Agroforestry: Upaya KTH Alamku Saka Jaya Bertahan Hidup

“Semua makhluk di bumi ini ada manfaatnya. Tidak ada yang lebih penting,” tutur Kobar Hutajulu, staf Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (BBKSDA). Menurutnya, manusia diberi kuasa untuk mengelola bumi juga keselamatan bumi ada di tangan manusia. Setidaknya itu yang ia katakan pada Sabtu siang (18/3).

Menepis pernyataan Suparto, Sekretaris Kelompok Tani Hutan Desa Tasik Serai Timur yang menganggap bahwa Kera Lampung adalah hama. Sebab telah menyerang lahan seluas 37 hektar milik mereka. 

Awal Mula Kelompok Tani Hutan Alamku Saka Jaya

Kobar Hutajulu, staff BBKSDA Riau bagian lapangan wilayah Suaka Margasatwa Balai Raja, Duri sampaikan tujuan pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH). Pembentukan ini bertujuan untuk orang-orang yang terdampak pada gajah dan habitatnya. Terlebih masyarakat yang hidup di sekitar hutan, sebab rata-rata masyarakat yang hidup di sekitar hutan biasanya menggantungkan mata pencahariannya dari hutan.

“Intinya, agar mata pencarian masyarakat tidak hanya bergantung kepada hutan,” tutur pria yang akrab dipanggil Kobar itu.

Ia jelaskan bahwa KTH ini berasal dari ide masyarakat Desa Tasik Serai Timur sendiri. Tanpa campur tangan dari BBKSDA. KTH Alamku Saka Jaya dibangun dua tahun silam, tepatnya pada 2021. Penghelatan baru dilaksanakan pada 28 Januari 2023.

Solfarina, salah satu pendiri Rimba Satwa Foundation jelaskan bahwa KTH awalnya program dari PT Chevron sekitar tahun 2020. Kemudian dibentuk kembali oleh Pertamina Hulu Rokan di 2021.

Perempuan yang akrab dipanggil Rina itu paparkan bahwa Abdullah— Ketua KTH- sangat antusias ketika Kelompok Tani dibentuk kembali.

“Pak Abdullah merasa menemukan ruhnya kembali, jadi semuanya semangat,” jelas Rina yang kini menjabat sebagai Bendahara RSF.

Untuk kriteria masyarakat yang bergabung dalam Kelompok Tani Hutan, kata Rina, ialah masyarakat yang bermukim di jalur jelajah gajah. Sebab fokus pembentukan KTH adalah mitigasi gajah dan manusia.

Upaya Agroforestry bersama Rimba Satwa Foundation

Rimba Satwa Foundation (RSF) adalah organisasi nirlaba dengan basis kepentingan lingkungan. Fokusnya pada perlindungan Gajah Sumatera. Seperti perlindungan dengan program patroli Spatial Monitoring and Reporting Tool (SMART), agroforestry, hingga sosialisasi ke masyarakat perihal gajah. 

Salah satu program RSF untuk melindungi gajah adalah program agroforestry. Berdasarkan laman bantenprov.go.id, agroforestry atau Wanatani adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian pada unit pengolahan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Singkatnya, tanaman yang sengaja ditanam untuk makanan hewan sekitar lahan. Dalam KTH Alamku Saka Jaya, target hewan untuk tanaman agroforestry-nya ialah gajah. Walaupun hanya ada satu gajah di area itu, Codet namanya.  

 “Jadi kita awalnya studi banding sebenarnya, kita pikir lebih baik membuat kelompok usaha untuk tani di samping kita kegiatan agroforestry,” jelas Rina.

Rina paparkan selain agroforestry, RSF juga mengadakan pelatihan terkait mitigasi konflik antara gajah dan masyarakat sekitar hutan. Ada pula kegiatan membangun pola ruang manusia, maksudnya seperti pola antara masyarakat dan Gajah. Misalnya daerah yang sering dilewati gajah, akan ditanami tanaman wanatani. Kegiatan ini turut dalam dukungan BBKSDA, Pertamina Hulu Rokan, perangkat desa, dan tentunya masyarakat setempat.

Tujuannya adalah memulihkan hutan, sehingga hutan dapat menghidupi masyarakat di sekitarnya dan keberlangsungan hidup gajah pulih. Kelompok Tani ini menanam tanaman agroforestry. Seperti petai, jengkol, kopi, gaharu, rambutan, durian, dan matoa. Seperti yang dijelaskan oleh Suparto selaku Sekretaris Kelompok .

Selain Desa Tasik Serai Timur, ada tiga desa di kecamatan Pinggir yang dijadikan patokan dalam program ini. Seperti Desa Balai Raja, Desa Semunai, dan Desa Pematang Pudu.

Rina jelaskan bahwa KTH Alamku Saka Jaya menggunakan sistem bagi hasil. Sekali setahun dirapatkan perihal hasil yang didapat, lalu dibagi sama rata. Hasil yang didapat pun sejatinya hanya untuk Kelompok Tani. Pembangunan modal awal Kelompok Tani ini didapat dari PT Chevron dan Pertamina Hulu Rokan.

“Kayaknya sistemnya dipake demokrasi, biar semua ada hasilnya.” Pungkas Rina.

Selain sistem bagi hasil, Kelompok Tani juga gunakan sistem piket. Seperti piket harian mencari pakan buat makan kambing. 

Konflik Kelompok Tani Hutan dengan Satwa

Agaknya pelatihan mitigasi konflik manusia dan gajah dari RSF tidak berbuah matang. Sebab masyarakat sekitar hutan masih menganggap hewan sebagai hama, seperti kata Suparto Sekretaris KTH Desa Tasik Serai Timur. Lahan mereka seluas 37 hektar, jadi sasaran empuk Kera Lampung.

“Sekarang bukan lagi Gajah, tapi Kera Lampung yang merusak dengan jumlah 400-500 ekor dan itu datangnya gak bisa diukur,” keluh Suparto saat diwawancarai siang itu di depan kandang kambing kelompok taninya.

Mendengar pernyataan Suparto, Kobar lekas jelaskan bahwa hewan itu bukan hama.

“Semua makhluk di bumi ini semuanya ada manfaatnya. Tidak ada yang lebih penting,” tegas Kobar.

Sebelum ada manusia, Kecamatan Duri adalah hutan. Tanpa sentuh tangan manusia, Gajah tidak tersingkirkan dari habitatnya. Ialah salah manusia, karena tidak menyisakan hutan untuk hewan, jelas Kobar.

Menurut Kobar, seandainya hewan bisa berbicara mereka akan protes kepada manusia. Sebab manusia menyisakan sedikit lahan untuk hewan. Awalnya Suaka Margasatwa Balai Raja dibangun pada tahun 1986 luas 18 ribu hektar. Tapi saat ditetapkan, tertulis 15 ribu hektar. Naasnya, sekarang luas suaka margasatwa tidak mencapai 200 hektar.

“Karena rakusnya manusia, tidak masuk akal kan?” Tanya Kobar dengan kesal, pertanyaan retoris itu tertuju padaku.

Tujuan adanya suaka margasatwa adalah untuk melindungi Gajah Sumatera yang ada di dalamnya. Gajah memiliki spesies payung atau umbrella species, yang berarti jika keberlangsungan kehidupannya selamat maka begitu pula dengan satwa yang lain.

Saat penetapan Suaka Margasatwa, kata Kobar, masih banyak satwa yang lain seperti Harimau, Tapir, dan Beruang. Walakin, Gajah jadi fokus waktu itu.

“Jadi sebenarnya ini adalah rumah gajah yang ditunjuk pemerintah agar harapannya gajah-gajah dan satwa lainnya bisa lestari di habitatnya,” tutur Kobar.

Suaka Margasatwa Balai Raja tampaknya tidak mencapai tujuan dalam melindungi gajah. Asbab dengan luas yang minim bahkan tidak mencapai 200 hektar pastinya tidak dapat menampung banyak gajah.

Buktinya, berdasarkan paparan Kobar, terdapat perbedaan jumlah signifikan pada populasi Gajah di Suaka Margasatwa Balai Raja. 10 Tahun yang lalu, masih dapat ditemukan Gajah sebanyak 30-40 ekor. Cerita tinggal dongeng. Sekarang tinggal satu ekor Gajah jantan, yakni Codet.

Codet, gajah dewasa berusia kurang lebih 60 tahun. Memang karakter gajah jantan, saat dewasa menjadi penyendiri dan nomaden. Kobar Jelaskan, bahwa wilayah Kelompok Tani Hutan dan underpass Jalan Tol tidak dalam wilayah pengawasan BBKSDA. Tapi, Codet si gajah tetap dalam penjagaan.

“Harapan kita, semakin banyak orang bisa paham tentang betapa lingkungan yang bagus dan tertata itu untuk kita. Serta untuk ciptaan Tuhan yang lainnya,” tutup Kobar. 

 

Penulis: Najha Nabilla

Editor: Denisa Nur Aulia