Pulau Tujuh, Zamrud Khatulistiwa yang Kehilangan Cahaya

AGAKNYA belum banyak kenal keberadaan gugusan pulau bernama Pulau Tujuh. Ia terhampar di Laut Cina Selatan. Pulau Tujuh gugusan pulau yang terintegrasi wilayah Kabupaten Kepulauan Riau. Pulau Tujuh sudah lama diberi julukan Zamrud Khatulistiwa. Bahkan di era 60-an gugusan meliputi tujuh kecamatan dengan beberapa pulau tersebut telah dikenal dengan nama daerah selaksa ton untuk komoditi karet dan kopra menyusul tanaman cengkeh.

Ditinjau lebih jauh, kedua nama di atas bukan sekedar sebait langgam pelipur lara. Tapi ditunjukkan bukti-bukti maupun kejadian memperkuatnya. Ternyata, kini zamrud tak lagi terasa dengan baik. Ia telah kehilangan cahayanya yang dulu pernah memaksa orang memicingkan mata ketika bersitatap dengannya. Ini menyusul semakin jauhnya daerah itu dari jangkauan kepedulian kebijaksanaan pemerintah daerah.

Padahal, kekayaannya seperti yang pernah diulas BM Syamsuddin, budayawan Riau, berikan sumbangan yang tak kecil bagi pembangunan daerah. Bahkan menurut penelitian beberapa pakar, kandungan isi perut Laut Cina Selatan dipastikan mampu jadi pijakan yang strategis mega proyek masa depan. Baik potensi laut, kekayaan alam seperti minyak bumi dan gas. Bahkan menurut perkiraan, jadi cadangan terbesar dunia saat ini.

Gugusan pulau ini pernah alami zaman keemasan saat harga cengkeh atau dikenal dengan sebutan timah cokelat melambung. Cengkeh jadikan daerah ini menggema hingga Malaysia dan Singapura. Juga beberapa kawasan di tanah Jawa dan Sulawesi. Ini terjadi lewat hubungan dagang antar pulau. Perdagangan saat itu belum dibebani bermacam aturan birokrasi penghambat.

Sisi lain, ada lagi perdagangan di Pulau Midai. Salah satu pulau sebelah Utara. Di Midai sini pernah berdiri lembaga perkoperasian tergolong tertua di tanah air. Namanya kopersasi Achmadi & Co.

Menurut catatan, pada 50-an, saat Drs. M. Hatta (alm) adakan kunjungan kerja ke Midai, Hatta katakan koperasi itu tergolong tua di Indonesia. Lebih tua dari koperasi guru di Jawa. Meski data akuratnya belum ditemukan hingga kini.

Sebelum zaman keemasan komoditi cengkeh, karet dan kopra berakhir, ada fenomena lain cukup menarik; pola konsumtif masyarakat. Setelah panen, masyarakat setempat sibuk adakan perjalanan hingga ke semenanjung Malaysia, bahkan Singapura. Bagi berpenghasilan cukup makan, tak usah jauh-jauh. Untuk sekedar shop-ping cukuplah ke Kalimantan Barat atau Tanjungpinang. Namun, barang keperluan sehari-hari dan alat-alat elektronik didatangkan dari Singapura.

Dengan demikian, duit hasil panen jelas banyak hijrah ke negeri orang. Sedangkan untuk bepergian ke Pekanbaru? No way. Tak ada kamus ke ibu kota propinsi ini. Karena, di samping letaknya cukup jauh, transportasi ke Pekanbaru pun masih langka.

Tak salah lah jika seorang camat di kawasan ini suatu kali pernah katakan, kalau tidak ada dua negara ditambah Pontianak (ibukota Kalbar), wilayah Pulau Tujuh tidak akan pernah berkembang. Mengapa? Karena semua roda perekonomian lebih banyak dipengaruhi kedua daerah tersebut.

Nah, bagaimana kondisi dewasa ini? Agaknya semakin menarik. Dalam dekade terakhir, telah terjadi perubahan besar dan mendasar. Di samping disebabkan jatuhnya harga cengkeh hingga titik terendah, ditambah makin langkanya ikan akibat pemboman sepanjang masa, biaya hidup pun semakin tinggi.

Sedangkan haluan perekonomian penduduk telah bergeser ke laut, menangkap ikan, selain menggeluti bidang pertanian. Apa hendak dikata. Mencari daerah untuk memasarkan hasil pertanian fenomena baru membuat masyarakat setempat ‘pening lalat’. Kemana hasil panen hendak dilemparkan? Sedang pusat pasar pun terasa semakin jauh dari jangkauan tangan-tangan kerdil mereka.

Akibat yang lebih klimaks dari semua itu ditinggalnya beberapa kawasan di Pulau Tujuh oleh sebagian penduduk karena tak sanggup atasi himpitan hidup. Hingga banyak di antaranya memilih mudik ke daerah asal seperti ke dataran Kampar, Inhil, Bengkalis dan Sumatera Barat.

Hingga, kalau dilihat perubahan yang terjadi saat ini, tak usahlah mereka terkejut. Karena kawasan yang dulunya ramai para pendatang dan pedagang, kini tak ubahnya seperti daerah asing yang sulit dikenal.

Daerah itu berubah jadi perkampungan sarat dilema dan permasalahan terus menghimpit tubuh besarnya yang mulai keropos dimakan problema. Zamrud dahulu dikejar dan diincar itu kini tak lebih dari seonggok batu kali yang tak lagi terasah, meski di dalamnya menyimpan ‘kilauan’ potensi yang dulu sanggup mengundang para pendatang untuk menyinggahinya.

Tak ada yang tahu sampai kapan kondisi menyedihkan ini akan berakhir. Akankah ‘percikan’ perkembangan Segitiga Sijori turut merembes dan membasahi sejengkal parasnya? Entahlah.

 

Chandra, dari beberapa sumber

Edisi Maret 1994