Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada Wahid cucu dan cicit pun jadi.

Oleh Dicky Pangindra

ARIFIN muncul dari dapur rumahnya. Memakai batik lengan pendek, sambil mengikat sarung di pinggang, ia menuju sofa di ruang tengah. “Silahkan duduk. Enek opo iki? Iki sopo?” tanya Arifin, pada Muis, yang membawa dua orang kru Bahana Mahasiswa (BM). Arifin dan Muis teman masa SD.

Arifin, anak Abdul Karim

Arifin putra Abdul Rahim dari istri kedua. Abdul Rahim anak keempat Wahid Hasibuan atau Lebai Wahid. Meski marga Hasibuan, Arifin fasih bertutur Jawa. “Di Bantan Air ini orang berbahasa jawa semua. Jadi saya tak pandai bahasa Batak,” kata Arifin.

Arifin tak tahu banyak cerita kedatangan kakeknya di Bengkalis. Yang pernah ia dengar, Wahid Hasibuan hulu balang sebuah kerajaan di Sumatera Utara, membawa lari anak raja bernama Tarumun Pulungan, karena tak direstui.

Untuk dapat cerita lebih banyak, Arifin meminta kru BM menemui Burhan anak Soeman Hs di Pekanbaru, atau Mak Dun anak Jumahad di Desa Pasiran. Keduanya, sama-sama cucu Wahid Hasibuan.

Esoknya, Abdul Nasir alias Mak Dun menerima kedatangan kru BM. Mak Dun mantan Kepala Desa Bantan Tua. Katanya, dari kakek sampai paman pernah jadi Kepala Desa di Bantan Tua. Hanya saja, Mak Dun juga tak tahu banyak cerita soal kakeknya. Tapi, Mak Dun dapat menjelaskan secara rinci silsilah keluarganya.

Wahid Hasibuan dan Tarumun Pulungan memiliki 5 orang anak, satu diantaranya perempuan. Ngariban, Soeman Hs, Abdul Rahim, Hamzah atau Onjah serta Jumahad. Empat telah tutup usia di Bengkalis. Sementara Soeman Hs di Pekanbaru. “Pak Soeman Hs memang tak pernah pulang ke Bengkalis sejak disekolahkan ayahnya di luar,” ujar Arifin sambil menutup mata kirinya yang memerah.

Sampai di sini, Mak Dun juga minta untuk menjumpai Syaukani cicit Wahid Hasibuan. Syaukani anak Aisyah dengan Abdul Karim. Aisyah sudah meninggal. Ia putri Jumahad. Sementara Abdul Karim, anak mantan Kepala Desa Bantan Tua, almarhum Zakaria.bekas tapak lebay wahid foto dicky

Kediaman Abdul Karim tepat disebelah Masjid Baiturrahman, masjid raya di Bantau Tua. Masjid ini dibangun pada saat Mak Dun masih menjabat kepala desa. Ia minta bantuan pada Syamsurizal saat jadi Bupati Bengkalis. Kenangnya, waktu itu masyarakat sekitar kurang akur karena ada dua masjid yang jaraknya hanya beberapa meter.

Masjid yang dimaksud, Al Mukarramah dan Al Jihad. Dua masjid ini tetap berdiri namun difungsikan untuk pendidikan. Al Mukarramah untuk kegiatan anak TK, sementara Al Jihad untuk madrasah. “Makanya saya buat masjid besar untuk menyatukan kembali masyarakat di sini,” ujar Mak Dun.

Setelah mendengar cerita Mak Dun, kru BM langsung mendatangi rumah Abdul Karim. Seorang laki-laki, rambut keriting, telanjang dada dan memakai celana pendek, memberitahu bahwa Abdul Karim sedang di Pekanbaru untuk berobat.

Kru BM kemudian menghubungi Syaukani lewat telepon seluler. Ia ikut menemani ayahnya berobat. Syaukani minta wawancara dilakukan di Pekanbaru. “Tapi kalian foto dulu rumah Abdul Karim dan Onjah. Rumah Onjah dekat situ juga,” perintah Syaukani.

Dari depan, rumah Abdul Karim hampir tak kelihatan. Sebab, halaman depan tumbuh tanaman hias dan pohon besar. Tiga kursi sofa tak beraturan di teras rumah. Bentuk rumah menyerupai huruf L. Hampir semuanya berbahan kayu kecoklatan. Hanya tangga depan dan bagian belakang rumah yang sudah dibeton.

Begitu juga rumah Onjah. Bentuknya mirip dengan rumah Abdul Karim. Papan dindingnya disusun secara vertikal, dilapisi cat kuning. Tapi tak memiliki teras. Anak tangga langsung mengarah ke bandul pintu.

Saat memfoto rumah Onjah, Aprizal muncul dari parit sebelah rumah. Ia anak bungsu Onjah. Aprizal kemudian ngajak kru BM ke rumah abang kandungnya. “Kalau kalian nak betanyo tentang kakek kami Wahid Hasibuan tu, sama abang ku. Mari aku antar kalian,” ajaknya.

Kediaman Nurdin, tak jauh dari rumah Onjah. Ia masuk dari pertigaan Simpang Lebai Wahid. Katanya, tiap orang yang datang mencaritahu tentang Wahid Hasibuan, ia selalu jadi tempat bertanya. Ia sedikit tahu berkat mendengar cerita dari ayahnya.

WAHID HASIBUAN datang ke Bengkalis dengan seorang perempuan anak raja dari Hutanopan, bernama Tarumun Pulungan. Ada juga yang menyebut Kotanopan. Artinya sama. Kata kota dalam bahasa batak adalah huta.

Begitu juga marga Tarumun. Menurut Nurdin, Tarumun bermarga Lubis. Ada yang menyebut Pulungan. Penelusuran Fakhrunnas MA Jabbar, dari sanak keluarga ibu yang masih tinggal di Sibuhuan, memastikan marga Tarumun adalah Pulungan.

Fakhrunnas MA Jabbar, menulis buku otobiografi Soeman HS yang berjudul Bukan Pencuri Anak Perawan. Buku ini sebagai pembelaan terhadap Soeman HS yang dituduh melarikan anak raja. Hal itu disebabkan karena ia menulis roman Mencari Pencuri Anak Perawan.

Hutanopan, sebuah desa di Kecamatan Barumun, Kabupaten Padang Lawas. Letaknya di tepi Sungai Barumun. Namun, sejak tahun 1979  desa ini sudah ditinggalkan penduduknya. Bencana alam dan banjir sering melanda desa itu. Sekarang hanya ditanami kebun seperti kelapa, durian dan rambutan.

Penduduknya pindah menjadi hanya dua kilometer dari  Sibuhuan—ibukota Kecamatan Barumun.

Wahid Hasibuan dan Tarumun Pulungan tak direstui menikah karena beda status sosial. Ia  hanya seorang hulu balang atau pengawal raja, dianggap tak sepadan menikah dengan anak raja. Berbeda dengan menurut buku yang ditulis Fakhrunnas, Wahid Hasibuan dan Tarumun Pulungan pergi meninggalkan kampung karena adanya perselisihan dalam keluarga.

Perselisihan ini disebabkan perebutan kekuasaan. Namun, ada pendapat yang berlawanan. Fakhrunnas dalam catatan kakinya hasil wawancara dengan Muhammad Ali Pulungan, saudara sepupu Soeman dari pihak Ibu menjelaskan pelarian Soeman sebagian dikisahkan dalam roman Mencari Pencuri Anak Perawan. Pernikahan Lebai Wahid dengan Tarumun kurang direstui oleh keluarga Tarumun. Wahid merupakan keturunan bangsawan. Wahid tergolong anak yang nakal dimasa remajanya.

Bila mengacu pada cerita Nurdin mengenai Wahid Hasibuan melarikan seorang anak raja, beberapa catatan menjelaskan, di Hutanopan ada satu kerajaan yang bernama Raja Panusunan Tamiang. Berdasarkan tarombo asal-usul kerajaan, ada 13 raja yang pernah memimpin sampai 1946.

Namun, Nurdin tak bisa memastikan nama kerajaan pada masa itu.”Yang jelas, Wahid Hasibuan itu membawa seorang anak raja ke sini.”

Pelarian mereka tak membawa bekal apapun. Selama perjalanan, Wahid mengajarkan islam ke perkampungan yang disinggahi. Dari situ mereka diberi bekal. Berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lain. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Wahid membuka lahan untuk berladang. Setelah cukup uang, perjalanan dilanjutkan.

Wahid dan istrinya sempat melintasi Sungai Rokan, Tanah Putih dan beberapa lama singgah di Dalu-dalu. Dari situ menaiki sampan menuju Sungai Intan Bagansiap-api. Nurdin tak tahu banyak cerita kakek dan neneknya di tempat ini. Yang ia tahu, keberadaan Wahid Hasibuan sempat diketahui oleh utusan raja. Wahid Hasibuan sempat melawan pada utusan raja, dan akhirnya berhasil membawa Tarumun Pulungan lari ke Senggoro. Sekarang Senggoro salah satu desa di Kecamatan Bengkalis.

Di Senggoro, Tarumun Pulungan melahirkan 6 orang anak. Kurang satu dari yang diceritakan Mak Dun. Sebelum Soeman Hs, anak tertua adalah Usman. Keduanya di sekolahkan oleh Wahid Hasibuan ke Siak Sri Indrapura sejak berumur 7 tahun. Sejak itu mereka tak pernah pulang ke kampung halaman sampai akhir hayat. Kata Nurdin, Usman meninggal di Medan. “Dia tak punya keturunan.”

Jika menurut buku Fakhrunnas mengenai nama anak Lebai Wahid yaitu Raman, Riban, Soeman HS, Abdurrachim, Hamzah dan Juma’at.

Di Senggoro, Wahid Hasibuan dan Tarumun Pulungan tidak hanya tinggal serumah dengan anak-anaknya. Bersama mereka juga tinggal Raja Naualuh Damanik.

Naualuh Damanik adalah Raja Pematang Siantar ke 14 yang diasingkan Belanda pada 1906. Ia menolak menandatangani perjanjian sebagai tanda takluk terhadap penjajahan Belanda saat itu. Naulauh Damanik meninggal selama pengasingan dan dimakamkan di tempat yang sama pada 1914.

Makam Raja Naualuh Damanik tak jauh dari SMPN 3 Bengkalis. Hanya berjarak beberapa meter. Makamnya dikelilingi tembok pagar besi dan dilapisi keramik putih. Di area makam ada semacam pendopo yang disangga dengan bantalan kayu sebanyak tiga lapis. Tiap lapis terdapat dua bantalan sisi kiri dan kanan. Atapnya menyerupai rumah adat Batak.

Untuk menjejaki lantainya, harus melewati 5 anak tangga berkeramik abu-abu. Sisi kiri dan kanan tangga diberi besi penyangga. Tak hanya itu, di sebelahnya juga ada sumur dan bak kecil. “Makam raja itu bekas tapak rumah Wahid Hasibuan,” sebut Nurdin.

Dari Senggoro, Wahid Hasibuan pindah ke Bantan Tua. Di sini tanahnya lebih subur untuk berladang dan menanam tumbuhan lainnya. Ia mengajar alquran dan jadi imam. Masyarakat sekitar mulai memanggilnya Lebai Wahid. Lebai adalah gelar bagi orang yang dianggap paham agama Islam. Lebai Wahid pun diangkat jadi pemimpin kampung.

Rumah yang ditempati Aisyah dan Abdul Karim adalah bekas tapak rumah Lebai Wahid bersama Tarumun Pulungan dan anak-anaknya semasa hidup. Sekarang, makam Lebai Wahid dan Tarumun Pulungan tak jauh dari rumah yang dulu. Keduanya dimakamkan bersebelahan tepat di samping masjid Al Mukarramah.

Sekarang, jalan sekitar tempat tinggal Wahid Hasibuan diberi nama Lebai Wahid. Orang-orang kadang menyebutnya Simpang Lebai.

Syaukani membenarkan cerita pamannya, Nurdin. Setahu Syaukani, Lebai Wahid lari dari Hutanopan hanya membawa sebilah keris dan Tarumun Pulungan dengan sehelai selendang. “Selendang dah tak ade. Keris disimpan paman saya.”*