SIANG itu, 25 Maret 2014 hardi tengah ikut rapat. Rapat para anggota Senat Universitas Riau. Pembahasan persiapan pemilihan Rektor UR periode 2014-2018.  Tiba-tiba  ia dihubungi oleh bagian kepegawaian Universitas Riau. Ia diminta datang keruangan. Alasan ia dipanggil? Dirinya sendiripun tak tahu. Ia penuhi panggilan tersebut. Dengan bertanya-tanya ia tiba di ruangan.
Tanpa penjelasan berarti, ia diberi selembar kertas. Berkop Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Riau. Hardi membaca isi dari surat itu. Ia bertanya kenapa ia diberi surat tersebut. Tak ada penjelasan berarti. Ia berjalan meninggalkan ruangan dengan bertanya-tanya.
Ia membaca tulisan yang ada disana. Surat Keputusan Rektor Universitas Riau. Nomor 1106/ UN.19/KP/2014. Tentang Pemberhentian sementara dan Pengangkatan Pelaksana Harian Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau.
Berpindah pada inti dari surat, tertera bahwa Rektor UR memutuskan untuk memberhentikan sementara waktu Dekan FH UR. dengan kata lain, Hardi dinonaktifkan sebagai Dekan.
Surat itu ditandatangani Rektor UR, Ashaluddin Jalil. Tertanggal 24 Maret 2014. Hardi diberhentikan sementara sebagai pimpinan dari fakultas yang baru ia kelola lebih dari setengah tahun.
DIAWAL Maret situasi memanas di FH. Empat hari mengawali bulan tersebut, terjadi demo menurunkan Dekan. Saat itu Hardi diminta meninggalkan kursi nomor 1 di fakultas tersebut. Ia dinilai tidak demokratis dalam memimpin fakultas. Salah satunya dalam pemilihan Pembantu Dekan atau PD. (Lihat: ‘Perang Urat Syaraf’ di FH)
Pada hari itu juga ia menerima surat undangan dari Rektor dengan nomor 928/UN.19/KP/ 2014 tanggal 3 Maret. Dengan maksud sebagai undangan untuk mengklarifikasi demo yang terjadi di FH. Hardi diminta menemui pimpinan pada 5 Maret 2014 pukul 1 siang di ruang kerja Rektor.
“Ini aneh, demo itu terjadi tanggal 4, tapi kenapa surat pemanggilan klarifikasinya tanggal 3,†ujar Hardi. Ia merasakan ada kejanggalan dalam hal ini. Ketika ia memenuhi undangan klarifikasi, hal ini diakui sebagai salah pengetikan. “Tapi ini aneh, kan ada nomor surat-nya,†Hardi mempertanyakan lagi.
Dalam klarif ikasi itu ia menjelaskan bahwa terjadi aksi demo yang dilakukan oleh beberapa oknum dosen. Mulai dari pemasangan spanduk hingga penyegelan ruang belajar. Hardi memberikan berkas bukti berupa foto-foto dari aksi tersebut. Dengan surat nomor 901/UN.19.1.13/TU/ 2014 tanggal 5 Maret 2014 beserta 4 lembar lampiran. Isinya foto dari spanduk dan kelas yang digembok.
Usai menjelaskan situasi tersebut, keadaan kembali tenang. Tidak ada pemanggilan, tidak ada aksi. Hingga ia tiba-tiba menerima surat pada 24 Maret 2014.
PERKARA pemilihan pembantu dekan membawa dampak yang besar untuk hardi. Dalam SK pemberhentian sementaranya, poin yang dijadikan pertimbangan dijelaskan ala-san menonaktifkannya.
Dalam poin menimbang poin a dikatakan, bahwa berlarutnya konflik yang terjadi antar civitas akademika maupun jajaran pimpinan dengan Dekan FH UR telah meng-ganggu stabilitas FH UR dalam melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi.
Dan dalam poin b dikatakan, dengan kondisi pada poin a perlu diselesaikan dengan pertimbangan yang cermat, sehingga dipandang perlu adanya kebijakan dari Rektor UR untuk menjamin suasana kondusif dan menghindari dampak buruk yang lebih luas
Dan pada akhirnya Rektor UR memutuskan untuk memberhentikannya sementara.
Hardi mempertanyakan keputusan dari Rektor ini. Ia merasa keberatan. Sebab tak ada kesalahan berat yang ia lakukan hingga menyebabkan dirinya dinonaktifkan.
Terkait persoalan tidak satu suaranya jajaran pimpinan fakultas dengan hasil pemilihan PD I, II dan III, menurutnya ini adalah masa-lah internal. “Masalah internal yang harusnya diselesaikan di rapat senat,†ujar Hardi.
Keabsahan hasil pemilihan PD inipun sampai meminta pertimbangan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atau Kemendikbud RI. Saat itu pihak rektorat mengirimkan surat memohon pendapat hukum terhadap penetapan PD I, II dan III FH UR. Dengan nomor surat 817/UN.19/KP/ 2014 tanggal 7 Februari 2014. Ini berdasarkan keputusan Senat Universitas untuk menyelesaikan persoalan ini secepatnya.
Jawaban dari Kemendikbud datang pada 7 Maret 2014. Dengan nomor 36359/A5.2/ IIK/2014. Ada 4 poin yang diberikan oleh Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kemendikbud RI, Ani Nurdiani Azizah.
Poin pertama secara umum menjelaskan perihal pentingnya statuta universitas sebagai pedoman dasar penyelenggaraan kegiatan di perguruan tinggi. Sedangkan pada poin kedua, diberikan pertimbangan hukum terkait pemilihan PD.
Dinyatakan, setelah kami cermati, dalam statuta UNRI tidak terdapat aturan mengenai tata cara pengangkatan Pembantu Dekan I, II dan III. Oleh karena itu,oleh karena itu kami berpendapat yang dilakukan oleh Senat FH UR dalam memilih Pembantu Dekan I, II dan III periode 2014–2018 tidak bertentangan dengan statuta.
Pada poin ketiga, dijelaskan bahwa jika sewaktu-waktu ada aturan yang tidak sesuai antara statuta dan peraturan perundang-undangan, diharapkan dilakukan penyempurnaan.
Poin terakhir, Kemendikbud RI menyarankan dilakukan penyesuaian antara Statuta UR dengan aturan yang berlaku saat ini.
“Dari Kemendikbud saja bilang tidak ada yang salah dalam pemilihan ini,†ujar Hardi. Ia pun mempertanyakan penjelasan dari berlarutnya masalah hingga sebabkan stabilitas terganggu dalam jalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Ia paparkan saat terjadinya demo pada 4 Maret memang kegiatan belajar mengajar terganggu. Karena ada sebagian kelas yang digembok. Beberapa dosen pun lakukan mogok mengajar. Namun tidak semua kelas yang dikunci. Juga tak semua dosen yang mogok. “Setelah demo itu juga besoknya sudah kembali mengajar. Ruangan kelas juga tidak ada yang dikunci lagi,†terang Hardi.
Dalam hal ini Hardi masih tetap tidak terima dengan alasan pemberhentian sementaranya. Ia juga merasa proses pengeluaran SK ini bermasalah. Ia tidak pernah 11 poin lainnya. Dan Hardi merasa ia tidak memenuhi kriteria sehingga diberhentikan. Ia juga tak ada dipanggil untuk memberikan penjelasan. Ataupun diberi pering-atan terkait kesalahan apa yang telah ia lakukan. “Tiba-tiba sudah diberhen-tikan,†tambahnya.
Menurut Husnu Abadi, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Riau—HTN FH UIR—, keputusan tetaplah keputusan. Ia jelaskan apapun keputusan dari pejabat berwenang, ketika sudah dikeluarkan, maka itu benar adanya. Asas dalam Hukum Administrasi, presumptio iustae causa. “Walaupun ada prosedur yang tidak terpenuhi, bukan berarti keputusan itu batal atau tidak sah,†ujarnya.
Syaifuddin Syukur yang juga dosen HTN FH UIR menjelaskan keputusan itu bisa diperbaiki. Menurutnya memang jika keputusan telah dikeluarkan, maka harus dijalankan. Namun juga harus memperhatikan prosedur. “Kalau tidak bisa jadi arbitrary— kesewenang – wenangan—pimpinan dalam keluarkan kebijakan,†ujarnya.
Ia jelaskan dalam sebuah SK biasanya diakhir poin keputusan ada pernyataan jika ada kekeliruan dikemudian hari akan dilakukan perbaikan. “Kalau ada yang salah, ya diperbaiki,†tambahnya.
Hardi juga menambahkan daftar kejanggalan dalam pengeluaran SK ini. Dalam Statuta UR pasal 20 ayat (3) huruf h dijelaskan, Senat UR mempunyai tugas pokok menegakkan norma-norma yang berlaku bagi civitas akademika.
Untuk menegakkan norma ini, maka dijelaskan lagi pada huruf h. Yaitu, menangani kasus-kasus pelanggaran etika akademik, seperti melakukan plagiat, pemakaian gelar yang tidak terakreditasi, dan pelanggaran aturan-aturan lain yang dapat mencemarkan nama baik UR. Termasuk pelanggaran yang dilakukan oleh dosen dan kasus-kasus tersebut tidak dapat disele-saikan oleh fakultas yang bersangkutan.
Dari penjelasan statuta ini, Hardi merasa pembahasan ini tidak pernah dibahas di Senat UR. Komisi etika juga tidak pernah memanggil dirinya. Tidak pernah ada pembahasan di senat untuk memberhentikan dirinya.
Hal ini dibenarkan oleh Ahmad Adrianto, Ketua Komisi Etika Senat UR. Ia menjelaskan komisi etika pernah mengirimkan surat ke Rektor mempertanyakan pemberhentian sementara Hardi. “Belum ada tanggapan, dan kita masih menunggu,†ujarnya. Ia menambahkan memang tidak ada rentang waktu yang diberikan komisi etika kepada Rektor UR untuk membalas surat itu. “Tapi kita harap masalah ini bisa secepatnya dibahas di Senat,†tambahnya.
Ahmad menjelaskan memang ketika ada kesalahan, sanksi yang diberikan dibahas di rapat senat. Disitu akan dibahas bersama apakah diberi sanksi dan dalam bentuk apa. Untuk persoalan, ini komisi etika belum bisa mengkaji secara yuridis karena belum diberi kewenangan. “Kalau sudah dirapatkan di senat dan diberi kewenangan, baru bisa,†ujar Ahmad.
HARDI keberatan dengan pemberhentian sementaranya. Pada 29 Maret 2014, ia ajukan keberatan terhadap SK Nomor 1106/UN.19/KP/2014 yang dikeluarkan Rektor UR. ia mempersiapkan berbagai berkas dan lampiran untuk menjelaskan alasan keberatannya. Ia mengirimkannya kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan permintaan untuk menelaah dan meninjau kembali keputusan pemberhentian sementaranya.
Dimulai dengan penjelasan penyebab ia diberhentikan sementara. Alasan tidak kondusif dan stabilnya FH dalam jalankan Tri Dharma perguruan tinggi ia bantah
dengan melampirkan absen. Dimulai dari absen perkuliahan hingga ujian proposal. “Ini berarti perkuliahan terus berjalankan,†ujar Hardi.
Ia juga sampaikan keberatan terhadap kesalahan prosedural dalam mengeluarkan SK pemberhentian sementaranya ini. Mulai dari syarat formal, tidak terpenuhinya prosedur yang diharuskan. Seperti pemanggilan, teguran dan peringatan hingga SK ini bertentangan dengan aturan yang ada.
“Pemberhentian sementara itu bisa dilakukan kalau yang bersangkutan terkait dengan proses pidana atau peradilan. Nah, saya tidak ada loh kena kasus pidana,†ujar Hardi lagi.
Yang ia sampaikan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/ Pemberhentian Sementara PNS. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan, untuk kepentingan peradilan seorang PNS yang didakwa telah mela-kukan suatu pelanggaran jabatan/ kejahatan dan berhubungan dengan itu pihak berwajib mengenakan tahanan sementara, mulai sejak ditahan harus diberhentikan sementara.
Hardi juga keberatan karena SK tersebut tidak memuat syarat materiil. Dimana setiap SK harus memuat konsideran menimbang mencakup 3 aspek dasar. Mulai dari Filosofis, Sosiologis dan Yuridis. Dalam SK ini hanya landasan sosiologis yang digunakan. “Dan alasan sosiologis ini juga tidak terbukti,†tambah Hardi.
Tak hanya ke kementrian. Hardi juga layangkan laporan ke Ombudsman Republik Indonesia. Ia melaporkan bahwa telah terjadi perbuatan mal administrasi yang dilakukan oleh Rektor UR.
Mendikbud memberikan balasan pada 6 Juni 2014 dengan nomor surat 74068/ A4.2/KP/2014. Isinya meminta Rektor UR mencabut dan membatalkan SK Rektor Nomor 1106/UN.19/KP/2014. Ia juga diminta untuk memulihkan hak-hak Hardi selaku dekan FH UR dan anggota Senat UR.
Namun Rektor bukannya menjalankan apa yang diminta Mendikbud. Pada 25 Juni 2014 Rektor mengeluarkan surat Nomor 1689/ UN.19/KP/2014. Perintahnya, meminta Senat FH melaksanakan rapat pemilihan Dekan definitif. Dan pada 26 Juni 2014 juga keluarkan SK Nomor 1672/UN.19/KP/2014. Tentang pemberhentian dekan, pemberhentian pelak-sana harian dan pengangkatan pelaksana tugas. Hardi diberhentikan secara definitif.
Melihat perintahnya tidak dilaksanakan, Mendikbud kembali mengirimkan surat. Kali ini surat Peringatan Pertama, tanggal 7 Juli 2014 dengan Nomor 106907/A4.2/ KP/2014. Poin-poin yang diperingatkan agar segera dilaksanakan ialah mencabut dan membatalkan SK Nomor 1106/UN.19/KP/2014. Dan poin kedua memerintahkan Senat Fakultas Hukum UR membatalkan pelaksanaan pemilihan Dekan definitif.
Masih dalam surat yang sama, Mendikbud meminta agar Hardi yang diduga sebagai penyebab koflik di FH agar diproses sesuai prosedur dan mekanisme yang ada. Sesuai yang diatur dalam PP 53 tahun 2010.
Poin selanjutnya, Mendikbud memperingatkan walaupun pengangkatan dan pemberhentian Dekan adalah kewenangan Rektor, namun tidak bisa dilakukan dengan sewenang-wenang. Segala prosesnya harus sesuai prosedur dan mekanisme yang ada.
Pada poin terakhir, Mendikbud menekankan Rektor sebagai pelaksana akademik menjalankan fungsi penetapan kebijakan non akademik dan pengelolaan perguruan tinggi untuk dan atas nama Mendikbud. Begitulah isi surat peringatan pertama ini.
Tanggal 18 Juli, Hardi menerima dua surat. Pertama SK pengaktifannya, dengan nomor 1779/UN.19/KP/2014 tanggal 16 Juli 2014. Kedua, surat pemanggilan pemerik dipanggil
ataupun diberi teguran. Ketika klarifikasi pada 5 Maret lalu, setelah itu tidak ada alasan yang jelas dari Rektor.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 Pasal 27 ayat (1) dijelaskan, bahwa pihak yang melakukan pelanggaran berat dapat dibebas tugaskan sementara untuk menjalani proses pemeriksaan. Dengan penjelasan bahwa ada kemungkinan akan dijatuhi hukuman pelanggaran berat.
Sedangkan pelanggaran berat yang dapat dijatuhi hukuman berat tertuang dalam pasal 13. Diantaranya m e n y a l a h g u n a k a n wewenang, menjadi perantara untuk mendapat keun-tungan pribadi dan masih ada saan nomor 1782/UN.19/KP/ 2014 tanggal 17 Juli 2014. “Hari itu saya tidak bisa datang karena sakit, saya kirimkan surat keterangan dari dokter,†ujar Hardi. Pemanggilan pertama ia tak hadir, lalu ia diminta datang pada panggilan kedua pada 11 Agustus. Ini berdasarkan surat nomor 1809/UN.19/KP/ 2014.
Namun diantara waktu pemanggilan kedua, pada 18 Juli 2014 keluar SK Rektor Nomor 1783/UN.19/KP/2014. Perihalnya pembebasan tu-gas sementara dan pengangkatan pelaksana harian dekan.
Hardi tetap hadir pada pemeriksaan kedua. Yang memeriksanya kala itu Rektor, Yanuar selaku Pem-bantu Rektor II, Kepala BAUK dan Kepala Kepegawaian UR. “Tuduhan terhadap saya adalah penyalahgunaan we-wenang,†ujar Hardi. Ini merupakan pelanggaran disiplin tingkat berat.
Namun dalam pemeriksaan ini, tidak menghasilkan apa-apa. Karena tuduhan yang diberikan kepada Hardi tidak dapat dibuktikan.
“Saat itu saya mempertanyakan alasan Rektor memberhentikan secara definitif dan dasar hukum pemeriksaan saya saat itu,†ujar Hardi. Akhirnya ia keluar dari pemeriksaan tersebut tanpa ada berita acara pemeriksaan yang ia tandatangani.
Buah dari pemeriksaan tersebut adalah keluarnya SK Nomor 1864/UN.19/KP/2014 tanggal 12 Agustus 2014. Hardi kembali diberhentikan sebagai Dekan Fakultas Hukum.
OMBUDSMAN RI menyurati rektor. Surat itu dikirim tanggal 29 September 2014 dengan nomor 932/ORI-SRT/IX/2014. Hal yang dibahas terkait tindak lanjut dari laporan Hardi terkait pemberhentian sementara dirinya. Juga terkait laporan Maryati Bachtiar soal belum adanya penetapan PD I, II dan III periode 2014 – 2018 FH UR.
Dalam surat ini dijelaskan inti dari hasil pemeriksaan dan klarifikasi dari berbagai pihak yang dilakukan Ombudsman pada 19 September 2014. Klarifikasi di Ombudsman RI ini mengundang Biro Hukum Kemendikbud, Sekretaris Jenderal Kemendikbud dalam hal ini diwakili Biro Kepegawaian, Hardi serta perwakilan dari Rektor yang diwakili Kepala BAUK. Juga turut hadir Kepala Bagian Kepegawaian dan Junaidi, dosen FH.
Dari hasil pemeriksaan dan klarifikasi tersebut, disurat dijelaskan dalam 2 poin utama. Pertama penerbitan SK pemberhentian Hardi sebagai Dekan tidak sesuai dengan ketentuan di Statuta UR. Pada poin selanjutnya ada dua hal yang dijelaskan.
Pertama, menegaskan perihal surat yang telah diberikan oleh Mendikbud pada 6 Juni dan 7 Juli 2014. Bahwasanya pemberhentian Hardi tidak tepat karena dasar pertim-bangan pemberhentian sementara Hardi sebagai Dekan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kedua, prosedur pemilihan PD I, II dan III FH UR telah sesuai Statuta sehingga perlu segera dilakukan penetapan. Sehingga pada akhir surat diminta agar rektor meng-ambil langkah, membatalkan SK Pemberhentian dan mengangkat kembali Hardi menjadi Dekan. Lalu mener-bitkan SK Penetapan PD I, II dan III FH UR serta menjaga lingkungan kerja UR tetap kondusif, agar tidak meng-ganggu proses belajar mengajar.
Surat ini telah diberikan kepada Rektor. Bagai-manakah langkah selanjutnya? Apakah kebijakan yang diambil oleh Rektor Baru UR, Aras Mulyadi? Ketika ditanyakan perihal kasus ini, Aras menolak memberikan komentar. “Harus saya pelajari dulu dan kumpulkan berkas-berkasnya,†ujar Aras.
Bagaimana dengan nasib FH selanjutnya? Sebab pada 23 Agustus 2014, FH telah memiliki Dekan Def initif periode 2014 – 2018. Ia adalah Dodi Haryono. Apakah tetap dengan kebijakan saat ini, atau ada kebijakan baru?#