Oleh Reva Dina Asri
Kobou siapo nan panjang tanduok
Talinduong padi den dibueknyo
Anak siapo yang panjang obuok
Tabedo ati den dibueknyo
Lantunan Pantun Batobo ini didendangkan oleh Salman Aziz, seniman dan pemerhati budaya dari Kabupaten Kampar.
Batobo diserap dari Bahasa Melayu Kampar Ocu dan Kuantan Singingi. Asal katanya tobo atau toboh yang berarti kelompok. Kemudian ditambah imbuhan ber/ba sehingga menjadi bertoboh dan batobo.
Maka Batobo bermakna berkelompok-kelompok. Tujuannya mengerjakan ladang atau tanah pertanian berkelompok secara bergiliran sesuai anggota tobo. Persebaran tradisi Batobo ini meliputi wilayah Kampar, Kuantan Singingi dan Indragiri Hulu
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Batobo bermakna kegiatan menggarap sawah atau ladang secara gotong royong sambil berpantun.
“Terjadi pergeseran makna batobo sekarang,†kata Salman Aziz. Menurutnya berbeda makna antara berkelompok dan bergotong royong. Dalam Bahasa Ocu gotong royong disebut toroyong. Diartikan sebagai melakukan suatu kegiatan secara bersama tanpa mengharap balasan upah.
“Sementara batobo ada balasannya yaitu berupa jasa,†ujarnya. Jasa dibalas jasa, begitulah sistem Batobo.
Ada dua jenis pengelompokan dalam Batobo. Pertama, batobo kampung atau kerap disebut Batobo biasa. Anggota kelompok berasal dari masyarakat kampung yang sama. Batobo ini meminta izin pada kepala kampung atau desa.
Kedua, Batobo persukuan atau pasukuan. Kelompok ini anggotanya berasal dari suku yang sama. Untuk pengerjaannya, Batobo Persukuan meminta izin kepada kepala suku atau ninik mamak setempat.
Selain dua pengelompokan itu, dalam Batobo ada juga kelompok berdasarkan jenis kelamin. Toboh bujang untuk kelompok laki-laki, Toboh gadih kelompok perempuan dengan usia dan status yang beragam.
“Tapi di dalam toboh bujang akan tetap ada perempuan. Begitu sebaliknya,†ujar Aziz.
Sebab pengerjaan sawah tak semuanya bisa dilakukan kaum laki-laki saja. Perlu ada kaum perempuan. Sebaliknya pun begitu. Perlu ada lelaki yang membantu pekerjaan kelompok perempuan.
Taufik Ikram Jamil Sekretaris Umum Lembaga Adat Melayu Riau, katakan adanya kelompok Batobo berdasar jender disebabkan tradisi merantau kaum lelaki. Sehingga berladang biasa dilakukan perempuan.
“Umumnya perempuan yang mengerjakan ladang,†kata Taufik.
Batobo biasanya berisi 8 sampai 20 orang. Mereka mengerjakan ladang mulai pagi hari. Jelang siang anggota toboh istirahat menyantap kudapan. Ada nasi dan lauk pauknya serta panganan lain seperti konji atau bubur dan aneka ragam kue.
Di sela istirahat itulah, anggota tobo saling berbalas pantun untuk hiburan pengobat letih. Pantun ini yang dikenal sebagai Pantun Batobo.
“Pantun ini terjadi karena kegiatan batobo, ada hubungan sebab akibat di dalamnya,†ujar Salman Aziz.
Sepemahamannya menganggap ini sebagai pantun di ladang yang timbul karena adanya kegiatan batobo. “Terlalu sempit pemaknaannya jika pantun batobo hanya untuk pekerjaan ladang,†tambahnya.
Pantun Batobo memiliki khas pada kata sampiran yang muncul dari benda-benda yang ada di sekitar. Spontanitas merangkai kata menjadi bait-bait. Seperti kerbau, air, lumpur, padi, benih atau peralatan berladang seperti cabak (cangkul).
Pantun Batobo juga berisi nasihat, jenaka sindiran dan paling banyak berkisar muda-mudi. “Temanya juga bermacam ragam, umumnya memang berkisar muda-mudi,†jelas Taufik Ikram.
Seperti merayu, menyatakan cinta, ungkapan rindu, menuangkan kekecewaan dan merendahkan diri. Seperti pantun ini berisi merendahkan diri bagi muda mudi.
Intan intan pulau Anggoda (Intan intan pulau anggoda)
Toluak siantan solok aghu (Teluk siantan solok Aghu)
Acu santan adiok simpola (kakak santan adik simpola)
Manokan omuo bacampu bawu (Tidaklah mungkin akan bersatu)
“Terkadang, pantun batobo bisa dijadikan tolok ukur besarnya cinta seseorang,†kata Salman Aziz.
Ini berlaku bagi muda mudi yang saling ‘berjual-beli’ pantun di kelompok toboh masing masing. Penilaiannya dari kemampuan ia merangkai diksi.
“Itulah mengapa dibentuk kelompok toboh persukuan, sebab menghindari saudara sesuku dalam adu rayu,†ucap Salman Aziz.
Ini menjadi pantang larang yang fatal jika dilanggar. Mereka yang berasal dari suku yang sama dilarang keras untuk menjalin hubungan asmara atau menikah. Sebab dianggap masih satu darah dan garis keturunan.
Terancam Punah
Tahun 2017 lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menobatkan tradisi batobo dan sepuluh tradisi di Riau sebagai Warisan Budaya Tak Benda Provinsi Riau. Di antaranya Rumah Lontiok, Silat Perisai, Sijobang Buwong Gasiong, Manongkah, Onduo Rokan, Perahu Beganduang, Tunjuk Ajar Melayu, Selembayungng Riau, Zapin Api dan Zapin Meskom.
Perlahan pantun batobo ini mulai ditinggalkan. Kepunahan tinggal menungu waktu saja bila tak dilestarikan. Menurut Salman Aziz, tradisi ini terakhir dilantunkan oleh generasi tahun 1980 atau berakhir pada tahun 2000-an.
Kini kegiatan Batobo sangat jarang dilakukan, meskipun ada, jarang yang menggunakan pantun sebagai penghibur pelepas penat bekerja.
“Perubahan pola bertani dari kelompok menjadi individu juga salah satu faktor batobo hilang,†tambah Taufik Ikram.
Selain itu, pemilik ladang terbiasa mengupah pekerja atau memberikan sawahnya kepada orang lain untuk diolah dengan sistem bagi hasil. Pengupahan ini karena kemajuan teknologi dalam menggarap sawah. Seperti tak lagi butuh kerbau, sebab traktor sudah ditemukan. Waktu yang semakin singkat dan pekerjaan lebih mudah.
“Lahan pertanian juga sudah sangat dikit,†ucap Salman Aziz.
Data dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau tahun 2020 memperkirakan lahan pertanian di Riau menyusut hingga 22,4 persen. Dengan luasan tersisa berkisar 5.454 hektar lahan dari 7028 hektar. Penyebabnya masifnya konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit.
“Sekarang juga lebih banyak lahan yang dikuasai korporasi yang membuka perkebunan sawit,†tambah Taufik Ikram.
Taufik menyayangkan pemerintah daerah belum juga keluarkan peraturan tegas tentang konversi lahan persawahan. Ia contohkan di Kecamatan Bunga Raya Kabupaten Siak yang sudah mengeluarkan larangan untuk ekspansi lahan ini.
“Hasilnya, Bunga Raya menjadi kecamatan yang masih memiliki lahan pertanian yang luas,†kata Taufik Ikram.
Untuk mengatasi kepunahan pantun ini, seniman Riau mulai membuka panggung ke panggung untuk melantunkan Pantun Batobo. Meski tak selaras dengan definisi aslinya, berpantun di ladang. Namun ini menjadi cara tersendiri untuk merawat Pantun Batobo.
Kini, Pantun juga sedang diajukan sebagai warisan budaya dunia.
“Di masa pandemi ini kami beralih ke virtual sebagai panggung untuk berpantun, agar kebudayaan tetap hidup,†tutup Salman Aziz.#