Rumah Ibadah Muslim masa Kerajaan Kampar. Masih berdiri kokoh meski sebagian material bangunan diganti. Bentuknya juga sedikit berubah.

Oleh Agus Alfinanda

 

SEBUAH gapura setinggi lima meter berdiri di depan masjid, tepat di tepi jalan. Tiangnya ada delapan. Empat di sisi kiri dan empat di sisi kanan. Lebarnya sekira tiga meter. Tiang tersebut diberi cat biru. Bagian atas beratap seng. Sebelah kiri gapura tersedia tempat parkir kendaraan roda dua.

Jarak antara gapura dengan masjid sekitar dua puluh langkah kaki orang dewasa. Jarak ini dijadikan pekarangan masjid yang dilapisi paving block. Tak ada pohon atau tanaman hias apa pun dalam pekarangan. Tembok setinggi bahu orang dewasa mengelilingi pekarangan dan masjid. Rumput liar memenuhi tiap sudut pekarangan.

Jika berdiri di tengah pekarangan, terlihat atap masjid berbentuk limas berlapis tiga. Ujung atapnya runcing. Tiap sudut cucuran atap terdapat ukiran sayap layang-layang. Bagi masyarakat Melayu setempat, bentuk ini bermakna kebebasan yang tahu batas dan tahu diri.

Sebelah kiri pintu masuk jamaah wanita tersedia tempat wudhu berikut toilet. Tepat depan pintu yang sama berdiri satu menara. Tingginya melebihi bangunan masjid. Sebelum memiliki alat pengeras suara, azan dikumandangkan dari atas menara oleh muadzin.

“Terakhir orang azan di atas menara ini tahun 1965,” kenang Darun Nafis, Ghorim Masjid yang sudah berusia 65 tahun.

Untuk masuk ke dalam masjid melalui dua arah. Pintu masuk bagi jamaah laki-laki sebelah utara searah dengan gapura. Sedangkan untuk jamaah perempuan lewat pintu sebelah timur. Kata Darun Nafis, dulu, dekat pintu masuk jamaah perempuan terdapat tangga yang menghubungkan ke menara. “Dari sinilah muadzin naik,” ujarnya sambil menunjukkan bekas lokasi berdirinya tangga.

Sebelum masuk ke dalam masjid, terlebih dahulu meniti lima anak tangga. Tiba di dalam, pandangan akan tertuju ke seluruh isi masjid. Lebar masjid sembilan shaf. Empat shaf untuk laki-laki dan lima shaf untuk perempuan. Lantainya berlapis keramik berukuran 30 kali 30 centimeter yang ditutup oleh sajadah.

Terdapat enam belas tiang penyangga di dalamnya. Empat tiang di tengah tingginya mencapai tiga belas meter. Jarak antar tiang sekitar dua meter. Masing-masing tiang dipasang kipas angin. Tiang ini dari kayu dan sudah terlihat keropos. Sekilas tiang ini seperti baru karena dilapisi cat putih.

Dinding masjid terbuat dari material beton. Separuhnya dilapisi cat warna kuning separuhnya lagi dilapisi keramik. Tiap sisi dinding terdapat jendela. Jumlah keseluruhannya 27.

Dinding bagian depan dipenuhi ukiran kaligrafi yang dipahat langsung dari dinding. “Pemahatnya orang dari air tiris,” jelas Hasyim, Imam pertama Masjid sekaligus Ketua Pembangunan Masjid. Tinggi dinding masjid satu jengkal di atas kepala orang dewasa.

 

RUMAH ibadah bagi umat muslim ini diberi nama Masjid Kubro. Berdiri di Dusun Padang Merbau Barat, Desa Koto Perambahan, Kecamatan Kampar Timur. Sekitar 30 kilometer dari Kota Pekanbaru. Masyarakat setempat menyebut daerahnya Koto Pomban.

Sebelum diberi nama Masjid Kubro, pada awal berdirinya masjid, masyarakat setempat menyebutnya Masjid Raja Pekantua. Dinamakan demikian karena masjid tersebut dibangun oleh Raja dan disekitar masjid terdapat pasar yang dinamakan Pekantua— pekan nama lain dari pasar.

Sejak 1933 pasar tersebut dipindahkan ditepi jalan lintas Pekanbaru-Bangkinang. Orang mengenalnya pasar Kampar. Kini, bekas pasar di sekitar masjid sudah dipenuhi pemukiman warga.

Tak ada yang tahu pasti kapan berdirinya Masjid Kubro. Al Afendi yang kerap disapa Datuk Pondi menyebutkan, sekitar tahun 1805 atau 1815.

“Tapi, Masjid Kubro adalah rumah ibadah pertama di Kenegerian Kampar. Lebih tua dari Masjid Jami di Air Tiris yang dibangun pada 1901,” ujar pria yang bergelar Datuk Majo Besar.

Hasyim berkata lain, sepengetahuannya, Masjid Kubro dibangun pada 1897. Darun Nafis sendiri tidak mengetahui sama sekali. Peralihan nama Masjid Pekantua ke Masjid Kubro sendiri diakui sekitar tahun 1990-an. Nama Kubro dipakai karena Masjid tersebut satu-satunya yang ada pada waktu itu dan cukup besar. Kubro dalam bahasa arab artinya besar.

Kini di lokasi yang sama terdapat tiga masjid lagi dan lebih besar dari Masjid Kubro. Jarak antar masjid tidak begitu jauh.

Pertama didirikan, bangunan Masjid Kubro berupa rumah panggung. Dinding masjid condong ke luar. Materialnya didominasi oleh kayu hutan. Kata Datuk Pondi, atap masjid pun dari kayu. “Sekarang sudah diganti dengan seng,” ujar Hasyim. Jenis kayu yang digunakan waktu itu kayu angau.

“Jenis kayu itu tak ada lagi ditemukan,” kata Datuk Pondi.

Untuk berwudhu, disediakan air dalam kula—bak air yang tingginya kurang lebih satu meter— yang ditampung di bawah cucuran atap. Bila air habis, jamaah mengambil wudhu di sungai. Lima puluh meter dari masjid. Kini, tak ada lagi kula yang diceritakan oleh Datuk Pondi.

Renovasi yang pertama kali dilakukan pada lantai masjid. Kolong masjid ditimbun dengan batu kerikil yang diangkut dari sungai terdekat. Pengerjaan ini dilakukan oleh masyarakat setempat secara gotong royong. Lantai masjid pun dirubah jadi beton. Satu tahun kemudian 1974, giliran dinding masjid yang diganti dengan beton, bentuknya pun berubah.

“Waktu mengganti dinding, bagian dekat jendela ini sempat roboh karena penyangganya tidak kuat. Semennya juga belum kering waktu itu,” terang Darun Nafis sambil menunjuk jendela.

Renovasi berlanjut pada atap masjid. Perubahan ini diperkirakan pada masa Malin Boge. “Saat kecil saya sudah menjumpai atap itu berbahan seng,” ujar Yusuf, cucu Malin Boge. Yusuf sempat menjadi pengurus Masjid Kubro. Ia lahir 1930.

Almarhum Malin Boge merupakan tokoh adat yang membidangi agama. Almarhum pernah menjadi pengurus masjid. Boge dimakamkan di samping masjid sebelah selatan, di luar tembok.

Menurut Ani, cicit Boge, dulu tiap Jumat, jamaah berdatangan dari berbagai kampung. Seperti  Kuapan, Pulau Rambai dan Jawi-jawi. Mereka ada yang datang menggunakan rakit untuk menyeberang sungai. Boge meminta istri dan perempuan desa menyiapkan makanan bagi jamaah yang datang dari jauh.

“Aghi apolah kan dimasak, ntah itu gulai cabodaklah kan, condo itu tiok jumat cito niniok dulu,” kenang Ani.

Yusuf menceritakan, semasa kecil, selain tempat shalat, Masjid Kubro juga tempat belajar mengaji bagi masyarakat. Guru-gurunya dari kampung sekitar. Seperti Air Tiris, Penyesawan dan Danau Bingkuang.  Ada juga yang didatangkan dari Bukittinggi, Sumatera Barat.

“Murid duduk bershaf menghadap guru sambil mendengar dengan seksama,” kenang Yusuf.  Selain itu, perayaan hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan Israj Miraj juga kerap dilaksanakan di Masjid Kubro.

 

PAGI, Jumat 29 Juli, kami mendatangi Kantor Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Kabupaten Kampar, di Kota Bangkinang. Setelah menyampaikan maksud kedatangan kami pada seorang pegawai, ia mempersilakan untuk menunggu.

Tak lama, Syamsul Bahri Kepala Dinas, mengajak masuk ke ruangannya. Kami hendak mencari keterangan tentang Masjid Kubro. Darinya kami tidak memperoleh informasi banyak terkait bangunan tua itu. Tapi katanya, Masjid Kubro sempat ingin dijadikan cagar budaya. “Karena bentuknya sudah berubah, usaha itu urung dilakukan.”

Diakhir wawancara, Syamsul Bahri memberikan satu buku berjudul Sejarah Kampar. Namun, dibuka tersebut juga tidak ada menyinggung soal Masjid Kubro. Syamsul Bahri juga meminta kami untuk menjumpai A. Latih Hasyim, salah seorang penulis buku tersebut.

Rumah Latif di jalan Kartini, tak jauh dari Kantor Disparpora. Selain sebagai penulis, Latif juga mengkoleksi berbagai benda sejarah. Rumahnya dijadikan museum, diberi nama A. Latif Malay Museum. Darinya, kami juga tidak mendapatkan informasi banyak. Hanya saja ia mengatakan, dulu Masjid Kubro letaknya tidak jauh dari istana Kerajaan Kampar.*