STOP nonton Metro Tv. Tanggal 25 November Pada HUT Metro tertulis pada spanduk biru seukuran bentangan badan. Spanduk itu ia genggam ke sisi badan dengan kedua tangannya.
Mengintari bundaran Hotel Indonesia atau HI gunakan mantel hujan merah dan masker hijau. Tanda silang merah hiasi masker. Hujan turun dan menggenangi badan jalan tak ia pedulikan. Alunan pianika menemaninya ajukan aksi protes atas peristiwa yang ia alami. Ia adalah Luviana.
Cuplikan adegan diatas terlihat pada film dokumenter Di Balik Frekuensi karya Ucu Agustin. Film ini ceritakan dua peristiwa terkait kekuasaan media di Indonesia. Mulai dari pemanfaatan frekuensi publik untuk kepentingan politik hingga antikritiknya manajemen media. Tak segan-segan, bagi yang mengkritik newsroom pun harus bersiap di’istirahatkan’ dari pekerjaan di media tersebut.
Juga dijelaskan terjadi Konglomerasi Media. Dimana konsentrasi kepemilikan media terpusat dikuasai segelintir kelompok. Ini jadi fenomena di Indonesia. Dalam cuplikan film di jelaskan pertumbuhan media di Indo-nesia saat ini.
Ada 1248 stasiun radio, sekitar 1706 media cetak dan 76 stasiun televisi telah menyentuh lapisan masyarakat. Dan yang menunjukkan perkembangan signifikan sekitar 176 stasiun televisi tengah ajukan izin siaran. Bagaimana dengan media online? Sudah tercipta beribu portal online dengan berbagai nama yang juga dijadikan referensi bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Yanuar Nugroho, peneliti senior bidang Inovasi dan Perubahan Sosial di Manches-ter University kritisi soal kebebasan di Indonesia setelah lihat perkembangan media saat ini. “Apa kita benar- benar bebas? Benar bahwa media kita banyak dan beragam. Bebas memilih mana yang hendak dilihat. Tapi mari berpikir sejenak dan merefleksi. Media memang banyak, tapi pemiliknya ya itu-itu saja,†ujarnya dalam film DBF.
Luviana, kerja di Metro Tv sejak 2002 hingga di’istirahatkan’ pada 2012. Awali karir sebagai reporter dan lima tahun kemudian dipercaya sebagai Asisten Produser. Dari awal ia bersikap kritis soal pemberitaan di Metro Tv. Kritik ke manajemenpun dilakukan.
Puncaknya pertengahan 2011. Ia beserta rekan-rekan buat mosi tidak percaya ke manajemen Metro Tv. Tepatnya 12 Agustus mereka ajukan tuntutan. Akibatnya, perempuan yang akrab disapa Luvi ini dipindahkan dari newsroom ke Human Research Development atau HRD Metro Tv. Tak terima, ia bersikukuh kembali bekerja di newsroom. Perjuangan panjang dialami Luvi sampai adakan pertemuan dengan pemilik Metro Tv, Surya Paloh.
Perjalanan perjuangkan haknya ini terangkum dalam film DBF.Film ini diputar pada acara Bedah Film di audito-rium Sutan Balia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univer-sitas Riau atau FISIP UR. Ditaja Himpunan Mahasiswa Komunikasi, Aliansi Jurnalis Independen Kota Pekanbaru dan Alumni Narasi Sumatera Kelompok Kerja Riau. Turut hadir Luviana dan Ilham Yasir dari AJI Pekanbaru sebagai pembicara. Setelah acara tersebut kru Bahana Nurul Fitria berbincang dengan Luvi membahas kondisi media dan pekerjanya. Berikut petikan perbincangan tersebut:
Tanggapan tentang konglomerasi media?
Ini menjelaskan kepemilikan media terpusat. Seorang pemilik media seharusnya hanya memiliki satu media di satu daerah. Kenyataannya sekarang, satu orang itu bisa memiliki beberapa media bahkan masih dalam satu daerah. Contohnya Hary Tanoe bisa punya RCTI, Global TV, MNC TV dan Sindo radio. Chairul Tanjung juga punya Trans7 dan Trans Tv, Aburizal Bakrie punya TVOne dan antv.
Fenomena sekarang, pemilik media juga terjun dalam politik. Seharusnya itu tidak boleh. Akibatnya media bukan lagi menjadi pemberi informasi berimbang, tapi jadi tempat kampanye partai politik. Partai si pemilik media akan dipromosikan di medianya sendiri. Ini jadi konglomerasi media.
Akibatnya?
Media sebagai sumber informasi jika dimiliki oleh beberapa orang saja sebabkan informasi tak beragam. Kita kan perlu keberagaman pemilik media dan keberagaman siaran. Makin beragam media dan pemiliknya maka makin banyak informasi yang diperoleh.
Alternatif apa yang bisa dilakukan masyarakat?
Sekarang ruang sudah terbuka. Warga bisa mendapatkan berita dan informasi tidak hanya dari media mainstream. Sudah ada jurnalisme warga dan sosial media. Semuanya juga bisa menyampaikan informasi lewat blog dan lainnya. Beda dengan orde baru dulu, semuanya serba tertutup. Yang perlu diperkuat adalah masyarakat yang berada diluar lingkaran media main-stream memperkokoh kedudukannya.
Ini Terkait perjalanan Luvi, bagaimana kontribusi dan sikap Luvi di Metro?
Aku gabung di Metro tahun 2002 jadi reporter. Sekitar 2007 dipercaya jadi Asisten Produser. Gabung di Metro, dari awal aku termasuk kritis terhadap manajemen dan siaran, bisa dilihat dari tulisan-tulisanku. Aku pernah ikut di program Kick Andy, 8-11 Show juga Metro Siang. Tapi namanya orang di belakang layar ya nggak banyak yang tahu. Intinya, kontribusiku membuat program lebih baik di Metro.
Kenapa sampai buat mosi tidak percaya pada manajemen?
Itu sekitar 2008 kita buat gerakan. Mulai terlihat beberapa kejanggalan. Mulai dari liputannya banyak yang ada Surya Palohnya, mulai kritisi pemberitaan. Aku 2007 diangkat jadi Asisten Produser, baru tahu manajemennya kacau banget disana. Nggak ada penilaian tertulis kinerja kawan-kawan. Nggak jelas dasar penilaian bagaimana. Ini terkait dengan pemberian bonus atau peningkatan jabatan Akibatnya me-dia bukan lagi menjadi pemberi informasi berimbang, tapi jadi tempat kampanye partai politik
Soal pembagian bonus, karena penilaian nggak jelas ini banyak dampaknya. Ada yang nggak dapat sama sekali atau dapat 6x lebih banyak. Ketika ditanya kenapa si anu dapat bonus lebih banyak? Apa dasar penilaiannya? Jawabannya ya nggak ada. Semua penilaian subjektif.
Masalah lainnya soal gaji kawan- kawan. Kita punya tenaga kerja outsourching—pekerja yang tak berhubungan langsung dengan perusahaan tempat bekerja, tapi melalui perusahaan perantara untuk mengatur perjanjian—gajinya nggak naik- naik. Segitu-gitu aja. Trus soal pekerja kontrak tapi udah berjalan bertahun- tahun. Banyak tidak jelas statusnya. Puncaknya tahun 2011 kita buat mosi tidak percaya kepada manajemen.
Usaha lain yang dilakukan untuk bahas persoalan ini bagaimana?
Kita coba untuk bicara dengan manajemen. Nah kalau mau ketemu manajer itu, susahnya minta ampun. Dikirim surat formal, sampai tiga bulan nggak dibalas. Kalau protes atau nanya, siap-siap dipecat. Jadi orang takut bersuara karena nggak mau dipecat. Aku pernah protes soal program berbayar advertorial yang harusnya diberi tanda supaya orang tahu. Kenyataannya itu jadi catatan merah buatku. Jadi berpikir kalau ada serikat pekerja ini jadi lebih mudah diselesaikan.
Seberapa penting adanya serikat pekerja di suatu media?
Serikat pekerja itu penting banget dan diatur dalam Undang- Undang Nomor 13 Tentang Ketenagakerjaan. Dengan adanya serikat pekerja, kita jadi punya tempat untuk duduk bareng dengan pemilik media atau manajemen media. Jadi bisa berunding. Apa yang pekerja dan pihak manajemen mau. Kita juga bisa memberi kritik dan pihak manajemen bisa mendengarkan karena adanya wadah ini.
Misalnya ada pekerja udah kerja bertahun-tahun tapi belum juga diangkat, terus belum dapat asuransi kesehatan atau gajinya kecil. Nah itu bisa kita bicarakan. Jadi ada mediatornya. Biasanya harus ada Perjanjian Kerja Bersama atau PKB. Ini dibuat keduabelah pihak. Jadi serikat pekerja itu wadah, PKB ini landasannya. Bisa duduk bareng, terus bisa mengkritik manajemen, karena itu halal. Bisa meminta kenaikan gaji yang sesuai dengan kinerja karena itu hak. Meminta asuransi itu halal karena itu merupakan kewajiban perusahaan terhadap buruhnya. Semuanya jadi terakomodir karena diatur dalam klausul di undang-undang.
Realisasinya?
Kenyataannya saat ini susah. Belum ada yang seperti itu. Manajemen itu anti kritik, susah ditemui. Jadi kaya take or leave it. Keputusannya ini, kalau kamu mau ambil, kalau nggak mau silakan pergi. Saat ini yang punya PKB hanya dua media. Pertama Tempo, kedua kantor berita radio KBR 68H. Semuanya di Jakarta.
Ini membuktikan kondisi perkerja media itu masih riskan banget di depan manajemen media. Nggak punya kekuatan untuk bertemu, berunding ataupun membuat PKB.
Soal mosi tidak percaya, apa saja tuntutan yang diajukan?
Pertama kita minta adanya reformasi manajemen redaksi, lalu meminta adanya organisasi serikat pekerja, memperhatikan kesejahteraan karyawan terus soal memperjelas status karyawan.
Perkembangannya sekarang?
Keberhasilan tuntutan ini terjadinya reformasi manajemen. Pemimpin redaksinya diganti dan Wapemrednya diminta mundur karena dianggap tidak becus. Selain itu, Redaktur Pelaksananya dipindah kebagian Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dan satunya ke bagian iklan karena dianggap tidak kompeten.
Tuntutan lainnya yang ditanggapi soal kawan-kawan yang sudah 6 bulan bekerja kontrak juga pada diangkat jadi karyawan tetap. Pekerja outsourching juga diminta mundur dulu 3 bulan, setelah itu baru dipanggil dan diangkat jadi karyawan.
Harapannya kedepan?
Pertama menuntaskan kasusku, kedua bersama kawan-kawan AJI menyusun RUU independensi ruang redaksi. Selain itu kita menggugat frekuensi publik, jangan lagi pemilik media melakukan konglomerasi media. Saya juga berharap kawan-kawan di media punya serikat atau organisasi. Karena pada zaman Suharto terjadi pembunuhan organisasi yang kejam dan kini masih juga terjadi.
Mirisnya ketika kita berbicara kepada kawan- kawan media yang mengerti politik, ekonomi dan hukum, diajak berorganisasi mereka malah takut. Beda dengan buruh pabrik memperjuangkan upah layaknya harus melalui perjalanan panjang sampai ke pengadilan.
Jangan sampai karena masalah ekonomi malah menghilangkan kekritisan. Miris saat melihat ada yang kehilangan kekritisan kehilangan kekritisan karena ekonomi minim. Alasannya ntar di pecat susah. Tapi ada juga orang karena minimnya ekonomi justru tambah kritis untuk memperjuangkannya.#