bisa didapatkan.

“Pasalnya belum ada orang dinas yang mengurusi masalah kuliner,” ujar Tabrani, staff dinas tersebut.

Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau ditulis Tim Pusat Penelitian Kebudayaan danKemasyarakatan (P2KK) Universitas Riau, menjelaskan banyak penyebutan untuk panganan khas melayu ini. Salah satunya Ghasidah, panganan khas Baturijal terbuat dari tepung gandum dan memiliki rasa manis.

Makanan ini dibentuk khas mengerucut dan digunting menyerupai kulit nenas. Ada juga yang menyebut bahwa panganan ini adalah kue raja yang disajikan pada acara tertentu. Biasanya digunakan dalam kegiatan antarkue, prosesi adat istiadat perkawinan Baturijal. Bisa juga saat acara kenduri, syukuran, tunangan dan hari raya besar. Aturan menyantapnya dimulai dari bagian bawah, karena jika diambil langsung bagian atas dianggap tidak sopan.

Kue basah ini selain disebut Ghasidah, ada juga yang menyebutnya Asidah atau Khasidah. Kue khas daerah pesisir ini dibawa para Sultan melalui jalur air dan disebarkan didaratan.

Jeffri bertemu dengan Hj Kartini, yang masih mempertahankan khasanah melayu dan sering membuat panganan ini bersama anaknya. Ia bersedia mempraktekkan proses pembuatan panganan yang bahannya mudah didapatkan ini.

“Anak-anak sekarang taunya cake. Mana tau sama makanan seperti ini,” ujar Kartini disela kerjanya membuat Asidah. Ia berpendapat tak banyak orang tua yang mau mewariskan makanan khas melayu kepada anaknya. “Makanan seperti ini dianggap kuno,” tambahnya.

Pembuatan panganan ini termasuk mudah. Dengan bahan sederhana seperti tepung terigu, tepung kanji, gula pasir, mentega, minyak goreng, bawang merah, garam, telur, bubuk kayu manis dan cengkeh serta air matang secukupnya. “Membuatnya mirip seperti dodol, mudah dan murah,” ujar Kartini.

Proses awal, dua mangkok tepung terigu yang sudah diayak dicampur dengan gula pasir dan garam secukupnya, ditambah sebutir telur. Ditambah empat mangkuk air matang, bahan diaduk sekitar 10 menit hingga merata. Lalu taburkan serbuk cengkeh dan kayu manis. Kembali diaduk.

Setelah mengaduk adonan, selanjutnya mempersiapkan taburan untuk kue basah ini. Bawang merah yang telah diiris ditaburi sedikit tepung kanji lalu di goreng hingga kuning keemasan. “Ini supaya bawangnya tidak lengket saat digoreng,” jelas Kartini.

Minyak bekas menngoreng bawang tadi dicampur dengan mentega secukupnya. Bagi dua minyak campuan mentega. Minyak dikuali digunakan untuk menggoreng adonan yang telah dibuat. Adonan harus terus diaduk supaya tak lengket. “Kalau bisa kualinya dari tembaga biar tak lengket,” tambah Kartini ditengah mengaduk adonan. Sesekali saat minyak dikuali mulai mengering, tambahkan campuran minyak – mentega yang telah disisihkan tadi. Mengaduk adonan dilakukan sekitar 20 menit.

“Tandanya Asidah sudah masak kalau ia tak lagi lengket di sendok yang digunakan untuk mengaduk. Usahakan sendoknya dari kayu supaya tak panas,” tutur wanita yang tinggal didaerah Rumbai ini.

Saat adonan telah matang, saatnya berkreatifitas. Pola Asidah biasanya berupa bunga, buah nenas atau ikan. “Terserah bentuknya, sesuai selera masing-masing. Tapi harus cepat. Sifatnya kue ini kalau panas masih lunak, tapi kalau sudah dingin keras,” jelas Kartini. Setelah membuat pola, Asidah diolesi minyak yang disihkan tadi agar mengkilap dan ditaburi bawang goreng sesuai selera.

“Susah mengajak anak muda mengenal budaya melayu, merekakan berpendapat itu tak penting,” ujar Kartini. Ia menambahkan perlu pendekatan baru untuk mengajarkan cara memasak dan menghilangkan rasa apatis tersebut. “Maunya orang dinas sering buat lomba masakan melayu,” usulnya.

Elmustian Rahman, peneliti kebudayaan melayu mengatakan Asidah masih ada dalam acara adat melayu. “Makin berupa makanan khas melayu yang ada, makin kayalah pengetahuan yang dimiliki masyarakat,” ujarnya.

Fakrunnas, mahasiswa Universitas Riau asal Rokan Hilir pun sejalan dengan pemikiran Elmustian. Didaerah asalnya makanan ini masih menjadi panganan khas setiap hari raya. “Terutama anak perempuan ataupun ibu-ibu membuat Asidah ini,” ujarnya. Tabrani, staff Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Riau bagian Pemasaran dan Promiosipun berharap instansi pemerintah dapat melestarikan khasanah melayu ini. #