Jelajah Kampung Bandar

Menelusuri sepotong demi sepotong situs sejarah kawasan Senapelan

DUA puluhan mahasiswa berebut brosur di depan Kantor Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan (P2KK) Universitas Riau Kampus Gobah. Mereka berasal dari Jurusan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia FKIP UR. Setelah brosur berada di tangan, masing-masing mengamati betul daerah mana saja yang akan dikunjungi.

“Oh ini aku tahu tempatnya,” seru Al Rahmat Putra melihat ke satu tempat yang tertera pada brosur. “Eh tapi ini dimana ya? Perasaan tak pernah lihat,” lanjutnya setelah membalik brosur tersebut. Al adalah mahasiswa Bahasa Inggris. Ia turut serta pada kegiatan Jelajah Kampung Bandar Senapelan yang diadakan P2KK pekan pertama Januari lalu.

Elmustian Rahman Ketua P2KK menjadi pemandu kami. Satu per satu cluster dikunjungi pada kawasan Kampung Bandar Senapelan. Setiap kali berhenti pada satu tempat, kami melihat brosur yang sudah dibagikan. Semua tempat yang dikunjungi me-ngandung nilai sejarah.

“Kita perlu meninjau kembali hal-hal bersejarah yang ada. Jangan sampai orang-orang mengaburkan sejarah. Kalau sudah sejarah dikaburkan, apalagi yang bisa kita pelajari,” ujar Elmustian saat memberi pengarahan. Ia berharap kegiatan ini bermanfaat, sehingga dapat dikembangkan dalam skala kunjungan lebih besar.

 

KAMPUNG Bandar Senapelan merupakan cikal bakal kota Pekanbaru. Menurut situs resmi kota Pekanbaru, dahulu Pekanbaru dikenal dengan sebutan Senapelan, dipimpin seorang kepala suku disebut batin. Mulanya Senapelan berupa ladang yang lambat laun berubah jadi perkampungan. Kemudian perkampungan Senapelan pindah ke daerah baru yaitu dusun Payung Sekaki yang terletak di muara Sungai Siak. Namun nama Payung Sekaki tidak dikenal pada masanya dan tetap disebut sebagai Senapelan.

Sultan Siak Sri Indrapura bernama Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian mendirikan istana di Kampung Bukit berdekatan dengan perkampungan Senapelan. Sultan pun berinisiatif mendirikan sebuah pekan di Senapelan namun tak berkembang. Usaha Sultan dilanjutkan putranya bernama Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yakni di sekitar pelabuhan sekarang.

Selanjutnya pada 23 Juni 1784 berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar, dan Kampar) nama Senapelan diganti menjadi Pekan Baharu atau Pekanbaru dalam penyebutan sehari-hari. Berdasarkan SK Kerajaan, yaitu Besluit van Her Inlanche Zelf Destuur van Siak No.1 tanggal 19 Oktober 1919, Pekanbaru menjadi bagian dari Kesultanan Siak dengan sebutan distrik.

Pada tahun 1931 Pekanbaru dimasukkan ke dalam wilayah Kampar Kiri yang dikepalai seorang controleur. Setelah pendudukan Jepang tanggal 8 Maret 1942, Pekanbaru dikepalai seorang gubernur militer yang disebut gokung. Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan ketetapan gubernur Sumatera di Medan tanggal 17 Mei 1946 No. 103, Pekanbaru dijadikan sebagai daerah otonom yang disebut haminte atau kota besar.

Setelah itu berdasarkan UU No.22 tahun 1948, kabupaten Pekanbaru diganti menjadi Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru diberikan status kota kecil. Status ini semakin disempurnakan dengan keluarnya UU No.8 tahun 1956. Kemudian status kota Pekanbaru dinaikkan dari kota kecil menjadi kota praja setelah keluar UU No.1 tahun 1957. Berdasarkan Kepmendagri No. Desember 52/I/44-25 tanggal 20 Januari 1959, Pekanbaru resmi menjadi ibukota Propinsi Riau.

 

SURAU Al-Irhaash tempat bersejarah pertama yang kami kunjungi. Ia berada di Jalan Senapelan. Sebelum memasuki surau bercat hijau ini, ada dua gapura kecil dengan kubah bulat diatasnya. Sebuah catatan sejarah tertempel di bagian luar surau. Ada cerita singkat soal sejarah surau serta foto surau sebelum renovasi.

Surau Al-Irhash sebelum renovasi
Surau Al-Irhash sebelum renovasi

Surau Al-Irhaash didirikan sekitar tahun 1925, dibangun di atas lahan yang diwakafkan oleh masyarakat Kampung Bukit. Pada zaman perang kemerdekaan surau difungsikan sebagai markas besar pejuang tentara Fisabilillah. Awalnya bangunan surau berbentuk segi empat. Setelah berfungsi sebagai tempat ibadah, ditambah ruang mihrab, tepatnya tahun 1970-an.

Dahulu surau dimanfaatkan sebagai tempat menyiarkan Islam (ceramah) dan mengaji bagi anak-anak.  Untuk mengikuti syiar Islam masyarakat Kampung Bukit membuat alat pertanda masuknya waktu sholat. Alat tersebut bernama ketuntung terbuat dari kayu. Pada tahun 1970-an alat tersebut dirubah bentuk menggunakan bahan dari drum yang bagian luarnya dilapisi kulit rusa, dinamakan tabuh.

Renovasi pertama dilakukan tahun 2005 menggunakan bantuan dana dari Gubernur Riau untuk membangun kamar mandi/WC, tempat wudhu dan penambahan jendela. Tahun 2007 dilakukan renovasi total menggunakan dana donatur yaitu keluarga besar H. Awaloeddin. Bangunan baru masih mempertahankan keaslian bentuk atap dan ukiran.

Surau Al-Irhash setelah renovasi
Surau Al-Irhash setelah renovasi

Sebenarnya surau Al-Irhaash merupakan markas alternatif tentara Fisabillilah. Markas awalnya berada di kediaman H Yahya, di pinggir Sungai Siak. Ia berbentuk rumah panggung dari kayu berwarna cokelat berarsitektur melayu. Rumah disertai tujuh anak tangga terbuat dari batu.

Sebuah catatan kecil ditulis tangan Drs. H.A. Tanwir Ayang, M.Si tokoh budayawan Pekanbaru tertempel di dekat pintu rumah. Catatan tersebut menjelaskan riwayat rumah H. Yahya.

Rumah didirikan tahun 1887. Pada awalnya digunakan untuk basis pejuang Fisabilillah sekaligus Gudang Logistik dan Dapur Umum. Tahun 1958 pasca kemerdekaan rumah tersebut dijadikan tempat tinggal Tentara Nasional Indonesia Pusat di era penumpasan pemberontakan PRRI Sumatera Bagian Tengah khususnya Riau.

Saat ini rumah H. Yahya digunakan untuk kegiatan kelompok Swadaya Masyarakat Tenun Kain Songket di Kampung Bandar Senapelan.

Ada jendela kayu dengan dua daun jendela di setiap ruangan rumah H Yahya. Jendela bisa dibuka dengan cara mendorong ke arah luar. Begitu dibuka, udara tepian Sungai Siak berhembus masuk ruangan. Lantai bagian bawah digunakan sebagai gudang penyimpanan barang.

Rumah H Yahya sudah ada sejak tahun 1887
Rumah H Yahya sudah ada sejak tahun 1887

“Dalam adat melayu, bentuk rumah menentukan strata sosial si empunya rumah,” kata Elmustian. Dalam catatan Tanwir Ayang tertulis H. Yahya seorang tauke getah karet. “Terbukti ini rumah orang kaya. Lihat saja rumahnya tinggi dan tangganya dari batu, banyak pula anak tangganya,” lanjut Elmustian.

 

TEMPAT bersejarah lainnya adalah terminal lama kota Pekanbaru di tepian Sungai Siak. Letaknya tepat di bawah Jembatan Siak III. Situs terminal yang tersisa hanya dinding beratap dari batu. Jembatan Siak III sendiri diresmikan pada 3 Desember 2011 dengan nama Jembatan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzamsyah oleh Gubernur Riau. Jembatan ini jadi penghubung wilayah Pekanbaru kota dengan Kecamatan Rumbai yang dibelah Sungai Siak. Jembatan Siak III berwarna kuning dengan panjang total 520 meter dan panjang bentang 170 meter.

Terminal lama kota Pekanbaru tak terawat. Lumut menempel di tiap bagian hingga menghitam. Jika hujan, rumput di sekitar kawasan terminal akan terendam air. Coretan-coretan menghiasi dinding batu serta atapnya.

Terminal lama kota Pekanbaru
Terminal lama kota Pekanbaru

Sekitar limapuluh meter dari terminal lama, ada bangunan tua dari kayu. Dindingnya dari papan bercat kuning beratap limas. Bangunannya berbentuk panggung dengan ukiran khas melayu. Lebih dari empatbelas tiang sebagai penyangga rumah. Rumah ini dibangun pada 23 Juli 1928, seperti tertera di tangga batunya.

Ini rumah singgah Tuan Qadhi H Zakaria. Ia seorang pimpinan yang mengelola tiga aspek pemerintahan pada masanya: pimpinan adat, pim-pinan agama dan pimpinan sosial. Rumah ini terletak di pinggir Jalan Perdagangan, di tepi Sungai Siak.

Rumah singgah tersebut tampak kurang baik pengelolaannya. Beberapa jendela ditutup dengan palang papan dari luar. Tak beraturan. Banyak pakaian usang, sepatu dan sampan di kolong rumah. Tali rafia bergantungan. Pintu masuk digembok seadanya.

Kediaman tetap Tuan Qadhi H Zakaria berada di Jalan Senapelan Gang Pinggir, tepat di belakang kompleks Masjid Raya Pekanbaru. Bangunannya bergaya Eropa klasik dicat putih. Amat kontras dengan rumah singgahnya yang berarsitektur khas Melayu.

Sebagian pekarangan ditanami aneka bunga dan rumput hias. Sebagian lagi berupa tanah dengan bebatuan kecil. Bagian belakang rumah terdapat kamar dua lantai. Di teras sampingnya ada dua kursi jati melengkung serta meja bulat. Sedangkan di pintu depan, bagian kiri dan kanannya tergantung lampu hias.

 

“HARUSNYA peninggalan kita ini dijaga, kalau ini terkesan dilupakan,” ujar Ade mahasiswa rombongan Jelajah Kampung Bandar Senapelan. Elmustian menambahkan bahwa sejarah tak seharusnya diubah. “Contohnya ini. Di sini sebenarnya titik nol kota Pekanbaru. Bukan di tugu Zapin di pusat kota sana,” papar Elmustian.

Saat itu jelajah rombongan sudah tiba di tugu titik nol kota Pekanbaru. Ia berada di Gudang Pelabuhan Indonesia I (Pelindo I) Kelurahan Kampung Dalam Kecamatan Senapelan. Tugu titik nol berupa batu persegi sertinggi 70 senti meter. Ia kelihatan kokoh namun sudah menghitam.

Pada batu tertulis “Pad 313, Bkn 65, Pb 0”. Tulisan tersebut menyatakan jarak dari Pekanbaru ke Padang 313 kilo meter dan dari Pekanbaru ke Bangkinang 65 kilo meter. Di bawahnya terdapat lambang dinas Pekerjaan Umum. Namun sejak tahun 1986, batu ini tak lagi dianggap sebagai kilo meter nol Pekanbaru. Kini ia tampak tak terawat lagi.

Selemparan batu dari tugu titik nol Pekanbaru, kami melihat sebuah rumah tingkat dua berdinding papan dan triplek. Dilihat dari luar, lantai dua rumah dipenuhi kain jemuran. “Itu dulu kedai pertama Kimteng,” kata Elmustian.

Kimteng dikenal sebagai kedai tempat ngopi di Pekanbaru. Kimteng sesungguhnya merupakan nama orang. Siapa Kim Teng? Nyoto mengabadikan biografi Kim Teng dalam sebuah buku berjudul Dari Perjuangan Hingga Kedai Kopi.

 

TANG Kim Teng lahir di sebuah rumah sederhana di pinggir kota Singapura pada Maret 1921. Nama kecilnya A Ngau. Ayahnya bernama Tang Lung Chiu dan Maknya Tan Mei Liang. Ia anak ketiga dari 5 bersaudara. Leluhurnya berasal dari kampung Kwanchiu, Tiongkok. Kim Teng pernah tinggal di Siak, Sungai Pakning, Bengkalis, dan Pekanbaru. Ia berasal dari keluarga amat sederhana. Mereka pindah-pindah untuk mencari kehidupan lebih baik.

Ketika berusia 4 tahun, dari Singapura, Kim Teng bersama keluarganya pindah ke Pulau Padang, Bengkalis, Riau. Ayahnya kerja jadi tukang masak camp di sana. Tak berapa lama, mereka pindah lagi ke daerah Siak Kecil, masih di Kabupaten Bengkalis. Di sini kerja Lung Chiu, ayahnya, serabutan. Tahun 1931, saat usia Kim Teng 10 tahun, keluarga putuskan pindah dari Siak Kecil ke Sungai Pakning. Di situ, mereka menumpang di sebuah rumah orang Tionghoa kaya dekat kantor Bea Cukai. Namanya Sun Hin atau biasa disapa ‘Toke Gemuk’. Di sini, profesi Lung Chiu sama dengan di Siak Kecil, kerja serabutan.

Tahun 1934 mereka pindah lagi ke Pulau Bengkalis. Waktu itu usia Kim Teng 13 tahun. Mereka juga sewa rumah sederhana di Jalan Makau–sekarang Jalan Hokian. Di Bengkalis Lung Chiu kerja jadi tukang masak di sebuah sekolah Tionghoa. Bagi Kim Teng, ayahnya seorang pekerja keras dan ulet.

Tahun 1935 Kim Teng pindah ke Pekanbaru. Usianya 14 tahun ketika itu. Di Pekanbaru, ia tinggal bersama kakak keduanya, Tang Tjun Lan dan abang iparnya (suami kakak kedua), Bok Tong An yang sudah lebih dulu tinggal di Pekanbaru. Di Pekanbaru, Kim Teng disekolahkan oleh abang iparnya. Ia bersekolah di Pek Eng, sebuah sekolah Tionghoa milik Chung Hwa Chung Hui. Di sekolah ia belajar banyak hal. Karena sekolah pula ia tahu Belanda dan Jepang sangat kejam menyiksa warga pribumi. Jiwa nasionalismenya mulai tumbuh.

Tahun 1939, Setelah empat tahun Kim Teng di Pekanbaru, keluarganya pindah ke Pekanbaru. Kepindahan ini membuat kondisi ekonomi mereka semakin sulit. Ini memaksa Kim Teng berhenti dari sekolah dan mulai cari kerja untuk bantu ekonomi keluarga. Ia jadi tukang jahit. Kemudian alih profesi jadi pedagang gula tebu dan gula kelapa. Saat itu masih musim penjajahan tentara Jepang.

Tahun 1943, saat berusia 22 tahun, Kim Teng menikah dengan seorang gadis asal Dabo Singkep, Pulau Bangka bernama Tjang Fei Poan. Dua tahun kemudian, putra pertama mereka bernama Kaliono Tenggana lahir. Tak berapa lama setelah itu, Kim Teng putuskan ikut berjuang aktif mempertahankan kemerdekaan. Ia bergabung di Resimen IV Riau bagian Siasat Perang dan Perbekalan pimpinan Hasan Basri. Tugas utamanya, memenuhi permintaan sejumlah barang perbekalan, terutama senjata, alat peledak, pakaian tentara, sepatu, obat-obatan, dan perbekalan lainnya.

Pada masa Agresi Belanda I itu lahir putra kedua Kim Teng dan Fei Poan, tepatnya tahun 1947. Di penghujung perjuangannya, tahun 1949, lahir putri ketiga, Liliana Tenggana. Kelahiran Liliana menjadi tanda Kim Teng menutup lembaran perjuangannya. Tahun 1949 pula, melalui Konferensi Meja Bundar, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia.

Otomatis Kim Teng jadi veteran pejuang ’45. Selain itu, ia tak lebih dari seorang pengangguran. Saat itu usianya 30 tahun dan harus menghidupi seorang istri serta tiga anak. Ia cari akal. Kemudian dapat jalan dengan membantu kakak keduanya, Tjun Lan, yang sudah lebih dulu buka usaha kedai kopi di Pekanbaru. Usaha mereka terletak di Jalan Sago, di sebuah rumah sewa berdinding papan beratap daun rumbia berlantai tanah. Kedai kopi itu bernama ‘Kedai Kopi Yu Hun’. Kedai kopi umumnya dimiliki warga Tionghoa suku Hailam. Konon, kopi orang Hailam lebih nikmat rasanya.

Di tengah kesibukan mengurus kedai kopi, Kim Teng dan Fei Poan kembali dikaruniai dua anak perempuan. Satu lahir tahun 1951, yang satunya tahun 1953. Jadi mereka sudah punya 5 anak. Tahun 1955, kedai kopi Yu Hun pindah ke sekitar tepian Sungai Siak. Mereknya pun diganti menjadi ‘Kedai Kopi Nirmala’. Usaha kedai kopi sempat mandek saat peristiwa pemulangan warga Tionghoa ke Tiongkok tahun 1959. Beruntung Kim Teng tak kena gusur ke Tiongkok.

Setelah situasi reda, ia mulai buka usaha kedai kopi kembali. Namanya ‘Kedai Kopi Segar’. Saat itulah Kim Teng dan istrinya kembali dikaruniai anak. Tahun 1955 lahir anak lelaki bernama Tang Kok Sun. Setahun berikutnya lahir anak perempuan bernama Tang Lie Lian. Lie Lian menjadi anak bungsu Kim Teng dan Fei Poan.

Seiring dengan bertambah banyak anak, usaha kedai kopi makin berkembang. Tahun 2002, Kedai Kopi Segar, yang lebih dikenal dengan nama ‘Kedai Kopi Kimteng’ dipindahkan ke Jalan Senapelan. Kini, Kedai Kopi Kimteng sudah punya enam cabang di Pekanbaru: Jalan Senapelan (pusat), Mall Ciputra Lantai 2, Mall SKA, Perpustakaan Soeman HS Lantai Dasar, RS Awal Bros Pekanbaru dan Suzuya Departemen Store Senapelan Pekanbaru Lantai 2.

Kedai Kopi Kimteng di Jalan Senapelan jadi tempat kami menikmati sarapan sebelum menjelajah Kampung Bandar Senapelan. #