BERJALAN kaki selama empatpuluh lima menit ke sekolah sudah jadi hal biasa bagi Syafrani. Pasalnya hanya Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Bagansiapiapi jadi tempat terdekat baginya untuk menuntut ilmu. Kelelahan berjalan kaki tak surutkan semangat belajarnya. Selama tiga tahun Syafrani selalu jadi jawara kelas.
Selesai dari SMP Negeri 1, Syafrani dihadapkan pada kondisi sulit. Ekonomi menjerat leher keluarga. Ia pun dipaksa ambil keputusan untuk hijrah ke Pekanbaru. “Saya ikut abang di sana,†katanya.
Selama di SMP Syafrani juga mulai mengasah kemampuannya di bidang olahraga. Mulai dari basket, voli hingga sepak bola. Namun di Kelas dua ia mulai fokus pada olahraga sepak bola. “Walapun masih SMP, kalau tanding bola lawannya klub dari Bagan,†ujar Syafrani.
Dalam olahraga, sportifitas pemain hal penting bagi Syafrani. “Kalah turnamen tak masalah. Yang penting sportif. Akhirnya kami hanya dapat juara tiga,†ujar ayah tiga anak ini.
Bagansiapiapi Rokan Hilir merupakan tempat kelahiran Syafrani. Ia lahir pada 24 Oktober 1958 dari pasangan Menthol Budin dan Ra’no. Keadaan ekonomi yang tergolong susah menuntut Syafrani kecil harus bekerja keras membantu keluarga. Selama enam bulan dalam setahun, Syafrani hidup bersama saudara kandungnya tanpa orang tua mereka.
“Setiap enam bulan sekali orang tua buka ladang di Bantaian—setengah jam menggunakan sepeda motor dari Kota Bagan. Enam bulan lagi jadi buruh di Bagan,†jelas Syafrani. Selama setengah tahun itu orangtua Syafrani menanam padi dan berladang. Jika libur sekolah, ia dan saudara akan pergi ke Bantaian bantu orangtua. “Cari kayu bakar misalnya,†kenangnya.
PILIHAN untuk pindah ke Pekanbaru setelah tamat SMP mengantarkan Syafrani ke Sekolah Menengah Farmasi (SMF). Saat itu tahun 1975, sekolahnya berada di daerah Gobah, tepat di belakang kampus Universitas Riau.
Selama di Pekanbaru, Syafrani tinggal bersama abangnya Amsirmar di daerah Setia Budi. “Dari rumah naik angkot atau pakai sepeda,†ia jelaskan solusi atasi masalah jarak ke SMF.
Gelar jawara kelas saat di SMP tak bisa lagi diraihnya di SMF. “Persaingan antar siswa sangat kuat. Semuanya ingin jadi yang terbaik,†ujarnya. Namun Syafrani bisa lulus sekolah dalam tiga tahun.
Kemudian Syafrani ikut Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada 1978. Ia memilih Jurusan Kimia Universitas Riau dan berhasil meraih gelar Sarjana Muda (Diploma). “Sebenarnya saya mau lanjut di Farmasi juga, tapi sayangnya cuma ada di Padang,†kenangnya. Mau ke Padang Syafrani tak punya biaya.
Semester pertama kuliah, Syafrani masih tinggal dengan Amsirmar, abangnya. Pada semester-semester selanjutnya ia terpaksa tinggal sendiri karena Amsirmar dipindah tugaskan ke Selat Panjang—kini ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti. Kondisi ini membuat Syafrani harus kerja keras biayai kehidupannya di Pekanbaru.
Berbekal keterampilan sekolah farmasi, ia melamar kerja di Apotek Kardina—Apotek Kartika kini— di Jalan Ahmad Yani. Ia bisa bekerja di apotek tersebut berkat bantuan Dasni Syafril, dosennya yang juga seorang apoteker.
Sejak saat itu pula rutinitas Syafrani berkutat antara kuliah dan kerja. “Pagi kuliah, pukul enam sore sampai malam kerja. Apoteknya 24 jam,†ujar Syafrani. Selesai kerja, ia tidur di kantor dan paginya baru ke kampus. “Berkat pekerjaan ini saya bisa bayar uang semester sendiri,†tambahnya.
Syafrani dituntut untuk pandai membagi waktu antara kuliah dan kerja bila ingin prestasinya tak tertanggu. Dan ia berhasil. Saat wisuda Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) Syafrani 3. “Selama kuliah saya juga aktif di Senat Mahasiswa,†ujar pria yang menjabat Bendahara Senat Mahasiswa selama dua periode. Namun ia akui tak begitu akfif di organisasi kampus karena kesibukan bekerja.
Perjalanan pendidikan Syafrani terbilang mulus. Enam bulan setelah raih Diploma pada 1981, ia lanjutkan kuliah ke jenjang Strata 1. Selang 4 tahun kemudian ia pun raih gelar Sarjana. “Prinsip saya harus lebih berhasil dari teman. Jika mereka bisa, kenapa saya tidak.â€
GELAR Sarjana sudah di tangan, Syafrani pun mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Lancang Kuning (Unilak) sebagai asisten Drs Akmal Mukhtar, Dosen FMIPA UR selama tiga tahun. Syafrani ikut tes PNS di Medan Sumatera Utara pada 1988. Di saat yang sama, ia juga ikut tes dari Dinas Pendidikan Proponsi Riau. Ia lulus di kedua tes tersebut.
“Tapi SK dari Dinas Pendidikan duluan keluar,†ujarnya. Namun saat pengumuman jadi dosen kopertis wilayah 10, SK Syafrani ditahan. Akhirnya ia putuskan tetap jadi dosen di Unilak Fakultas Pertanian.
Dari sisi keilmuan, menurutnya juga tak terlalu menyimpang dengan apa yang dipelajarinya di bangku kuliah. “Sama-sama eksak dan ada komponen kimianya juga,†tambah pria yang bercita-cita menjadi ustad ini. Meski sudah jadi dosen, Syafrani tetap juga bekerja di Apotek. “Ngajar dari pagi, siang sampai malam saya kerja,†katanya.
Tahun 1992 Syafrani dapat beasiswa program Pasca Sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia ambil Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. “Masalah lingkungan masih berkaitan dengan kimia,†alasannya.
Ia selesai dua tahun kemudian dan dipercaya Drs H Bakhir Ali, Rektor Unilak saat itu, untuk buka Fakultas Kehutanan di Unilak. “Saat di IPB, pembimbing saya Syafii Manan MSc anjurkan saya buka Fakultas Kehutanan di Unilak,†jelas Syafrani. Saat itu memang belum ada Fakultas Kehutanan di Pulau Sumatera. Melalui pembinaan dari IPB, tahun 1997 Unilak dapat izin bentuk Fakultas Kehutanan.
“Drs Subagio, Ir Hamdani dan saya tergabung dalam tim pembentukan Fakultas Kehutanan itu,†katanya. Syafrani diminta jadi Dekan tapi ia menyatakan tak sanggup. “Saya masih muda golongannya, belum berpengalaman,†jelas Syafrani. Maka Ir Hamdani ditunjuk sebagai Dekan. Karena sebelumnya Syafrani sempat jadi Pembantu Dekan I bagian akademis di Fakultas Pertanian, di Fakultas Kehutanan yang ia bentuk pun jabatan itu dipercayakan kepadanya.
Dua tahun berselang tampuk Rektor Unilak berganti. Pada 1999 Prof Dr Irwan Effendi jadi pimpinan Unilak. “Saya dimintanya jadi PR II bagian keuangan dan administrasi,†ujar Syafrani. Kala itu ia dipercaya karena miliki kemampuan sebagai pengelola keuangan saat jadi bendahara di Senat Mahasiswa.
Empat tahun kemudian Syafrani dapat peluang beasiswa Caltex—Kini Chevron Pasific Indonesia (CPI)—untuk S3 di IPB. Jabatan Pembantu Rekor II dilepasnya. Ia selesai 2007. Rektor Unilak kala itu masih Irwan Effendi. Lagi-lagi Syafrani dipercaya menjadi Ketua Pengelola Badan Penjaminan Mutu Unilak. “Itu merupakan lembaga pertama yang saya pimpin,†kata suami Ir Teten Suparmi M.Si, Pembantu Dekan II Faperika UR.
Saat pemilihan Rektor baru pada 2008, Syafrani turut mencalonkan diri bersama Dr Sudipahmi SH. Tapi ia harus menelan kekalahan dengan perbandingan suara: 22 banding 9. “Sudipahmi memberi kepercayaan kepada saya sebagai PR I bagian akademis,†katanya.
Tapi Syafrani tak menyerah. Empat tahun kemudian ia kembali mencoba dan terpilih menjadi Rektor. Perbandingan suara: 10 banding 13 dari Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak, Junaidi SSi Mhum.
Tepat pada hari Sumpah Pemuda tahun 2011 menjadi hari bersejarah bagi Prof Dr Syafrani M.Si. Ia dilantik jadi Rektor Universitas Lancang Kuning masa bakti 2011-2015.
MESKI bukan lagi mahasiswa, Syafrani masih berperan sebagai Bapak Mahasiswa. Ia selalu dimintai saran dan masukan oleh Himpunan Pelajar Mahasiswa Rokan Hilir. “Sejak zaman reformasi saya sudah mulai membina adik-adik mahasiswa ini,†katanya. Terutama saat ingin mengadakan aksi atau demo, “Mahasiswa sering bertanya dulu, agar tidak terjadi aksi anarkis.â€
Syafrani sebagai pimpinan universitas berharap dapat meningkatkan kualitas mahasiswa. “Majunya perguruan tinggi dilihat dari output mahasiswanya. Maka diperlukan peningkatan prestasi dan kemampuan dalam berbagai bidang,†ujarnya.
Ia jelaskan ada dua hal yang didapat dari kuliah. Hardskill dan softskill. Hardskill  merupakan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah. Sedangkan softskill merupakan cara berpikir, berkomunikasi, berkreasi dan berorganisasi. “Ini yang kita terapkan untuk pengembangan mahasiswa agar terus maju,†papar Syafrani. #