RUU P2H: Kriminalisasi Masyarakat Adat

RANCANGAN Undang-undang Pemberantasan Perusakan Hutan, disingkat RUU P2H sedang dalam tahap pembahasan oleh Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Komisi ini membidangi pertanian dan kehutanan. Rancangan dibahas dalam Sidang Paripurna untuk ditentukan disahkan atau tidaknya. Melalui rancangan ini, Kementerian Kehutanan berharap ada dasar hukum untuk berantas illegal logging serta penebangan illegal.

Di tengah pembahasan, penolakan terhadap rancangan berdatangan. Salah satunya dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan, disingkat KMSKH. Menurutnya, rancangan ini memuat aturan-aturan yang mengkriminalisasi masyarakat sekitar hutan. Dikutip dari sawitwatch.or.id, ada ketentuan berisiko merugikan masyarakat.

Ketentuan tersebut ada dalam pasal 11 huruf a juncto Pasal 82. Dinyatakan jika terjadi penebangan di kawasan hutan tidak sesuai perizinan yang dilakukan orang di sekitar dan dalam kawasan maka dikenakan sanksi. Pidana penjara tiga bulan hingga sepuluh tahun serta denda hingga lima miliar rupiah.

Protes juga datang dari Sulawesi. Rahman Dako, aktivis lingkungan dari Sustainable Coastal Livelihoods and Management (Susclam) Teluk Tomini, katakan di Gorontalo masih banyak desa di kawasan hutan. Mereka mudah terjerat aturan ini jika disahkan.

Efri Anto, Ketua Badan Pelaksana Harian AMAN Riau
Efri Anto, Ketua Badan Pelaksana Harian AMAN Riau

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia biasa disebut Komnas HAM, meminta DPR RI menunda pembahasan RUU P2H sampai ada jaminan pemenuhan hak-hak masyarakat adat/lokal yang bergantung hidup dari hutan. Jangan sampai terjadi konflik lagi hingga masyarakat yang menjadi korban.

Pertanyaannya, apakah RUU P2H ini akan mengurangi atau menambah konflik? Akhir April Kru Bahana Mahasiswa Ahlul Fadli berbincang dengan Efri, Ketua Badan Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, disingkat AMAN Riau. Organisasi kemasyarakatan independen, dimana keanggotaannya terdiri dari komunitas masyarakat adat di Nusantara. AMAN mengadvokasi permasalahan terkait pelanggaran HAM, perampasan tanah adat, pelecehan budaya serta kebijakan yang berakibat pada kehidupan masyarakat adat. Berikut kutipannya.

 

Apa keuntungan adanya aturan ini?

Dibaca dari pasal-pasalnya, tentu seakan-akan memberantas pembalakan dan perusakan hutan. Namun substansinya rancu dan sarat dengan kriminalisasi.

 

Maksudnya?

Di Indonesia banyak masyarakat adat. Menurut data dari Dewan Kehutanan Nasional atau DKN dan Kementerian Kehutanan, sekitar 30 ribu desa di dalam kawasan atau sekitar hutan. Mereka hidup bergantung pada hasil hutan. Jika rancangan ini disahkan Komisi IV DPR RI, maka masyarakat sekitar hutan akan terancam dikriminalisasikan. Bagi masyarakat adat sendiri, hutan bukan hanya sumber pangan dan ekonomi, tapi ada keterikatan batin antara mereka dan hutan.

 

Kriminalisasi seperti apa?

Posisi masyarakat adat yang bermukim di sekitar atau dalam hutan sekitar 30 ribu desa. Mereka hidup dari hasil hutan. Jika aturan yang tidak berpihak kepada masyarakat adat disahkan, tentu mereka dikriminalisasi di kawasan mereka sendiri—lihat pasal 11 huruf a juncto pasal 82—masyarakat tak bisa mengambil hasil hutan, jika diambil tentu akan dikenakan sanksi. Dan akhirnya bisa saja menimbulkan konflik baik antar masyarakat ataupun pemerintah atau perusahaan.

 

Apa yang telah AMAN lakukan untuk membela hak masyarakat adat?

AMAN sudah melakukan judicial review terhadap UU 41 tahun 1999 ke Mahkamah Konstitusi. Permintaannya agar hutan adat diakui. Sampai saat ini persidangan telah selesai kita jalani, namun putusannya belum keluar.

Kita juga mendesak agar RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat segera disahkan. Aturan ini nantinya diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan sengketa hak masyarakat adat. Pasalnya selama ini pengakuan dan perlindungan hak adat hanya diakomodasi dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil.

Selain itu, pemetaan partisipatif wilayah adat juga kita lakukan. Pemetaan yang bertujuan untuk pengorganisasian dan memberdayakan masyarakat untuk menyelesaikan konflik dan melakukan advokasi baik tingkat daerah atau nasional.

Setelah adanya RUU P2H, kita langsung adakan hearing dengan DPR RI dan Komisi IV. AMAN Riau juga menolak adanya RUU ini dan menyampaikan kepada pemerintah melalui pertemuan-pertemuan dengan pihak terkait. Kita juga memberitakannya kepada Ketua Komisi IV melalui pesan elektronik.

 

Jika bukan RUU P2H, apalagi yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjaga hutan?

Pertama, pemerintah mencabut atau merevisi Undang-undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Sehingga hutan adat diakui dan dikelola masyarakat adat. Kedua reformasi agraria, penataan kembali penggunaan dan penguasaan agraria agar digunakan untuk kepentingan rakyat. Ketiga pemerintah dapat mengesahkan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Serta pemerintah memberi pengakuan utuh terhadap wilayah hutan adat. #