RUMAH panggung berdinding papan dengan cat cokelat tua berada di pinggir Sungai Siak. Dua daun jendela dihiasi gorden putih terbuka menghadap sungai. Pintu masuk terletak di bagian samping rumah. Untuk masuk ke dalam rumah, tangga batu putih yang mulai kusam harus disusuri. Di kolong rumah ada pintu masuk lainnya, tertutup papan. Ruang bawah ini dijadikan gudang penyimpanan.
Ini rumah H Yahya. Catatan riwayat rumah tertempel rapi di dinding bagian kanan dekat pintu masuk. Ia akan terlihat begitu kita menginjakkan kaki ke dalam rumah. Catatan tersebut dibuat Drs H A Tanwir Ayang, MSi.
“Bapak kena stroke, tak bisa bicara, tapi masih bisa berjalan,†ujar Irfan.
Irfan anak Tanwir Ayang. Tanwir dikenal sebagai budayawan Riau yang telah lama menetap di Jalan Perdagangan Kampung Bandar Senapelan nomor 212. Ia menantu Hj Razmah Yahya, anak kedua H Yahya.
Rumah H Yahya bukan rumah biasa. Tiang penyangganya cukup tinggi, berbeda dari rumah sekitarnya. Elmustian Rahman, Ketua Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan (P2KK) Universitas Riau menyatakan, bentuk rumah cerminan strata sosial pemiliknya. “Semakin tinggi tangga batu rumahnya, semakin tinggi strata sosialnya di masyarakat,†jelas Elmustian.
Model rumah melayu juga punya filosofi tersendiri. “Rumah beratap limas berdinding papan yang disusun vertikal, seperti rumah H Yahya, hanya boleh dimiliki orang kaya atau yang punya kekuasaan di lingkungan itu,†kata M. Tohirin, anggota Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). BPCB berpusat di Batu Sangkar dengan wilayah kerja Sumatera Barat, Kepulauan Riau dan Riau.
Kini rumah H. Yahya terdiri dari tiga ruangan. Ruang depan diisi dua mesin tenun. Kegiatan menenun dilakukan warga sekitar. “Dengan kegiatan ini kita dapat ilmu, dari pada tidur di rumah, lebih bagus belajar menenun di sini,†kata Ruhaya sambil memainkan alat tenun. Ruhaya merupakan warga sekitar rumah H Yahya yang aktif belajar menenun di rumah tersebut.
Ruang tengah dibagi tiga kamar. Satu tiang penyangga menuju lantai atas berada di tengah ruangan. “Dulu kalau tamu datang anak-anak H. Yahya naik ke lantai atas sambil ngintip-ngintip tamu,†kenang Irfan. Kini lantai atas sudah tak digunakan lagi. Tiang penyangga untuk naik ke lantai atas pun sudah tak ada.
Satu ruangan lagi dijadikan dapur, letaknya agak rendah dari ruang depan dan ruang tengah. Dapur ini sudah direnovasi. “Dulunya dinding kayu, sekarang sudah jadi beton,†kata Irfan. Tak hanya dapur, sebagian tiang rumah dan lantai juga sudah direnovasi. “Kayunya sudah mulai kering dan lapuk,†tambahnya.
MENURUT catatan yang ditulis Tanwir Ayang juga dari pengakuan Irfan, anaknya, H. Yahya memang seorang kaya dan berpengaruh di lingkungannya. Ia seorang tauke getah karet dan pedagang komoditas pokok.
Irfan bercerita, karet dari Tapung—saat itu Tapung jadi pusat dagang karet terbesar—dibawa H Yahya ke Pekanbaru. Kini Tapung merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kampar. Setelah tiba di Pekanbaru, karet dilayarkan dengan perahu ke Singapura. Seminggu kemudian, bahan pokok seperti gula dan beras dibawa kembali ke Pekanbaru dari Singapura. Model perdagangan barter seperti itu yang dilakukan H Yahya. Karet ditukar dengan komoditas pokok.
Komoditas pokok yang dibawa dari Singapura ini kemudian dijual H Yahya kepada masyarakat sekitar kampung. Dari hasil perdagangan itu ia membangun sebuah rumah di sekitar Sungai Siak pada 1887. “Agar mudah menambatkan perahu dan dekat dengan rumah,†jelas Irfan. Rumah itu kini dikenal sebagai rumah H Yahya.
Di rumah tersebut, H Yahya tinggal bersama isterinya Zainab dan kelima anaknya: H Abdul Hamid Yahya, Hj Razmah Yahya, Kamsiah Yahya, Hj Ramnah Yahya dan Nursiah Yahya.
Sebelum kemerdekaan Indonesia, rumah H Yahya pernah menjadi markas pergerakan pejuang fisabilillah. Pejuang fisabilillah membantu dalam merintis kemerdekaan Indonesia. Perjuangan dirintis lewat jalur dakwah. Anak pertama H Yahya, Abdul Hamid Yahya ikut terlibat dalam perjuangan.
Pejuang fisabilillah menjadikan rumah ini tempat berkumpul, rapat serta penyimpanan logistik sekaligus dapur umum. Menurut Irfan, sebenarnya para pejuang fisabilillah punya rumah masing-masing di sekitar kampung Bandar Senapelan. Namun rumah H Yahya dijadikan tempat berkumpul karena rumahnya paling besar.
Setahu Irfan, saat itu H Yahya berperan menyediakan logistik untuk para pejuang fisabilillah. Ia juga bantu memasok senjata dari Singapura. Anak-anak perempuan H Yahya membantu sediakan makanan. “Kalau sudah masak, anak perempuan membungkus nasi untuk pejuang fisabilillah,†kata Irfan.
Tanwir Ayang dalam catatan riwayat rumah H Yahya yang ditulisnya menyatakan penjajah Belanda mengetahui keberadaan rumah dan tempat berkumpul pejuang fisabilillah tersebut. Sehingga demi alasan keamanan, tempat rapat dan pertemuan para pejuang dipindahkan ke Surau Irhaash di Jalan Senapelan.
Selain markas pejuang fisabilillah, Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 1958 juga pernah menjadikan rumah H Yahya markas sekaligus tempat tinggal mereka. Ini terjadi saat era penumpasan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) khususnya Riau. PRRI merupakan gerakan pertentangan antara pemerintah pusat (Jakarta) dengan pemerintah daerah, dideklarasikan pada 15 Februari 1958. Gerakan ini dipengaruhi adanya tuntutan otonomi daerah lebih luas.
Buku Sejarah Riau yang disusun tim penyusun Universitas Riau menuliskan, di tengah pemberontakan, Soekarno Presiden Republik Indonesia keluarkan perintah untuk menindaki pemberontakan tersebut.
Atas perintah Presiden, pejuang-pejuang daerah Riau menggabungkan diri dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Mereka, H.R. Syamsuddin, A. Manaf Hady, Endut Gani, Umar Usman, A. Hasyim, T. Mahmud Anzam, Azhar Jalil, M. Taher. Langsung di bawah komando Gerakan Pembela Proklamasi 17 Agustus 1945, dipimpin Overste Suhendro dan Overste Magenda, mereka diberangkatkan dalam dua gelombang ke basis Tanjung Pinang.
Untuk mengetahui pertahanan PRRI di sepanjang Sungai Siak dan Pekanbaru, M. Taher dan Hasyim dikirim ke Pekanbaru untuk mengambil laporan dan harus kembali sebelum 8 Maret 1958.
Langkah pertama pemerintah RI dalam merencanakan operasi militer di daerah Riau adalah menduduki Pekanbaru dengan cara menguasai jalan Dumai-Pekanbaru dan jalan Sungai Pakning-Pekanbaru. Pukul 7.30 pasukan payung yang terdiri dari RPKAD dan PGT AURI diterjunkan di lapangan terbang Pekanbaru. Pukul 12.00 lapangan terbang dapat digunakan untuk mendaratkan pesawat-pesawat dan tepat pukul satu siang Kota Pekanbaru dan pelabuhan dapat diduduki dengan aman. Pasukan PRRI satu batalyon menyerah tanpa perlawanan, ada yang melarikan diri dan membuang senjata.
SEIRING berjalan waktu, anak-anak H Yahya menikah dan tinggal di rumah masing-masing. Namun Razmah, anak kedua H Yahya, bersama suaminya, Muhammad Sech tetap menempati rumah H Yahya. Tak berapa lama, Razmah pindah rumah sehingga rumah H Yahya ditempati oleh anak keempatnya, Ramnah beserta suami H Ibrahim.
Di rumah tersebut, Ramnah dan H Ibrahim mengajar mengaji anak-anak sekitar kampung. Mereka juga mengajarkan menenun dan membuat songket. Ramnah juga menjadi Mak Andam, penghias pengganti pengantin saat pesta pernikahan. Terakhir, rumah tersebut ditempati Yusuf Ibrahim, anak Ramnah dan H Ibrahim.
Kini, kata Irfan, tak ada keluarga atau keturunan H Yahya yang tinggal di rumah tersebut. Rumah hanya dijadikan tempat belajar menenun. Dua mesin tenun serta benang pemintalnya memenuhi ruang depan rumah. “Saya sering-sering datang ke sini untuk lihat-lihat,†kata Irfan. Rumah Irfan hanya selemparan batu dari rumah H Yahya. #