Pengakuan dari ‘Selembar Kertas’

Berbagai upaya dilakukan Dafit Marpaung perjuangkan agar kelompok paduan suara yang ia latih dapat jadi salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa di Universitas Riau. Pembinanya, Arza Aibonotika dan Morina Siregar pun berusaha bicara dengan petinggi UR. “Kegiatan ini bermanfaat namun belum dapat legalitas,” sesal Arza.

Untuk jadi salah satu UKM di UR, Dafit harus ajukan usulan pembentukan ke Badan Legislatif Mahasiswa atau BLM UR. Tindak lanjutnya, BLM akan adakan uji kelayakan dengan lihat apa saja kegiatan serta rutinitas yang dilakukan dan bagaimana struktur anggota. Barulah legalitas pembentukan akan diputuskan saat Kongres Mahasiswa berlangsung, dihadiri Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM, UKM serta mahasiswa UR.

Oktober 2011 lalu Dafit konsultasi dengan pihak BLM dan disarankan buat proposal berisi latar belakang pembentukan serta pendukung dibentuknya UKM tersebut. “Nanti ajukan saja ke PR 3 dan ditinjau,” ujar Dafit meniru ucapan dari pihak BLM.

Saat Bahana konfirmasi ke pihak BLM, ternyata proposal belum diterima. “Setahu saya nggak ada,” ujar Muhammad Rokhim, selaku pengurus BLM saat itu.

April 2013 Dafit buat proposal. Ditujukan ke Rektor UR. “Saya serahkan ke asistennya, karena beliau tak ada di tempat,” jelas Dafit.

Sampai kini kelompok paduan suara masih menanti keputusan. Bisakah mereka menjadi salah satu UKM dan dapatkan legalitas dari pimpinan rektorat. “Kami mengharapkan Surat Keputusan keluar dan BWS bisa jadi UKM,” harap Fitria, anggota kelompok ini.

Kelompok paduan suara yang telah berdiri sejak 1 Mei 2011 bertempat di gedung kuliah Bahasa Jepang ini awalnya bernama Paduan Suara Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau disingkat Paduan Suara

FKIP Unri. Namun karena kurangnya anggota dari mahasiswa FKIP, kelompok ini melebur dan menerima anggota dari luar FKIP. Nama pun berubah. Simponica Choir dipilih. Karena terlalu umum, ditambahkan kata Unri di belakang nama. Perubahan kembali terjadi saat Unri berubah nama jadi UR. Berdasarkan kesepakatan bersama anggota, nama Bina Widya Simponica Choir pun dipilih. Bina Widya merupakan nama jalan tempat kampus UR berada.

Anggota saat kelompok ini dibentuk hanya tujuh orang. Adakan seleksi di FKIP, bertambah jadi duapuluh. Setelah melebur, BWS buat perekrutan saat Dies Natalis UR dan tercatat telah ada enampuluh anggota berasal dari berbagai fakultas di UR.

“Kita sudah mencukupi syarat minimal dari paduan suara yaitu 40 orang,” jelas Dafit. Dua tahun berdiri, BWS bukanlah minim pengalaman. Kerap kali mereka diundang isi acara baik dari dalam maupun luar UR. Beberapa penampilan yang dapat disaksikan saat diadakannya wisuda di UR.

Selain itu, saat acara Dies Natalis ataupun Pelantikan Guru Besar juga terlihat sekelompok mahasiswa ini menyanyikan lagu nasional, daerah ataupun internasional.

Dari luar UR, BWS kerap dapat undangan mengisi event seperti acara Musyawarah Nasional Partai Demokrat 19 Mei lalu. Penampilan mereka disaksikan langsung Anas Urbaningrum dan Edi Baskoro Yudhoyono. “Mereka bersorak supaya kami menyanyikan lagu daerah lainnya,” kenang Dafit bangga.

Selain itu BWS juga tampil dalam acara Diskusi Migas yang ditaja BEM UR kerjasama dengan Pertamina serta acara Konferensi Real Estate Indonesia (REI).

Dalam hal perlombaan, ukiran prestasi menakjubkan sekaligus mengherankan juga berhasil diraih BWS saat Rektor Cup. Mereka berhasil menyabet juara 1,2 dan 3 dari perlombaan itu. “Kita juga bingung kenapa kita semua yang dapat,” ujar Dafit.

Dalam penampilannya, BWS kerap menampilkan lagu nasional, internasional dan melayu. Demi tak kecewakan pihak yang mengundang, BWSpun minta pihak penyelenggara untuk menyaksikan mereka saat latihan.

Kini mereka bersiap menorehkan pestasi di tingkat internasional dengan ikuti perlombaan di Thailand. Dengan menyiapkan dua konsep yang akan mereka tunjukkan, Mix Choir untuk lagu bebas dan Folklore untuk lagu daerah. Segala konsep serta teknis penampilan disiapkan. Tak lupa setiap Jumat Sabtu mereka berlatih.

Bws berharap dapat perhatian universitas. “Kalau diingat kejadian menyedihkan, saya pernah menangis karena diusir saat latihan di ruang kuliah FKIP Bahasa Indonesia,” kenang Dafit. Hal paling penting yang ia dan teman-temannya perjuangkan adalah mendapatkan sarana dan prasarana untuk kelompok yang ia latih.

Meily, salah satu pelatih BWS pernah mengajukan proposal untuk dapatkan bantuan dana. “Ini untuk dapatkan ruangan latihan jelang ikut lomba di Thailand,” ujarnya.

Pihak rektorat pernah berikan usulan untuk gunakan ruangan di lantai 1 gedung rektorat. Namun BWS melihat ruangan tersebut tak terlalu kondusif dengan jumlah anggota yang banyak. Kesusahan penuhi peralatan penunjang latihan pun diakui Meily. “Kita perlu alat musik seperti microphone, kondensor, sound system bahkan untuk meminjam organ tunggal ke rektorat juga agak sulit,” aku Meily.

Hasilnya, berpindah tempat untuk latihanpun dilakoni BWS. “Bisa jadi jadwal latihan molor karena harus cari tempat yang kondusif,” jelas Dafit. Ia mengusahakan agar konsentrasi anggota BWS tak terpecah karena suasana yang berisik atau kepanasan dan sibuk mengipas diri sendiri.

Johan, salah satu anggota BWS mengaku sangat senang bergabung di kelompok ini. “Teman- temannya asyik,” ujarnya. Dengan menerapkan sistem latihan yang baik sehingga dapat bermanfaat bagi seluruh anggota.

“Kita butuh realisasi dengan sepucuk kertas dari rektorat yang melegalkan kita jadi UKM dan bisa jadi tempat mahasiswanya berkarya,” ucap Dafit.#