IAÂ diam tak bergerak. Lebih lima puluh tahun berada di sana. Kondisinya kini memprihatinkan. Sebagian kepala telah terpotong. Bagian tubuh lain sudah lenyap. Panjangnya sekitar enam meter. Bagian kepala yang masih ada seluruhnya tertutupi lapisan karat, selalu kena hujan dan terjemur panas matahari.
Ia sebuah lokomotif, kepala kereta api. Ia teronggok di tengah kebun karet milik Hamzah warga Desa Lipat Kain, Kampar Kiri, Riau. Dari Kota Pekanbaru, Lipat Kain bisa ditempuh dalam 2 jam perjalanan menggunakan sepeda motor. Butuh 1,5 jam perjalanan lagi untuk sampai ke lokasi kepala lokomotif. Jaraknya sekitar tiga kilometer dari Simpang Lokomotif Desa Lipat Kain.
Jalur menuju kepala lokomotif tak beraspal. Jalannya penuh batu dan debu. Lokasi kepala lokomotif di dekat kebun, teronggok layaknya besi rongsokan, tak ada perawatan. Ia dikelilingi semak belukar, tanaman sawit dan karet.
PEMBANGUNANÂ rel kereta api pertama kali dicetuskan saat pemerintahan Belanda. Kala itu, diharapkan kereta api jadi salah satu transportasi pengangkutan beras, batu bara dan lainnya. Kereta api dipandang dapat menjadi penghubung Pantai Timur dan Pantai Barat Pulau Sumatera, dimulai dari Muaro Sijunjung, Sumatera Barat ke Pekanbaru, Riau. Ia melewati Desa Lipat Kain. Kepala lokomotif di Lipat Kain merupakan salah satu situs peninggalannya.
Portal berita riaudailyphoto.com yang mendokumentasikan situs-situs bersejarah di Riau dan tjahtjonorailway.blogspot.com milik Tjahjono Rahardjo menceritakan soal pembangunan rel kereta api Muaro Sijunjung-Pekanbaru.
Banyak kendala ditemui dalam pembuatan rel kereta api tersebut. Salah satunya kondisi alam Sumatera Barat banyak gunung, hutan dan sungai. Menimbang hal tersebut, akhirnya pemerintahan Belanda tidak jadi membuat rel kereta api. Rancangan pembangunannya tersimpan dalam arsip Nederlands-indische staatsspoorwegen  (Perusahaan Negara Kereta Api Hindia Belanda).
Pembangunan rel kereta api baru terealisasi saat pemerintahan Jepang tahun 1942. Meski rencana pembangunannya sama, dari Muaro Sijunjung ke Pekanbaru, namun Jepang punya tujuan berbeda. Rel kereta api tersebut hendak dijadikan jalur transportasi tentara Jepang guna menghindari serangan musuh di perairan Samudera Hindia. Tujuan utamanya mendukung usaha memenangkan perang Asia Timur Raya (Dai Toa Senso).
Jepang mengandalkan ribuan Romusha (pekerja paksa) untuk membuat rel kereta api. Beberapa merupakan warga sekitar, paling banyak didatangkan dari Pulau Jawa. Ada juga tawanan perang dari Belanda, Inggris dan Australia.
Buku Tragedi Pembangunan Rel Kereta Api: Muara Sijunjung–Pekanbaru 1943-1945 yang ditulis H M Syafei Abdullah mencatat setiap satu kilometer pembuatan rel kereta api menelan korban 1270 jiwa. Beberapa meninggal karena disiksa, badan kurus kering karena kurang makan.
Alat yang digunakan Romusha untuk bekerja hanya seadanya. Cangkul, parang, kapak dan alat sederhana lainnya. Tempat istirahat hanya bedeng beratap daun rumbia dan berlantai tanah. Beberapa bedeng tak berdinding sama sekali.
Bedeng mirip tempat pembuatan batu bata, lebar sekitar 6 meter dan panjang sekitar 25 atau 30 meter. Beberapa dibuat tingkat dua untuk menampung sekitar 250 hingga 500 kuli Romusha. Fasilitas dalam bedeng amat minim, hanya sepotong kain cukup menutupi tubuh bagian bawah.
Bedeng berada disepanjang jalur pengerjaan rel kereta api. Sekitar 600 bedeng didirikan. Di antaranya di Teratak Buluh, Muara Lembu, Kebun Lada, Tanjung Pauh, Kebun Durian, Sungai Pagar, Lipat Kain, Koto Baru, Petai, Logas, Lubuk Ambacang, Sungai Kuantan dan Muara Sijunjung.
Makan Romusha dijatah sebanyak tempurung kelapa atau cangkir penampung sadapan karet. Satu orang satu tempurung. Sebelum berangkat kerja, mereka diberi sepotong ubi rebus. Mereka dapat jatah makan lebih jika persediaan bubur sagu ada. Bila tak ada, menu sehari-hari mereka nasi dicampur ikan asin, terasi, kangkung atau minyak kelapa sawit.
Buku Tragedi Pembangunan Rel Kereta Api menceritakan detail bagaimana perlakuan yang diterima Romusha. Yang sakit tidak ada perawatan dan pegobatan. Siksaan akan diperoleh jika tertangkap saat hendak melarikan diri.
Syafei Abdullah pernah bertemu salah satu bekas Romusha bernama Usman. Ia bertugas di daerah Lubuk Ambacang untuk meruntuhkan bukit batu. Karena pekerjaannya amat berat, ia putuskan melarikan diri. Namun ia tertangkap. Akibatnya ia dipukul hingga tak bisa berdiri. Kepalanya dibenamkan di Sungai Batang Kuantan.
Pengerjaan rel kereta api selesai bertepatan dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu. Rel kereta api yang sudah jadi hanya digunakan sebagai jalur pengangkutan tawanan perang yang dibebaskan. Setelah itu, dibiarkan begitu saja. Hingga besi-besi tersebut diambil masyarakat dan dijual.
â€TAHUN 2000 lokomotifnya masih utuh. Tidak ada bagian yang dipotong,†ujar Hamlis, warga yang telah menetap dua belas tahun di sekitar lokomotif Desa Lipat Kain. Seingatnya, bagian lokomotif mulai hilang sekitar tahun 2002.
Menurut Sudirman yang sudah lebih lima puluh tahun tinggal di sekitar lokasi lokomotif tersebut, tahun 1960 kereta api masih lengkap dengan rel-relnya. “15 gerbong ada. Tapi memang sudah berhenti operasi,†katanya.
Penjualan rel dan gerbong kereta api, kata Sudirman, marak terjadi sekitar tahun 1975-1976. “Tak ada larangan dari pemerintah sampai kondisinya jadi seperti yang kalian lihat ini,†ujarnya. #