Pantun, dari Tanah Melayu ke Tanah Perancis

Pantun yang kerap kita dengar sehari-hari memiliki sejarah yang panjang. Kini pemerintah dan lembaga kemelayuan tengah mempersiapkan pantun menjadi Warisan Budaya Tak Benda Dunia ke UNESCO di Perancis.

Oleh Rizky Ramadhan


Inilah pantun baharu direka

Menyurat di dalam tidak mengerti

Ada sebatang pohon angsoka

Tumbuh di mercu gunung yang tinggi

Pantun pembuka dalam buku Pantun-Pantun Melayu Kuno. Hasan Junus sastrawan Riau menulis ulang buku karangan Haji Ibrahim. Dalam kata pengantar dijelaskan bahwa pantun yang tertulis dalam kumpulan pantun Haji Ibrahim bersifat terkait. Dimana bagian sampiran dan isi memiliki hubungan, bukan sekadar memiliki persamaan akhiran seperti A-B-A-B. Kelak, pantun diusulkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda Dunia.

PANTUN sudah ada di masyarakat melayu sejak 1500 tahun lalu, dulu orang biasa gunakan pantun dalam ritual-ritual. Misalnya, ritual pengobatan Bulian/Belian (Suku Talang Mamak dan Petalangan), Dikei (Suku Sakai), Bedewo (Suku Bonai). Pantun juga terdapat dalam bentuk monto/mantra, jampi, dan serapah.

Bahkan pantun juga ada pada tradisi menumbai, batobo, berandai, kayat pantun. Termasuk lagu-lagu yang meng­gu­nakan pantun, seperti cindai dan lagu Sinar Riau, zapin.

“Banyak sekali fungsi pantun pada zaman dahulu,” ujar Al Azhar.

Pantun telah lama tumbuh dan kembang di masyarakat Melayu. Tak hanya pada acara adat dan keagamaan, pantun melekat dalam setiap lapis masyarakat Melayu. Ketika orang bercakap-cakap dengan sesama, menidurkan anak, tetua adat berbicara, berdagang, bercocok tanam hingga pergaulan anak muda. Bahkan pemuda-pemudi zaman dulu malu bila tak pandai berpantun, tulis Tenas Effendy dalam bukunya Pantun Nasehat.

Menurut situs web lamriau.id dijelaskan bahwa asal muasal kata pantun berkaitan dengan kata pan dalam sopan dan tun. Tun sendiri secara bahasa melayu berarti arah, pelihara dan bimbing. Maknanya pantun ialah pemakaian bahasa yang sopan, santun, terukur untuk mengarahkan, memelihara dan membimbing. Bahkan dalam bahasa melayu-minangkabau pantun berasal dari kata panuntun yang berarati penuntun dan pemberi arah.

Penamaan pantun tersebar di seluruh bagian nusantara, kemudian berubah dan menyesuaikan dengan penamaan setempat. Patu mbojo di Bima, Kabanti atau Kabachi di Sulawesi Tenggara, Elong atau bati’-bati’ di Makasar, Umpasa di Suku Batak, Ende-ende di Mandailing, Paparikan di Sunda dan Parik di Jawa.

Tak hanya tersebar di sekitar Nusantara, pantun juga tersebar di negara serumpun seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand dan lainnya.

Sub genre sastra bernama pantoum dalam kebudayaan Prancis dan Inggris berakar dari pantun melayu. Sebab, orang Inggris dan Prancis mengenal genre ini dari buku William Marsden berjudul A Dictionary and Grammar of the Malayan Language (1812), didalamnya dibuat pantun berkait. Pantun kemudian mengilhami pengarang Prancis lainnya seperti Victor Hugo, Leconte de Lisle, Charles Baudelaire dan lainnya.

Pada mulanya pantun adalah tradisi lisan yang digunakan dalam acara adat dan kehidupan sehari-hari. Seiring berjalannya waktu pantun mulai masuk kedalam dunia tulis. Menurut SagangOnline.com sekitar abad ke 18 pantun terlihat dalam Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu. Tertulis pantun dimana narator mengungkapkan empatinya.

Telur itik dari Senggora
Pandan terletak dilangkahi
Darahnya titik di Singapura
Badannya terhantar ke Langkawi

UU Hamidy dalam bukunya Membaca Kehidupan Orang Melayu jelaskan, dalam tradisi komunikasi masyarakat pantun sudah menjadi gaya bahasa. Bahkan muncul istilah tidak ada retorik orang melayu tanpa ujud pantun. Penggunaan pantun seperti itu tak saja dirasa halus dan berbudi, tapi juga indah.

Kemudian pantun mulai masuk dalam dunia percetakan pada tahun 1877. Adalah Haji Ibrahim, seorang pujangang dari lingkaran Penyengat atau Kerajaan Riau-Lingga. Ia dibantu oleh H von de Wall untuk mencetak kumpulan pantun yang diterbitkan percetakan W Bruining di Batavia.

Buku ini kemudian diberi judul Pantoen-pantoen Melajoe.

Raja Ali Haji juga pernah menulis syair berkait, serupa pantun berkait. Biasa disebut ikat-ikatan. Namun ada yang khas pada ikatan Raja Ali Haji. Setiap larik atau baris kedua dan keempat disalin utuh menjadi larik pertama dan ketiga di bait sesudahnya. Namun jenis ikatan ini tidak pernah lagi dibuat oleh penyair setelahnya.

Namun sebelum Haji Ibrahim, H.C. Klinkert lebih dahulu menuliskan dan menyiarkan pantun. H.C. Klinkert seorang Belanda menulis de Pantuns of Minnezangen der Maleiers–Nyanyian atau pantun orang melayu berkasih-kasihan– dan disiarkan di surat kabar Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van Ned-Indie.

Kemudian L.K. Hormsen dan Prof. Pijnappel menulis tentang pantun pada surat kabar yang sama pada 1883. Dalam tulisan Pijnappel tertuang perhubungan antara sampiran dan isi. Menurutnya pantun terdiri dari empat kalimat. Baris pertama persajak dengan baris ketiga, baris kedua bersajak dengan baris keempat. Bagian sampiran atau awal pantun merupakan lukisan dan gambaran akan sesuatu yang dinyatakan dalam bagian isi. Balai Pustaka dalam bukunya kemudian membagi pantun menjadi lima jenis pantun tua, pantun dagang, pantun riang, pantun nasihat dan pantun muda. Pantun kini banyak tersebar di masyarakat lewat media eletronik, digital, spanduk, baliho dan sejenisnya.

PEMBAHASAN pantun diusulkan ke organisasi United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) kategori Warisan Budaya Tak Benda bermula dari rapat-rapat kecil yang dilakukan Asosiasi Tradisi Lisan cabang Provinsi Riau.

“Ada banyak  yang dibahas dalam rapat ATL, salah satunya mengusulkan pantun untuk jadi WBTB,” ujar Al Azhar.

Pengusulan ini dilakukan sejak Desember 2016. ATL kemudian berkoordinasi dengan Dinas Kebudayaan Provinsi Riau. Al Azhar sampaikan bahwa hal ini dilakukan karena untuk pengusulan ke UNESCO tidak bisa dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Senada dengan itu, Yoserizal Zein Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Riau sampaikan bahwa usaha untuk menjadikan pantun sebagai WBTB ke UNESCO sudah sejak lama. “Bahkan sebelum dinas kebudayaan ini terbentuk.”

Sebelum duduk di Dinas Kebudayaan, Yoserizal pernah ikuti diskusi kecil terkait pengusulan pantun sebagai WBTB. “Saat itu Al Azhar, ketua LAM Riau yang mencentuskan ide tersebut,” kenang Yoserizal.

Setelah dijumpai kata sepakat, kemudian dilakukan pengumpulan berkas terkait pantun. Budayawan, Taufik Ikram Jamil, diminta bantuan untuk mengecek data yang dikumpulkan terkait pantun. Data tersebut berupa arsip foto, tulisan dan video yang menjadi bukti kehidupan pantun di tanah melayu.

“Tugas saye hanya mengecek dan merapihkan, yang mengumpulkan itu Elmustian Rahman dan Richard,” terang Taufik Ikram Jamil.

Elmustian dan Richard telah lama inventarisasi Kebudayaan Melayu, salah satunya pantun. Beberapa komunitas yang fokus di bidang budaya dan kesenian juga ikut membantu seperti randai kuansing, mak andam dan masih banyak lagi. Selama enam bulan mereka keliling ke beberapa daerah di Riau.

Usai data terkumpul, Taufik Ikram Jamil kemudian memberinya pada Yoserizal Zein, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Riau. Draft itu kemudian dibawa ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Taufik Ikram Jamil dan Richard yang diutus berangkat.

Tak lama setelah itu, dilakukan workshop Sidang Verifikasi Pantun Menuju Warisan Budaya Tak Benda Dunia di Auditorium H. Ismail Suko Gedung Perpustakaan Soeman HS pada 14 Maret tahun lalu.

Hadir Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Departmen Kebudayaan RI Najamuddin Ramli, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi  Riau Yoserizal Zein dan tiga narasumber yakni, Mukhlis Pa’Eni yang membahas arahan mengenai makna pengusulan dalam kerangka warisan dunia. Kemudian Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Indonesia, Dr. Pudentia yang menjelasan mengenai nominasi UNESCO dan narasumber ketiga yakni Ketua LAM Riau, Al Azhar makna pantun dalam masyarakat melayu.

Usai adakan workshop lalu dilakukan sosialisasi mengenai naskah akademik yang dibutuhkan untuk dikumpulkan. Draftnya lalu dibawa ke Focus Grup Discussion FGD.

“Ada sekitar lima puluh organisasi yang ikut mendukung pantun untuk dijadikan WBTB,” jelas Al Azhar.

Dinas Kebudayaan Provinsi Riau turut membantu memfasilitasi rapat-rapat dan diskusi yang dilakukan. Kemudian mengumpulkan arsip dan naskah yang berkaitan dengan pantun baik berupa tulisan, audio dan video.

Yoserizal Zein sebutkan ada beberapa kali diskusi yang dilakukan terkait pengusulan pantun ini. Ada di Pekanbaru, Jakarta dan Malaysia.

“Malaysia juga ikut mengumpulkan membantu arsip tentang pantun,” ujar Yoserizal Zein.

Menurut laman situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dijelaskan bahwa pantun diusulkan menjadi WBTB karena peluang mengajukan secara multinasional setiap tahun. Lantaran dapat mengajukan budaya berdasarkan jalur multinasional di antara dua tahun rentang jalur per negara, maka pantun dipilih untuk 2018 bersama dengan Malaysia.

Usai semua berkas terkumpul, barulah diajukan secara resmi  pada 31 Maret 2017. Kini Indonesia dan Malaysia tinggal menunggu hasil evaluasi tim UNESCO yang keluar pada 2018 ini.

Al Azhar sampaikan bahwa ketika nanti pantun telah diresmikan jadi WBTB UNESCO maka kepemilikannya akan jadi milik multinasional. “Nantinya jadi milik bersama, karena melayu ini lebih dulu ada daripada batas negara.”

Batas negara, menurutnya baru sedangkan kebudayaan melayu telah jauh hari ada. Ia sampaikan bahwa seharusnya hal ini dilihat dari nilai budaya bukan nilai ekonomi. Jika dilihat dari nilai budaya, berarti semakin banyak yang menggunakan berarti semakin terkenal dan semakin hidup budaya tersebut.

“Kalau dari segi ekonomi tentu saja jadi rugi,” ujar Al Azhar yang saat ini menjabat Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat  LAMR.

Taufik Ikram Jamil juga sependapat, peraih anugrah Sagang tahun 2003 itu sampaikan akan muncul kebanggaan tersendiri pada masyarakat kala pantun ditetapkan sebagai WBTB di UNESCO. “Dengan ditetapkannya pantun, semoga mendorong semakin suburnya penggunaan pantun di kalangan masyarakat”.

Dibalik harapan, muncul kekhawatiran pada Taufik Ikram Jamil. Pertama, orang sekarang berpantun tak lagi perhatikan ihwal munculnya sebuah kalimat. “Yang penting rimanya sama.”

Kedua, berpantun ini erat kaitannya dengan alam. Orang dulu berpantun menyesuaikan dengan alam. Misal hendak menumbai—mengambil madu—gunakan pantun. “Kini alam dah terkikis. Tak ada lagi alam, tak ada lagi pantun,” terang Taufik Ikram Jamil.

Ia berharap lestarinya pantun juga berarti lestarinya alam.#