Menyoal pembangunan gedung Pasca Sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Mulai dari pemalsuan tandatangan hingga pemalsuan dokumen. Bagaimana ujung perkara ini?

Oleh Jeffri Novrizal Torade S

SUATU PAGI TEPAT 24 AGUSTUS LALU KRU BAHANA, Jeffri dan Suryadi melakukan perjalanan menggunakan sepeda motor ke Kuantan Singingi. Akrab disapa Kuansing. Perjalanan menghabiskan waktu empat jam. Kami sampai disana jelang shalat dzuhur, bunyi kaset mengaji terdengar kala itu dari Mesjid Raya. Kami disambut Heni, alumni Universitas Riau yang berdomisili disana.

Setelah beristirahat sebentar kami bertiga langsung bergegas mencari alamat PT Usaha Kita Abadi biasa disebut PT UKA. Tujuan pertama kami adalah  ke Jalan Abdur Rauf RK II RT 005 RW 001 Kelurahan Sungai Jering Kecamatan Kuantan Tengah Kuansing. Itu alamat yang didapat dari Hariwiyawan Harun, Mantan Kasatreskrim Polresta Pekanbaru ketika bincang awal Agustus lalu.

Baca juga : Beda Nama yang Tandatangan Tak Jadi Soal

Memasuki jalan tersebut, celingak-celinguk mengarah kesisi kanan-kiri jalan perhatikan plang gedung. Nama yang dicari tentu PT Usaha Kita Abadi. Namun tak satupun diperoleh. Kendaraan kami berhenti di turunan jalan.

“Kalau kita jalan terus arahnya ke hutan,” kata Heni.

“Kita balik saja, tadi nampak ada banyak alat berat. Mungkin saja itu,” saran Suryadi. Perjalanan mencari rumah terus berlanjut.

Rumah bercat abu rokok ini beda dengan kebanyakan rumah disekitarnya. Semua dikelilingi pagar. Ada tujuh umbul-umbul yang berdiri dipagar depan. Hanya ada satu pintu utama dengan gerbang besi. Letaknya disudut kanan padahal teras utama rumah di bagian kiri. Memasuki areal rumah, tampak tanah bangunan yang luas memanjang, alat berat, truk tonase besar dan pabrik pembuat aspal.

Dibelakang rumah rumah ada laki-laki, kulit sawo matang pakai kaos hitam bertulis england vespa dan celana jeans biru.

“Apakah ini PT UKA?” tanya kami.

“Iya, ini PT UKA.”

“Tapi ini rumah kan?”

“Iya sekalian kantor PT UKA juga disini,” jawabnya lagi.

Lelaki yang menjawab pertanyaan kami adalah Yudi Pegawai PT UKA. Dia bilang bos tempatnya bekerja memang Ratna Mulyani. “Lagi tak ada dirumah, diluar kota,” kata Yudi.

Hanya sedikit informasi yang kami dapat dari Yudi. Ia banyak menjawab tak tahu terhadap pertanyaan yang kami lontarkan.

MENGKILAS KEMBALI LIPUTAN BAHANA MAHASISWA PADA 2010. Kala itu Bahana menuliskan liputan berjudul ‘Berakhir 27 September’. Isinya menyoal kebakaran yang terjadi di gedung Pasca Sarjana FISIP UR. Bangunan-bangunan di kampus Gobah tersebut habis dilalap si jago merah.

Dua puluh tujuh ruangan tempat mahasiswa pasca sarjana belajar hilang sudah. Sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa Koperasi Mahasiswa juga turut lesap dimakan api.

Ali Yusri, Dekan FISIP kala itu ambil kebijakan. Perkuliahan pasca sarjana dipindah ke kampus Panam. Sampai dengan gedung baru dibangun, kuliah dilaksanakan di kampus Jalan HR Subrantas tersebut.

Mewujudkan keinginan untuk sediakan gedung Pasca Sarjana FISIP, diadakanlah lelang 2 tahun kemudian. Lelang ini merupakan proses penawaran kepada para perusahaan kontraktor untuk melakukan kerjasama. Dalam kasus ini, lelang bertujuan untuk mencari kontraktor yang sanggup membangun gedung Pasca Sarjana.

Pada 2 Oktober diumumkan melalui Layanan Pengadaan secara Elektronik atau LpsE, bahwa ada proyek pengadaan gedung Pasca Sarjana FISIP UR. Kelompok Kerja jasa konstruksi Unit Layanan Pengadaan atau Pokja ULP yang bertugas urus lelang ini.

Pokja merilis harga perkiraan nilai pembangunan sebesar Rp 9,5 miliar. Dengan rincian-rincian yang dipaparkan, maka perusahaan yang berminat dapat mendaftar hingga 9 Oktober. Namun sayangnnya tak banyak perusahaan yang tertarik mendaftar kerjakan proyek ini. Pokja buat laporan Berita Acara lelang proyek dinyatakan gagal.

“Waktu lelang pertama ada yang daftar tapi tak sampai 3 perusahaan,” ujar Iskandar, Ketua Pokja lelang proyek ini. Ia dosen di Fakultas Teknik UR.

Baca juga : Kontraktor Hilang, Kelas Baru Melayang

Pekerjaan tak terlaksana, Pokja segera laporkan hal ini ke Kuasa Pengguna Anggaran atau KPA yang dipegang Rektor UR kala itu. Ashaluddin Jalil. KPA anjurkan diadakan lelang tahap kedua. Waktu pendaftaran kembali dibuka selama seminggu. Pada 16 Oktober pendaftaran akan ditutup. Kali ini banyak yang mendaftar.

Tercatat ada 14 perusahaan yang mendaftarkan diri. Sebagai syarat pendaftaran, peserta haruslah mengirimkan data perusahaan. Hanya 4 perusahaan yang menyerahkan. Diantaranya PT Eli Baskowi Kara, PT Daya Tama Beta Mulia, PT Indah Harisanda dan PT Rama Wijaya. Keempat perusahaan memasuki tahap selanjutnya. Evaluasi.

Evaluasi yang dilakukan bertahap, mulai dari evaluasi administrasi hingga teknis. Dua gugur saat evaluasi administrasi. Hingga evaluasi teknis tak ada lagi peserta yang memenuhi kriteria. Semuanya gagal memenuhi syarat yang ditetapkan.

Keesokan hari, 17 Oktober 2012 Pokja kembali memberikan laporan kepada KPA. Bahwa lelang kedua juga senasib dengan lelang pertama. Pilihan akhir, KPA berkonsultasi dengan Inspektorat Jendral Kementrian Pendidikan Tinggi Nasional. Hasilnya Inspektorat sarankan agar dilakukan konsultasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan dan Jasa Pemerintah atau LKPP.

“Kita masukkan daftar pertanyaan terkait solusi yang bisa diberikan karena sudah dua kali gagal lelang. Suratnya ditulis tangan,” cerita Iskandar.

Setelah menjelaskan keadaan bahwa 2 kali lelang berujung kegagalan, saran dilakukannya Penunjukkan Langsung atau PL jadi solusi. Deputi Layanan Hukum dan Penyelesaian Sanggah LKPP menjawab dengan surat yang berisikan tulisan tangan bahwa KPA dapat melakukan penunjukkan langsung.

TERKAIT PENYEDIAAN BARANG DAN JASA SECARA JELAS TERCANTUM DALAM ATURAN PEMERINTAH. Yaitu dalam Peraturan Presiden atau Perpres 2010 nomor  54 dengan  perubahan Perpres  nomor 35 tahun 2011, 70 tahun 2012, 172 tahun 2014 dan nomor 4 tahun 2015. Peraturan ini menyoal pengadaan barang dan jasa pemerintahan.

Dalam pasal 17 dijelaskan ULP memiliki tugas khusus untuk menetapkan penyediaan barang dan jasa melalui Penunjukkan Langsung atau PL. Paket konstruksi untuk PL ditetapkan standar nilai tertingginya Rp 100 miliar. Perusahaan yang bersedia melaksanakan proyek dengan sistem PL harus memenuhi syarat tertentu.

Masih dalam aturan yang sama di pasal 19 dijelaskan syarat-syaratnya. Pertama perusahaan tersebut memenuhi kriteria keahlian, memiliki pengalaman dan kemampuan teknis pekerjaan konstruksi. Penyedia jasa ini tentunya juga harus memiliki sumber daya manusia atau karyawan. Modal dan peralatan pengadaan tentu jadi hal penting yang harus dimiliki.

Selain itu perusahaan tidak boleh masuk dalam daftar hitam—penyedia barang dan jasa yang pernah dikenakan sanksi oleh kementrian, lembaga, pemerintah daerah ataupun suatu institusi—tidak sedang dikenai sanksi pidana dan tidak dalam pengawasan pengadilan. Kondisi keuangan penyedia jasa ini juga tidak boleh dalam keadaan pailit, harus dalam kondisi baik. Dan terakhir perusahaan harus memiliki nomor pokok wajib pajak dan memenuhi kewajiban membayar pajak.

Terkait kriteria bisakah suatu proyek dilakukan dengan PL juga dijelaskan dalam aturan ini. Perusahaan konstruksi bisa ikut jika menangani keadaan darurat dan tidak pernah direncanakan. Contohnya jika terjadi bencana alam, melakukan tindakan pencegahan bencana ataupun terhentinya secara mendadak pelayanan publik.

Keadaan mendadak lainnya seperti adanya pekerjaan konferensi internasional mendadak yang dihadiri Presiden atau wakilnya. Atau hal ini dilakukan untuk pertahanan negara. Kondisi lainnya jika suatu pekerjaan konstruksi hanya dapat dilakukan oleh suatu perusahaan penyedia barang dan jasa, pabrikan atau hak paten. Tapi dengan catatan kondisi ini mendapatkan izin dari pemerintah.

Kriteria lainnya, PL bisa dilaksanakan jika barang atau jasa tersebut telah memiliki tarif resmi yang ditetapkan pemerintah. Dalam kasus gedung Pasca Sarjana, PL dilakukan karena tahapan-tahapan normal yang harusnya dilalui tak terpenuhi. Atas rekomendasi LKPP maka PL bisa dilakukan.

“Tentu rekanan yang dicari harus kompeten dan bagus,” ujar Hariwiyawan menjelaskan.

Dalam pelaksanaan PL, KPA dipersilakan menunjuk perusahaan yang tadinya telah mendafatar namun tak lulus. Ia juga bisa menunjuk perusahaan yang tak mendaftarkan diri dalam lelang. Keputusan diberikan kepada pihak penyelenggara lelang dengan memenuhi kriteria yang ada.

“WAKTU ITU KITA UNDANG 3 PERUSAHAAN,” ujar Iskandar.

Setelah PL disetujui, ada 3 perusahaan yang cocok memenuhi kriteria tersebut. PT Pembangunan Perumahan, PT Total Bangun Persada dan PT Waskita Karya.

PT Pembangunan Perumahan menolak karena sedang mengerjakan proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan UR. Sedangkan PT Total Bangun Persada menyatakan proyek berada dibawah standar mereka. sehingga penolakanpun diajukan.

Tinggal PT Waskita Karya yang dipandang memenuhi kriteria PL untuk proyek ini. Gayung bersambut, Iskandar mendapat panggilan untuk datang ke ruang ULP. “Ada pihak dari PT Waskita Karya yang mau ketemu waktu itu,” cerita Iskandar.

Di tempat pertemuan itu ada RSW yakni Manager Marketing PT Waskita Karya dan Safrihardi, PNS Dinas Pekerja Umum Riau. Iskandar katakan bahwa Safrihardi pernah jadi ketua lelang di UR untuk gedung Fakultas Ekonomi. “Dipertemuan itu RSW bilang PT Waskita tak bisa ikut lelang karena nilai proyek tak sampai Rp 25 miliar,” ujar Iskandar.

Di pertemuan itu RSW memberikan tawaran. Ia bisa membantu menjalankan proyek namun dikerjakan oleh perusahaan mitra PT Waskita. Ia katakan bahwa PT UKA yang diusulkannya merupakan koperasi mitra yag semua pekerja dan peralatannya dari PT Waskita Karya. RSW katakan ia menajdi komisaris di PT UKA tersebut. “Dengar itu kita yakin saja dan minta dia masukkan penawaran,” ujar Iskandar.

Pada 23 Oktober, RSW melengkapi administrasi berupa penyerahan data perusahaan PT UKA. Ia berikan berkas penawaran yang ditandatangani Ratna Mulyani selaku Direktur PT UKA. Iskandar katakan seharusnya Direktur langsung yang memasukkan penawaran, namun berhalangan hadir, sehingga diwakili Komisaris, RSW. “Dokumennya ditandatangan atas nama Ratna,” tambahnya. Iskandar juga katakan bahwa RSW pada saat pertemuan bawa surat kuasa, namun kini semua dokumen-dokumen sudah hilang.

“Tidak ada surat kuasa dari Ratna kepada RSW. Ratna sudah kita periksa, bahkan ia katakan tak pernah menandatangani dokumen terkait proyek ini,” ujar Hariwiyawan.

Setelah data masuk, maka evaluasi pun diadakan. Mengecek data perusahaan serta tenaga kerja. Saat itu RSW memberikan daftar pekerja serta kartu identitas dan sertifikat pekerja di PT Waskita. Menurut Iskandar hal ini membuat mereka tambah yakin bahwa PT UKA bagian dari Waskita.

“Ya RSW kerja sebagai marketing disana, dia punya semua data pekerja. Ya tinggal capluk saja,” ujar Heriwiyawan. Ia menyatakan saat penyelidikan meminta keterangan saksi, tak ada yang mengetahui soal proyek tersebut. Tidak ada pemberitahuan, bahkan yang namanya terdaftar sebagai pekerja sudah pindah keluar daerah.

Proses evaluasi selesai dan dibuat Berita Acaranya. Menurut Iskandar saat itu tak semua anggota Pokja yang hadir. Hanya Ekki Ghadafi, Renaldi, Effendi Sembiring dan dirinya. Berita acara ini berisi absen yang harus ditandatangani Direktur. “Saya serahkan ke bagian administrasi biar Pokja lain dan Direkturnya menyusul tandatangan,” ujar Iskandar.

Keesokan hari, tandatangan tim Pokja yang tak hadir, Zulkifli, Misparman dan Rusdiman sudah dibubuhkan dilembar absen. Tandatangan Direktur PT UKA juga ada. Proses berlanjut dengan perjanjian kontrak dan pencairan dana.

“Dokumen dari RSW direkayasa dan tandatangan dipalsukan. Direkturnya juga sama sekali tak pernah hadir dalam pertemuan,” jelas Hariwiyawan.

HARIWIYAWAN JELASKAN TIMNYA MENYELIDIKI KASUS INI LEBIH DALAM. RSW tak hanya menyalahgunakan wewenang, namun ia juga melakukan rekayasa dan pemalsuan dokumen. Secara garis besar Hari jelaskan penyalahgunaan wewenang terkait jabatannya sebagai Komisaris di PT UKA. Namun ia mengatas namakan tindakannya sebagai Direktur. “Tanpa surat kuasa,” ujar Hari.

Sedangkan rekayasa dan pemalsuan dokumen berkaitan dengan berkas-berkas dari PT UKA. Kesemuanya tanpa diketahui oleh Direktur, Ratna Mulyani. Data perusahaanpun dimanipulasi dengan gunakan data dari 14 karyawan PT Waskita. RSW juga memalsukan surat perjanjian sewa peralatan.

“Kita saat ini kerjasama dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk audit investigasi kerugian negara akibat tindakan ini,” ujar Hari.

Ia juga jelaskan telah melakukan kunjungan kelapangan untuk mengecek fakta pekerjaan. Yang ditemukan banyak bagian gedung yang retak serta ada penambahan dua tiang diluar kontrak yang disepakati.

Mantan Kepala Bagian Umum dan Perlengakapan FISIP, Ekki Ghadafi katakan tandatangan dipalsukan adalah masalah internal perusahaan.  Yang ia ketahui selaku salah satu tim Pokja lelang ini, uang sudah dikirim ke rekening yang bersangkutan. “Saya pernah lihat bukti pengiriman uang pembangunan gedung itu ke Ratna,” ujar Ekki.

“Ya itu pandai-pandai RSW, waktu kita tanya yang di Kuansing—Ratna—tidak tahu sama sekali,” ujar Hari.

Kini Hariwiyawan pindah tugas ke Polda Riau, tugasnya digantikan Ajung Komisaris Polisi Aryo Bimo. Ia jelaskan sampai saat ini tidak ada indikasi perkara akan dihentikan. “Tidak ada peti es, perkara jalan terus,” ujar Aryo.

SEPULUH MENIT KAMI BERBINCANG DENGAN YUDI UNTUK DAPATKAN INFORMASI SOAL RATNA. Namun karena tak tahu banyak hal, jawaban yang diharapkan tak kunjung di dapat. Tiba-tiba seorang lelaki mendekati Yudi dan keduanya langsung berbicara. Terdengar lelaki itu menanyakan siapa kami dan apa tujuan datang ke rumah itu. Yudi menjelaskan kami mencari Direktur PT UKA.

“Kita tidak tahu orang itu pakai perusahaan kita,” ujar lelaki tersebut. Ia mengaku sebagai anak dari Ratna dan bekerja di Polres Kuansing sebagai Penyidik bidang korupsi.

“Apa hubungan antara RSW dengan Ratna?”

ketika pertanyaan ini terlontar, ia nyatakan tak ada hubungan antar keduanya. Iapun tak mengenal RSW. Menurut keterangan Hari, antara RSW dan Ratna memiliki hubungan kekerabatan dimana Ratna adalah kakak ipar RSW.

Ia jelaskan bahwa PT UKA adalah milik Ratna sejak dulu. Kantornya beralamat di Jalan Abdul Rauf. Tak pernah pindah. Ketika kami meminta untuk dapat dipertemukan dengan Ratna, ia menolak. Alasannya Ratna sering sakit sejak adanya kasus ini.

Lelaki yang akhirnya diketahui sebagai menantu dari Ratna ini katakan mereka tak tahu sama sekali terkait proyek, tandatangan atau pemalsuan dokumen. Mereka saja kaget saat mendapati surat panggilan dari Polres Pekanbaru.

Saat kami hendak mengambil foto bangunan kantor dari PT UKA, menantu Ratna tersebut tidak memperbolehkan kami.

Kru bahana sudah mencoba 3 kali mengkonfirmasi Ruswandi di tempatnya bekerja PT Waskita Karya di Jalan Sutomo. Namun tidak pernah jumpa. Edi, karyawan di Waskita Karya katakan “Ruswandi jarang masuk kantor. Tak tahu kemana.”