Perhutanan Sosial untuk Ketahanan Pangan: Apa Peluang dan Tantangannya?

Perkumpulan Elang mengadakan diskusi bertajuk Mengoptimalkan Perhutanan Sosial untuk Ketahanan Pangan: Peluang, Tantangan, dan Rekomendasi, pada Jumat (14/3). Kegiatan berlangsung di Kantor Perkumpulan Elang, Pekanbaru, Riau.

Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Apriyan Sagita bahas Aspek Regulasi dan Perlindungan Hukum dalam Pengelolaan Perhutanan Sosial untuk Ketahanan Pangan. Pada Pemerintahan Jokowi, terdapat Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2023 tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial. Namun, peraturan tersebut tidak secara gamblang membahas ketahanan pangan.

“Belum menemukan aturan khusus yang bahas tentang ketahanan pangan,” ujar Apriyan. 

Perencanaan terpadu adalah perencanaan yang disusun untuk mempercepat pengelolaan perhutanan sosial atau PS secara terintegrasi dan komprehensif antara kelembagaan serta pihak terkait. Perencanaan terpadu percepatan pengelolaan Perhutanan Sosial atau PS meliputi distribusi akses legal, pengembangan usaha PS, dan pendampingan.

“Pengelolaan PS melibatkan pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat,” ucapnya. Hal ini guna meningkatkan produktivitas areal perhutanan sosial melalui kegiatan wanatani, wana ternak, wanamina, wana tani ternak, dan ekowisata.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, salah satunya membahas Swasembada Pangan yang menjadi target Proyek Strategis Nasional. “Ternyata areal PS menjadi salah satu support Swasembada Pangan di Indonesia,” ucapnya.

Berdasarkan data PS nasional, luas wilayah perhutanan ini mencapai 8,3 juta hektar. Sedangkan wilayah Riau hanya mencapai 260 ribu hektar. Padahal menurut Apriyan, mungkin tidak sampai 10 persen dari total PS Riau merupakan kerja dari Pemerintah Provinsi Riau.

“Ini sangat menarik, kebijakan ketahanan pangan masuk ke areal perhutanan sosial. Sebelum ada kebijakan ini pun teman-teman PS Indonesia sudah melakukan praktik itu,” tambahnya.

Selama ini ada tiga praktik yang sudah diterapkan. Seperti agroforestri, silvopastura, dan silvofishery. Salah satu contohnya seperti Indragiri Hilir yang memiliki potensi pengelolaan kepiting. “Di Riau areal [PS] tidak banyak dan yang berhasil pun belum,” ujar Aprian.

Manager Kampanye dan Advokasi Perkumpulan Elang, Fachrul Adam bahas Peran Masyarakat dan Organisasi dalam Pengelolaan Perhutanan Sosial untuk Ketahanan Pangan. Selama ini mereka mendorong akses dan hak kelola masyarakat. Sehingga masyarakat mendapatkan izin perhutanan sosial dan punya hak legal mengelola hutan secara lestari.

Hingga kini sudah ada empat surat keputusan (SK) dan enam usulan dengan luas total 26.035 hektar. Menurut Adam, ketahanan pangan menjadi topik urgensi karena beberapa hal. Seperti menjawab ancaman krisis pangan atas perubahan iklim, degradasi lahan, dan deforestasi yang mengancam produksi pangan.

Ketahanan pangan juga menjadi tempat pemanfaatan lahan hutan secara berkelanjutan. Rata-rata masyarakat sekitar hutan bergantung pada sumber daya alam, namun tidak punya akses legal yang jelas. Ketahanan pangan juga meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, tidak hanya tentang ketersediaan makanan tapi juga akses ekonomi.

”Dengan adanya perhutanan sosial, masyarakat dapat mengembangkan usaha berbasis hasil hutan seperti madu hutan, tanaman pangan, dan komoditas bernilai tinggi seperti aren dan kopi,” jelas Adam.

Pada potensi areal PS guna mendukung ketahanan pangan, total persetujuan lahan pada Agustus 2024 seluas 8.018.575,04 hektar. Lalu lahan yang fokus pada pangan seluas 1.942.426 hektar.

Perhutanan Sosial secara lapangan memiliki beberapa tantangan seperti  pengelola Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) belum siap, lalu tumpang tindih Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dengan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS).

“Ketiga ada keterbatasan akses modal dan pasar. Sulitnya permodalan dan akses ke pasar bagi produk hasil perhutanan sosial,” ujar Adam. Tantangan yang lain seperti akses perhutanan sosial yang jauh dari pemukiman masyarakat dan alokasi untuk pangan yang belum diketahui.

Penyuluh Kehutanan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera, Fellizka Rezmiaty mengatakan terdapat 162 Kelompok Perhutanan Sosial (KPS) dengan total 172371,81 hektar dan 30.932 Kemitraan Kehutanan (KK) di Riau. Total KUPS yang terdata pada GO KUPS ada 80 dengan beberapa jenis komoditas seperti alpukat, aren, rebung, jengkol, madu, kopi robusta, nanas, udang, nipah, bambu, eukaliptus, dan sagu. 

“Tantangan ketahanan pangan terdapat pada kesiapan dan komitmen KPS, lokasi areal perhutanan sosial yang sesuai kriteria, serta faktor alam,” ucapnya.

Fellizka bilang perlu ada sosialisasi kepada pemegang persetujuan dari kegiatan ketahanan pangan. “Kita memang harus bekerja sama antar instansi pemerintah, masyarakat, dan NGO [Non-Governmental Organization],” ucapnya. Sehingga ada peningkatan kapasitas pemegang persetujuan kegiatan pertahanan pangan, baik dari kelembagaan maupun kelola kawasan dan usaha.

Akademisi Universitas Riau, Ashaludin Jalil mengatakan Riau memiliki karakteristik dengan sagu. Awalnya sawit tidak diterima oleh masyarakat, namun hingga dipegang oleh inflasi kekuasaan baru lahan ada kebun sawit.

“Sawit inilah yang merusak Riau,” ujarnya. Ketahanan sosial baru muncul ketika sawit sudah berkembang. Dia mengatakan sebanyak empat ribu hektar wilayah hutan diganti menjadi sawit.

Penulis: Najha Nabilla
Editor: Fitriana Anggraini