PINTU cokelat terbuka. Dua pria berjas keluar. Satu menenteng laptop, satunya memegang catatan. Menuju sofa hitam, mereka duduk. Yang membawa laptop segera sibuk dengan laptop. Pria satunya membuka lembar demi lembar catatan.
Mereka berdua adalah wartawan. Pria yang membawa laptop tersenyum sendiri dan mengajak pria satunya bicara. Diskusi seputar liputan pun berlangsung. Pria yang membawa catatan wartawan lapangan. Ia selalu meliput peristiwa langsung dari lapangan, untuk dapatkan kronologi dan narasumber langsung. Sedangkan wartawan satunya mengandalkan data dari internet.
“Dataku lebih akurat,†ujar pria membawa laptop.
“Dataku lebih akurat, aku langsung turun ke lapangan dan wawancara.â€
“Zaman sekarang masih turun ke lapangan? Teknologi sudah canggih. Tinggal browsing sana-sini, langsung dapat datanya,†tukasnya. Keadaan memanas. Masing-masing wartawan menganggap cara mereka mendapatkan data benar. Tak ada yang mau mengalah.
Muncul lagi masalah lain. Pria yang membawa catatan membahas tulisan rekannya tersebut.
“Kamu ini aneh sekali. Lihat tulisanmu. Apa-apaan ini? Bentrok? Sesat? Diislamkan? Penistaan agama? Tulisan kamu ini malah memperkeruh keadaan.â€
“Apa salahnya dengan tulisanku?â€
Perseteruan terus berlangsung hingga muncul seorang pria membawa buku Blur. Ia menenangkan kedua wartawan yang berselisih dan segera berjalan mendekati kain hitam yang menutupi sesuatu. Dengan sekali tarikan, terpampanglah hal yang ia anggap solusi untuk memecahkan permasalahan antara kedua wartawan.
Hasil Survei Yayasan Pantau dan Cipta Media Bersama: Persepsi Wartawan Mengenai Agama dan Launching Buku Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi.
RUANG Bedah Buku Lantai III Pustaka Wilayah Soeman Hs diisi beberapa orang kenakan kaos kuning dan biru. Kaos kuning dipakai 20 orang peserta workshop Narasi dan New Media yang dilaksanakan tiga hari sebelumnya. Sedangkan kaos biru dipakai panitia penyelenggara acara. Satu per satu orang masuk menempati kursi yang telah disediakan.
Hari ketiga bulan Februari merupakan penutup rangkaian acara workshop yang diadakan Forum Pers Mahasiswa  (FOPERSM4) Riau dan Narasi Sumatera Pokja Riau. FOPERSM4 merupakan forum yang menaungi seluruh pers mahasiswa perguruan tinggi di Riau. Sedangkan Narasi Sumatera Pokja Riau adalah forum bagi para alumni yang pernah ikut pelatihan narasi yang berdomisili di Pulau Sumatera.
Sebelum acara launching di Soeman Hs ini, panitia telah adakan workshop untuk anak muda yang tertarik belajar menulis dengan baik. Materinya seputar jurnalistik dan new media. Peserta yang hadir berasal dari Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau.
Acara pagi itu, launching hasil survei Yayasan Pantau kerjasama Cipta Media Bersama tentang persepsi wartawan mengenai agama serta launching Buku Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran Di Era Banjir Informasi.
Launching hasil survei Yayasan Pantau ini kali pertama dilakukan di Riau. Ia dilakukan di lima kota besar di Indonesia: Riau, Pontianak, Makasar, Kupang dan Jakarta. Untuk Buku Blur, Riau merupakan tempat pertama peluncuran di luar Pulau Jawa. Buku hasil kerjasama Dewan Pers dan Yayasan Pantau ini pertama kali diluncurkan di Jakarta, 27 Desember 2012.
Survei Persepsi Wartawan Mengenai Agama melibatkan 600 responden wartawan di 16 propinsi di Indonesia, salah satunya Riau. Pertanyaan-pertanyaan pada survei sebagian besar seputar isu kekerasan terhadap minoritas serta bagaimana wartawan dalam meliput isu agama.
Sedangkan buku Blur yang diluncurkan di Indonesia merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Blur: How to Know What’s True In The Age of Information Overload diterjemahkan oleh Yayasan Pantau.
Sekitar tiga puluh undangan memenuhi Ruang Bedah Buku Pustaka Soeman HS pagi itu. Sebagian besar merupakan responden dari Riau yang terlibat dalam survei. Acara dimulai pukul 09.30, molor 30 menit dari jadwal.
Tiga pembicara hadir pada diskusi tersebut. Imam Shofwan, Ketua Yayasan Pantau sekaligus Ketua Umum Survei Persepsi Wartawan Mengenai Agama. Endy M. Bayuni, Editor Senior The Jakarta Post dan Dodi Sarjana, Pemimpin Redaksi Tribun Pekanbaru sebagai pembedah. Diskusi dipandu oleh Ilham Muhammad Yasir, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pekanbaru.
Sesi pertama diisi dengan diskusi Hasil Survei Persepsi Wartawan Mengenai Agama. Imam Shofwan dipersilahkan menjelaskan temuan-temuan pada survei tersebut.
Imam menjelaskan bahwa persepsi wartawan Indonesia terhadap agama, dari hasil survei tersebut, amat memperihatinkan. Dari 600 responden, 50 persen menganggap bias wartawan dalam meliput isu agama disebabkan kurangnya profesionalitas wartawan. Persoalan lain rendahnya etika wartawan. Ini diakui sekitar 49 persen dari 600 responden.
Kurangnya profesionalitas wartawan dalam meliput isu agama, jelas Imam, berdampak pada kualitas tulisan yang dihasilkan. “Akhirnya yang muncul kata-kata bernada diskriminatif, seperti bentrok, sesat dan mengaburkan pelaku,†tuturnya.
Endy M. Bayuni membenarkan hasil survei Yayasan Pantau. Menurutnya, ada kaitan erat antara jurnalis, media dan agama.
Endy jelaskan intoleransi tak hanya terjadi di Indonesia. Ada islamophobia di Amerika, Eropa dan Australia. Pertarungan Katolik dan Evangelisme serta perlakuan tak pantas terhadap minoritas Muslim di Thailand, Filipina dan Myanmar. “Sayangnya media turut membangun rasa benci antar kelompok. Mengapa? Karena dalam proses peliputan sering kali si wartawan melanggar prinsip jurnalisme,†katanya.
Jurnalis dalam meliput isu agama, lanjut Endy, sering kali berperan sebagai penyebar pesan agama. “Itu tugasnya ustad atau pendeta. Tugas kita sebagai jurnalis hanya meliput terkait kehidupan dan hubungan antar kelompok beragama. Bagaimana membangun rasa toleransi, bukan menyebar propaganda.â€
Endy mengakui ini hal sulit. Bagaimana wartawan bisa melakukan peliputan secara adil. Menurutnya, jarang jurnalis bisa melepaskan atribut kepercayaannya ketika meliput konflik terkait agama. “Karena tak bisa melepas identitas agama itu maka muncullah bias dalam peliputan,†kata Endy.
SESI kedua berlangsung setelah makan siang. Sesi kali ini membahas buku Blur. Ilham Yasir masih bertindak selaku moderator. Pembedahnya pun masih sama: Endy M. Bayuni dan Dodi Sarjana. Imam Shofwan diberi kesempatan membuka diskusi siang itu dengan menjelaskan proses penerjemahan buku Blur.
“Ini buku penting. Menerjemahkan buku ini membuat saya berpikir ulang dan menilai bagaimana kerja jurnalistik saya 10 tahun belakangan. Saya harap kawan-kawan juga begitu setelah membaca buku ini nanti,†kata Imam Shofwan.
Di tengah tsunami informasi, bagaimana warga bisa memilih mana berita berkualitas, mana berita ‘sampah’? Warga mesti “diet informasiâ€. Warga sebaiknya tak membaca informasi busuk. Lantas bagaimana menemukan berita yang bisa kita percaya? Bagaimana pula media dan wartawan menghadapi tsunami informasi? Apa yang kita butuhkan dari ‘jurnalisme era baru’ ini? “Blur menjawab semuanya,†kata Endy M. Bayuni.
Dodi Sarjana memberikan tanggapan terkait buku Blur. Apakah dengan new media wartawan cetak jadi tidak berguna? Dodi menekankan, era banjir informasi menuntut jurnalis untuk berbenah dan mengubah pola kerja. “Sekarang orang perlu berita cepat dan detail. Ini bisa diperoleh dari media online. Namun tak dipungkiri pembaca juga butuh berita mendalam. Di sinilah peran media cetak, menyajikan berita lebih komprehensif,†jelasnya.
Dodi yakin media cetak akan tetap ada, namun dituntut berbenah agar tidak ditinggalkan pembaca. Ia berbeda pendapat dengan Endy M. Bayuni. Endy yakin 10 tahun mendatang orang akan beralih ke online.
“Cetak akan ditinggalkan. Tapi bukan berarti profesi jurnalis yang biasa bekerja di cetak juga hilang. Mereka masih tetap dibutuhkan. Ke depan online juga akan menyajikan informasi secara mendalam,†kata Endy.
PUKUL setengah tiga diskusi usai. Pimpinan Umum Bahana Mahasiswa UR, AKLaMASI UIR, Gagasan UIN Suska dan VISI Unilak diminta memberikan cenderamata kepada pembicara dan moderator.
Debora Blandina Sinambela dari Pers Mahasiswa Suara USU Medan berpendapat bahwa tak mudah menjadi wartawan. “Informasi yang dibuat wartawan harusnya bisa menjadi solusi terhadap suatu persoalan, bukan malah memperkeruh masalah,†ujarnya.
Endy M. Bayuni mengapresiasi kegiatan ini. “Kehadiran teman-teman di sini menunjukkan idealisme bahwa kalian memang care dengan masa depan jurnalisme,†katanya. Begitu pun Dodi Sarjana. “Saya salut. Perkembangan penting di dunia jurnalisme ini justru kawan-kawan pers mahasiswa yang menyelenggarakan, bukan saya selaku pekerja media.†#