Raja Ali Haji dilahirkan di Pulau Penyengat pada awal tahun 1809, lima tahun setelah Pulau Penyengat dibuka sebagai tempat kediaman Engku Puteri. Tidak ada hal-hal yang istimewa mengiringi kelahirannya. Zaman pulalah yang menyebabkan orang memanggilnya dengan gelar “Raja”.
Kehidupan Raja Ali Haji dimasa anak-anak lebih banyak dihabiskan dilingkungan istana, yang memiliki perhatian besar terhadap bahasa, kesusateraan dan agama Islam. Ketika berusia 12 tahun, Raja Ali Haji dikhitankan di Lingga bersama Sultan Tengku Besar Muhammad.

Pada suatu ketika di Pulau Penyengat banyak berdatangan ulama dari berbagai negeri untuk meramaikan pusat Kerajaan Melayu. Tujuan kedatangan kafilah itu adalah mendalami agama islam serta berbagi ilmu pengetahuan tentang islam sesuai pengalaman masing-masing. Mereka datang dan berdomisili di Riau untuk beberapa waktu lamanya. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu Riau merupakan negeri melayu yang paling aktif dalam mengembangkan bahasa dan kesusasteraan serta ajaran islam jika dibandingkan dengan kerajaan lain, baik Kerajaan Melayu maupun yang lainnya di nusantara.

Keterbukaan Riau terhadap negeri-negeri lain merupakan sebuah bentuk dari pola berpikir yang lebih maju bila dibanding dari cara berpikir orang pada waktu itu. Dengan adanya keterbukaan ini maka Raja Ali Haji dapat menyerap nilai-nilai baru yang berasal dari islam yang sangat mewarnai pemikirannya. Dengan banyaknya pendatang dari negeri lain yang berdomisili di Pulau Penyengat maka hal ini memberikan kesempatan kepada anak-anak dari kaum elit untuk mendapatkan kesempatan pertama menikmati pendidikan. Sebagai salah seorang dari golongan yang beruntung itu Raja Ali Haji memanfaatkannya dengan baik, yang melebihi kemampuan teman-teman seusianya.

Akan tetapi keadaan yang baik ini menjadi berkabut karena terjadi kemelut politik di kerajaan. Kemelut tersebut terjadi karena adanya pertelingkahan antara Inggris dan Belanda dalam merebut pengaruh terhadap kerajaan di Pulau Penyengat. Sehubungan dengan adanya kemelut politik tersebut maka diutus suatu misi kerajaan ke Batavia dan sekaligus untuk memenuhi undangan Gubernur Jenderal Hindia.

Belanda. Rombongan dari kerajaan itu dipimpin oleh Said Sain Alqudsi dan Raja Ahmad, orang tua Raja Ali Haji.
Raja Ali Haji mendapat kesempatan berangkat bersama rombongan dan selama tiga bulan berada di pusat pemerintahan Hindia Belanda, yaitu Batavia.

Perjalanan ke Batavia ternyata member arti tersendiri bagi Raja Ali Haji, karena dalam perjalanannya itu banyak sekali hikmah dan pengalaman yang dipetik olehnya. Tergambar bagaimana ia mampu menarik nilai-nilai yang berharga yang pada masa itu sulit sekali diperoleh orang-orang yang bukan kerabat dekat kerajaan. Diantara beberapa pengalaman Raja Ali Haji selama di Batavia adalah terdapat dua peristiwa budaya yang dicernanya dengan penuh perhatian. Peristiwa yang pertama ialah menonton opera di gedung Schouwburg dan yang kedua ialah pertemuan dengan juru bahasa resmi Gubernur Jenderal Batavia, Christian Van Angelback. Tentunya kesempatan ini sangat langka bagi orang-orang biasa pada waktu itu.

Pada 1927 Raja Ali Haji bersama ayahnya Raja Ahmad bersama rombongan berangkat ke tanah suci Mekah untuk menjalankan ibadah haji. Dalam perjalanan ke Mekah, Raja Ali Haji semakin matang dalam memperkaya rohani dengan nilai-nilai agamis. Dia tergolong anak bangsawan yang cerdas dan selalu mencurahkan waktu untuk untuk memperdalam bahasa Arab dan ilmu agama. Meskipun di Riau dia telah ditempa dalam lingkungan istana dengan guru-guru yang terpilih, namun karena kehausannya akan ilmu pengetahuan maka ia berusaha untuk lebih menyempurnakannya di tanah suci Mekah, sebagai pusat dan wadah pengetahuan agama islam. Bekal yang diperoleh Raja Ali Haji di tanah suci Mekkah merupakan modal utama untuk menjadi maestro bahasa dan kesusasteraan Melayu serta menjadi idaman semua orang yang mengerti dan memahami bahasa melayu.

Karya Raja Ali Haji sebagai seorang ahli bahasa yang mengarang buku tata ejaan dan sebuah kamus ensiklopedia bahasa masih mempunyai makna kekinian baik dilihat pada faedah langsung karya-karyanya, maupun dilihat dari semangat dan moral sebagai orang yang memiliki keahlian dan beragam-ragam ilmu pengetahuan. Semua pengetahuan yang telah diserapnya sejak lama dituangkannya kedalam karya-karya yang meliputi bidang agama, sejarah, pemerintahan, tata negara, sastra dan lain-lain.

Gurindam 12 merupakan karya puncak Raja Ali Haji yang selesai ditulis di Pulau Penyengat pada 27 Rajab 1263 Hijriah atau bertepatan pada tahun 1846 masehi. Karya sastra ini dihasilkannya ketika ia berusia 38 tahun. Gurindam 12 memuat nilai-nilai filosofis yang dapat menjadi pegangan bagi umat manusia. Nilai filosofis yang dituangkannya pada Gurindam 12 hampir didominasi oleh nafas Islam yang menjadi pegangan hidup para Raja Melayu di Riau.

Pada tahun 1854 Gurindam 12 diterbitkan dengan terjemahan dalam bahasa Belanda yang diterjemahkan oleh Elisa Netcher. Beb erapa karya lain dari Raja Ali Haji ialah Bustanul Kastibin, kitab pengetahuan bahasa, silisilah melayu dan bugis. Dalam bidang bahasa Raja Ali Haji berusaha untuk menggunakannya secara benar. Bahkan berkat kegigihannya dan andil Raja Ali Haji bahasa melayu digunakan sebagai bahasa perdagangan di Pesisir Pantai Timur Sumatera dan Selat Malaka. Dan kini menjadi bahasa resmi beberapa negara di Asia Tenggara.

Ahmad Fitri

Edisi Mei 1995