LIPUTAN investigasi bukanlah hal mudah. Ketika mendengar kata investigasi yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti penyelidikan bertujuan untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan. Untuk peroleh jawaban benar, tentu peroleh data valid, analisis serta crosscheck yang teliti harus dilakukan.

Di Indonesia sudah ada beberapa liputan investigasi bagus, diantaranya karya Bondan Winarno, Bre-X Sebungkah Emas di Kaki Pelangi. Hasil investigasinya terkait skandal

tambang emas di Busang, Kalimantan pada 1997. Sampai saat ini masih ada satu masalah yang tak terjawab soal kematian Michael De Guzman—Geolog Filipina yang mengatakan Busang tambang emas terbaik dunia— dari bukunya. Bondan menyimpulkan kematian De Guzman palsu.

Enambelas tahun kemudian, lahir pula satu liputan investigasi yang menguak bagaimana kejahatan sebuah perusahaan dalam memanipulasi pajak. Asian Agri, perusahaan bergerak di perkebunan kelapa sawit milik Sukanto Tanoto mengemplang pajak dan merugikan negara hingga Rp 2 triliun. Liputan ini dihasilkan dari keteguhan dan kerja keras Metta Dharmasaputra dalam menelusuri dan menggali lebih dalam soal kasus perpajakan ini. Perjalanannya diabadikan dalam buku Saksi Kunci terbit pada Oktober 2013.

Metta Dharmasaputra ketika melakukan liputan tersebut masih bekerja sebagai wartawan TEMPO, media nasional berkedudukan di Jakarta. Kini, ia bekerja di KATADATA, media dengan fokus menyajikan jurnalistik dan analisis ekonomi dan bisnis. Ia menyajikan analisis yang berat dengan bahasa yang mudah dipahami dengan keahlian menulisnya.

Pada 22 Desember 2013 dilakukanlah diskusi terkait buku Saksi Kuncinya di Hotel Pangeran, Pekanbaru. Dalam diskusi ini ia banyak bercerita bagaimana peliputan investigasi yang ia alami serta membagi pengalamannya selama menjadi wartawan ke peserta yang hadir. Dimana peserta didominasi oleh para wartawan serta jurnalis muda dari lembaga pers mahasiswa perguruan tinggi di Riau.

Pada kesempatan itu, kru Bahana Mahasiswa Nurul Fitria dan Trinata Pardede berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan lelaki yang memiliki basic ilmu ekonomi ini. Berikut petikannya:

Apa yang harus dilakukan pers mahasiswa agar dapat menguak sebuah kasus?

Penggalian isu yang mendalam diperlukan, lalu sajikan informasi itu secara komprehensif dan jernih, akurat dan mendalam. Ini agar pers tidak terjebak dalam statement dari narasumber. Pengungkapan sebuah kasus memerlukan keakuratan, jika terjebak dan tidak paham, maka ini bisa membahayakan. Sampaikanlah informasi itu sedekat mungkin dengan faktanya.

Triknya?

Tentunya diawal kita memiliki hipotesa sendiri, lalu bergerak mencari bukti dan membangun fakta-fakta. Kumpulkan dokumen-dokumen dan bahan riset yang ada. Wawancara narasumber terkait. Nah, karena pers mahasiswa, justru ini jadi lahan untuk dapat narasumber yang bagus. Sumber riset juga banyak di kampus.

Tapi perlu dicatat, diawal kita punya hipotesa sendiri, namun dalam prosesnya jangan sampai memaksakan hipotesa itu harus benar. Dari riset dan pengumpulan fakta secara teliti nantinya barulah dapat kesimpulan informasi yang harus dibagi ke publik.

Terkait narasumber, apa kriteria paling penting?

Paling utama ia kredibel terhadap kasus yang akan dibahas. Misalnya soal pajak, tentu narasumbernya harus paham soal perpajakan. Nah, seringkali jurnalis terjebak dan tidak mau capek mencari sumber kredibel. Jadi dia sudah dapat satu narasumber, itu terus yang dikejar.

Di Indonesia ini ada kecendrungan mengutip apa saja yang dikatakan narasumber. Kemudian ia diberi label pengamat. Padahal diluar negeri narasumber media itu detil sekali, tidak pernah disebut pengamat. Misalkan dia adalah doktor ekonomi di bidang perbankkan dari universitas X. Itu cukup dan jelas. Jadi yang di tonjolkan labelnya. Ini penting sehingga pembaca bisa mengukur, oh ini kredibel atau tidak. Tapi ketika media menyebut pengamat, itu sulit diukur kredibel atau tidak. Jadi kompetensi dia sangat penting dilihat oleh media ketika mengutip pernyataannya.

Selain itu narasumber yang paling dekat dengan peristiwa, melihat dan mengalami langsung. Jadi diupayakan sumber -sumber A1. Sumber-sumber yang paling dekat dengan kejadian dan sumber-sumber yang paling memahami persoalan. Seringkali media tidak cukup rajin untuk mencari sumber-sumber seperti itu.

Jika sumber A1 tak mau pernyataannya dikutip. Solusinya agar informasi tetap layak dikonsumsi publik?

Ini memang jadi dilema ketika menulis. Upaya pertama tetap mengusahakan bisa on the record—pernyataan dapat dikutip. Kalau begini informasi sangat layak. Jika tak bisa, minta ia memberikan background, jadi dapat gambaran informasi. Jika tidak mau juga dan meminta off the record—tidak dipublikasikan—jadikan ini sebagai tambahan pengetahuan saja.

Kalau sudah tidak on the record, kita harus segera cari narasumber lain. Minimal dapat saja dua narasumber mengatakan hal yang sama dan gali lebih dalam. Yang penting jangan terjebak dan disiplinlah soal penentuan narasumber.

Untuk riset sebagai dasar liputan, bagaimana kriterianya?

Riset ini seperti dasar sebuah bangunan. Pertama sekali tidak boleh berdasarkan statement orang, karena kita tidak tahu benar atau salahnya. Lalu akuratlah. Banyak wartawan menulis sebuah istilah namun tak tahu maknanya.

Tapi dasar bangunan yang lebih baik lagi harus didukung fakta-fakta yang terkadang muncul kemudian. Maka riset, fakta dan verifikasi sangat lekat. Dapat data, ujilah data tersebut. Jika ada statement, konfirmasi segera. Terpenuhinya ketiga hal terwebut menjadikan tulisan utuh, jika salah satu tak dilakukan ini bisa berbahaya.

Agar hasilkan tulisan utuh dan baik untuk publik, kiat-kiatnya?

Penulisan perlu ingat jangan sekali-kali menulis tanpa membuat outline. Buat kerangka tulisan yang diinginkan. Rumuskan fokus tulisan itu dalam satu kalimat pendek saja, jangan sampai satu paragfraf. Itu bisa jadi nggak jelas juga.

Misal kasus Asian Agri itu fokusnya apa sih? Nah saya fokus soal dugaan indikasi manipulasi pajak oleh Asian Agri dalam kurun waktu 2002- 2005. Sudah sependek itu saja. Jadi kita tidak lari kemana-mana. Kemarin ada pertanyaan kenapa saya tidak bahas perusahaan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang ada di Riau. Ketika saya masuk kesana, itu jadi nggak karuan nanti.

Banyak penulis terjebak, dia tidak menentukan fokus yang cukup tajam. Sebelum bisa merumuskan, jangan menulis. Jangan mereportase. Rumuskan dulu satu kalimat kemudian buat deskripsi singkat fokusnya kira-kira apa sih. Kalau belum bisa berarti risetnya kurang, riset lebih banyak lagi. Kalau tidak merumuskan ini, kita seperti masuk hutan tanpa bawa kompas. Mutar-mutar nyasar akhirnya terjun kejurang.

Apa pesan untuk pers mahasiswa dalam berkarya?

Ya, kalau saya tahu dunia mahasiswa adalah dunia akademis yang ilmiah. Harus dibedakan antara cara berpikir mahasiswa dengan non mahasiswa. Kelebihannya dalam mahasiswa adalah dia bergerak dengan bertahan dengan pemikiran rasional, cukup tenang menganalisis baru menuliskan. Itu yang sebenarnya harus dibangun. Tumpuan itu ada pada pers mahasiswa. Harus dibangun disiplin didalam pers kampus. Karena disiplin itu yang akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang bermutu.

Pers mahasiswa bisa berikan acuan terhadap isu-isu terkini. Kalau bisa itu jangan monoton dan tetap jujur pada fakta. Jadi karena itu kita harus menyampaikan kebenaran.#