MENGEJUTKAN jika benar Raja Haji Fisabilillah seorang Bangsa Viking yang dikenal sebagai bangsa pengarau laut dan perompak di kawasan laut Eropa Utara (Skandanavia). Namun sebenarnya Bangsa Viking hanya gelar yang diberikan orang Belanda yang membuktikan bahwa betapa besar dan hebatnya tokoh Raja Haji dalam menentang penjajahan Belanda di kawasan Nusantara ini.

Raja Haji­—outra Daeng   Celak Riau II (1729-1746) dari Ibu Tengku Mandak, adik Sultan Sulaoman Badrul Alamsyah. Ia dilahirkan di Hulu Riau (Kota Lama) sekitar 1727. Walau dalam tubuh Raja  Haji mengalir darah Melayu-Bugis yang diwarisi dari orang tuanya, namun ia dibesarkan dalam lingkungan sosial yang berpegang teguh pada adat istiadat Melayu raja-raja Melayu Riau. Dalam suasana yang serupa itulah Raja Haji tumbuh dan berkembang menjadi seorang bangsawan Melayu yang dipersiapkan untuk meneruskan jabatan yang diturunkan dari pihak ayahnya.

Raja Haji yang sehat berwatak pemberani, cerdas, tumbuh dan berkembang dengan wajar di bawah bimbingan kedua orang tuanya. Setelah orang tuanya meninggal ia dibina oleh Bapak saudaranya yakni Daeng Kamboja yang diangkat menjadi Dipertuan Muda III Kerajaan Riau, ketika ayahnya Daeng Celak YDM II meninggal tahun 1729.

Masalah sosial, politik, ekonomi dan militer yang berkembang dan menjadi issue besar yang terjadi di luar negeri serta pengaruhnya terhadap kerajaan Riau dengan cepat dapat ditangkap dan dicerna oleh Raja Haji. Sesuai tingkat usia yang makin dewasa, ia menjadi makin matang dan siap menerima jabatan resmi pemerintah sebagai seorang Kelana. Ia juga telah menghadapi beberapa peristiwa politik yang cukup menggegerkan kerajaan Riau, antara lain ekspansi penjajahan Belanda untuk menjajah kerajaan Riau.

Raja  Haji muda ditunjuk sebagai Engku Kelana atau pembantu YDM, tugasnya menjaga keamanan dan keutuhan segenap wilayah kerajaan kekuasaan Riau. Pelantikannya sebagai Engku Kelana dilakukan tahun 1749. Selama 28 tahun Raja Haji menjabat sebagai Engku Kelana, ia berusaha memperkokoh keutuhan wilayah Kerajaan Riau dengan cara melakukan kunjungan ke berbagai daerah takhlukannya. Setiap kunjungan dibuat catatan perjalanan.

Selain memperkokoh keutuhan wilayah, sebagai Engku Kelana ia bertugas juga mengunjungi beberapa negeri tetangga, seperti Selangor,Perak, Kedah, Indra Giri, Mempawah, Jambi dan Bangka. Tujuannya mempererat persahabatan antara kerajaan Riau dengan negeri-negeri tersebut.

Ketika berkunjung ke Selangor ia terlibat perang dengan Belanda (Perang Linggi pada tahun 1757). Dalam peperangan itu paha Raja Haji cedera terkena sangkor Belanda (Raja Haji; terj. 1965; 117 dan Buyong Adil; 1971; 118). Raja Haji berhasil mengamankan Selangor dari gangguan Belanda dan sekutu-sekutunya yang ikut mengacau.

 

Sikap Raja Haji Terhadap Kekuatan Asing

Meningkatnya usaha bangsa Barat (Portugis, Inggris, Belanda) datang ke Timur menyebabkan pemimpin-peminpin di kerajaan Nusantara, khususnya kerajaan Riau selalu waspada dan siap siaga. Suasana politik, sosial, ekonomi dan pertahanan keamanan menjadi masalah kerajaan Riau ketika memberi pengaruh yang amat besar terhadap sikap dan wawasan politik Raja Haji yang berwatak cerdas, peka dan berani. Peristiwa yang melanda kerajaan menyebabkan ia menjadi sangat anti terhadap bangsa Belanda yang dipandang amat serakah dan tak tahu diri, ingin mencampuri dan mengambil hak yang sah dari setiap kerajaan.

Raja Haji mengikuti dengan cermat kedatangan bangsa Belanda yang mempergunakan segala tipu daya untuk menguasai kerajaan dengan rakyat dan segala isi kerajaannya. Sikap tingkah laku Belanda yang licik dan penuh tipu muslihat yang terjadi dalam perang Linggi tahun 1757, menyebabkan Raja  Haji bersikap anti dan benci terhadap bangsa Belanda.

Perang Linggi dijadikan alasan oleh Belanda untuk menuntut Kerajaan Riau membayar ganti rugi kepada Belanda atas kerugian dan korban yang ditimbulkan oleh serangan Belanda itu (Raja Haji; terj, 1965; 134).

Tindakan Belanda yang bersikap memaksa sebelah pihak, dipandang oleh orang-orang besar kerajaan sebagai perbuatan kurang beradab, tak tahu malu dan tidak sesuai dengan adat sopan santun serta merupakan perbuatan tak masuk akal. Raja  Haji merasa malu atas terjadinya peristiwa itu. Sikap Raja  Haji semakin anti terhadap Belanda setelah mengikuti kegiatan politik-ekonomi Belanda di sepanjang Selat Malaka.

Setelah Raja  Haji secara resmi diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda IV pada 1777-1784, pusat pemerintahan berada di Pulau Biram Dewa dan dikenal dengan Istana Kota Piring. Ia tampil dengan yakin serta penuh tanggung jawab memimpin pemerintahan, ekonomi, sosial, politik dan pertahanan kerajaan.

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai YDM Riau, ia memperlihatkan kecakapannya sebagai seorang administrator yang pandai mengatur administrasi kerajaan serta mampu memperkokoh, menggalang peraturan rakyat serta pandai mengatur kehidupan ekonomi.

Ia juga seorang ahli strategi perang laut, pandai berdiplomasi, taat beragama, berani, berwibawa dan konsekuen dalam perjuangan yang anti Belanda sampai tetes darah terakhir. Gugur mati syahid fisabililah sebagai pahlawan dalam mempertahankan dan membeli kerajaan Riau dengan daerah tahkluknya dari penjajah Belanda. Sikap anti Belanda itu dipertebal oleh keyakinan agama Islam yang mengalir dalam kehidupan pribadi Raja Haji yang memandang orang Belanda sebagai orang kafir (Nirlando Phobia).

Sikap pandangan dan keahlian Raja Haji yang mengagumkan itu menimbulkan rasa cemas pemimpin-pemimpin dan para panglima Belanda. Mereka sulit untuk mendekati Raja Haji apalagi mempergunakan siasat tipu muslihat yang licik. Jalan satu-satunya untuk mengamankan tujuan tersebut, menyingkirkan Raja Haji dengan kekerasan senjata (perang). Watak Raja Haji yang berani, cerdik dan konsekuen tidak pernah gentar terhadap gerakan perang yang dicanangkan oleh pihak Belanda.

Raja Haji tidak gentar menghadapi Belanda yang memiliki kecakapan pengalaman serta peralatan teknologi perang yang lebih maju. Jauh sebelum kerajaan Belanda mengumumkan perang, Raja Haji telah berkemas mempersiapkan kubu-kubu, mengarahkan askar-askar kerahan, memperbanyak senjata, menggalang persatuan di seluruh kerajaan serta memberitahu kepada nagari sekutunya untuk menghadapi Belanda.

 

Perlawanan Raja Terhadap Belanda

Perlawanan yang dilakukan Kerajaan Riau di bawah pimpinan Yang Dipertuan Muda Raja Haji terhadap kolonial Belanda timbul oleh beberapa penyebab yang saling berkaitan. Sebab-sebab umum yang paling menonjol sesuai dengan Zeitsgeits atau roh zaman itu ialah karena munculnya dengan keras semangat pan islamisme, terpendamnya dengan dalam rasa neerlanddophobia dan timbulnya tunas pranasionalisme.

Di Indonesia semangat kesatuan agama yang sama dapat dijumpai pada sisa perjuangan menentang kolonialisme baik terhadap Portugis maupun Belanda. Sultan Mahmud Marhum Kampar, Pati Unus, Babulah, Sultan Agung Perang Makasar, Perang Diponegoro, Perang Imam Bonjol dan banyak lagi.

Raja  Haji sebagai pemimpin perang antara kerajaan Riau dengan Belanda mendapat tempatnya, dinyatakan dalam gelar Posthumous setelah tewas dalam peperangan di Teluk Ketapang Malaka, yaitu Raja Haji Fisabililah.

 

Rosyita, dari berbagai sumber

Edisi September 1996