Diteriknya sinar matahari, Tim Pundi Sumatra lewati jalan sempit menuju area pepohonan Konservasi PT Kojo pada Sabtu (18/3). Medan yang cukup sulit ditempuh sebab dipenuhi oleh ranting dan dedaunan yang berserakan. Tak jarang kaki tersandung sebab dahan yang setinggi mata kaki. Pun pandangan tertutupi oleh dedaunan yang rendah. Terlihat juga ada banyak tumpukan buah sawit yang telah matang.
Dipandu ahli, hutan asri itu dijelajah. Bersama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) dan Rimba Satwa Foundation (RSF). Turut pula Fasilitas Wilayah Tropical Forest Conservation Action yang ikut dalam petualang. Hadir Git Fernando, ia adalah pemandu perjalanan sekaligus Menager Elephant Monitoring Tim (EMT) dari RSF. Tim menyimak informasi darinya sembari mencatat dibuku.
Tak terasa perjalanan yang ditempuh hingga akhirnya sampai di area konservasi PT Kojo. Berada di Duri tepatnya Raya Kelurahan Balai Raja. Hanya 4 kilometer dari jalan utama. Daerah ini merupakan tempat perlintasan Gajah Sumatera yang berdekatan dengan kawasan jalan Tol Trans Pekanbaru – Dumai.
Area PT Kojo dikeliling pepohonan yang masih asri. Beragam satwa ada di sana. Semacam tapir, beruang muda, monyet, hingga gajah. Diperkaya lagi dengan adanya presbytis percura. Ialah primata endemik yang hanya ada di Riau. Primata ini miliki panjang tubuh hingga capai 40-60 cm.
Ada juga berbagai jenis tanaman. Ialah 750 bibit pohon, dan 500 bibit bambu. Ditambah 250 bibit pisang. Ditanam guna menjadi pakan gajah yang berkeliaran di sekitaran hutan.
Nando sendiri sudah lama menggeluti pekerjaannya dalam melindungi satwa. Sambil berjalan ia bercerita panjang lebar tentang area konservasi PT Kojo. Dari senyumnya terhias ia sangat suka melakukan pekerjaannya. Nando sampaikan Hutan Alam PT Kojo sudah lama ada, saat dulunya keseluruhan area Riau merupakan hutan.
PT Kojo bergerak untuk melindungi spesies dari kepunahan, memelihara satwa dan memberikan tempat tinggal yang layak. Tak hanya itu, tugas PT Kojo juga untuk merawat dan mengembangkan ekosistem, serta perlindungan keanekaragaman hayati yang ada. Area PT Kojo merupakan wilayah kerja RSF dalam penyelamatan Satwa Gajah Sumatera.
“Gajah merupakan salah satu satwa yang dilestarikan di Hutan Alam PT Kojo,” ucap Nando semangat.
Nando yang merupakan geographic information system (GIS) dan analisis data ini sampaikan bahwa hutan di PT Kojo telah dijaga sedemikian rupa. Dengan lantang ia sebut kalau perusahaan tak segan mengambil jalur hukum apabila ada karyawan yang mencuri kayu ataupun menyalahgunakannya.
“Karena sudah ada undang-undang yang mengatur,” pungkasnya.
Lanjutnya, Hutan Alam PT Kojo juga menjadi sasaran pengunjung dari mancanegara. Tak jarang mereka menyewa tempat hanya untuk bekerja di tengah hutan, sebab suasananya yang masih asri.
Perjalanan terus dilanjutkan hingga tim sampai ke pemandian khusus gajah. Diameternya cukup luas, sekeliling kolam ditutupi dedaunan yang tinggi dengan debit air yang cukup dalam. Kolam itu menjadi tempat gajah-gajah menyejukkan dirinya dengan cara berendam.
Nando sampaikan ada tiga kolam khusus gajah yang tersebar di area Hutan Alam Konservasi PT Kojo itu. Sayangnya saat tim sampai, tidak ada gajah di sana. Nando bilang gajah hanya ada di kolam pemandian pada pagi hari. Keinginan untuk mengabadikan potret gajah berendam pun sirna.
Tak hanya pemandian khusus gajah, di Hutan Alam PT Kojo juga ada sebuah kotak yang berukuran sekitar 1×2 meter untuk kegiatan penggaraman. Fungsinya memberikan nutrisi agar satwa memperoleh garam mineral dan penguat untuk tulang gajah. Ada lima titik yang tersebar di dalam hutan.
Lalu, ada pengkayaan pakan Gajah Sumatera. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir kematian gajah non alami dan interaksi negatif masyarakat yang disebabkan oleh gajah. Dengan dasar kecintaannya terhadap satwa, Nando ingin melestarikan habitat satwa liar agar terhindar dari ancaman yang ada terkhususnya gajah.
Kehidupan Gajah di Areal PT Kojo
Abidin Sria Jojon, polisi hutan BBKSDA ceritakan kehidupan gajah yang berada di Areal PT Kojo. Ia bilang, gajah berada di dekat Hutan Talang, di Jambon tepatnya kuburan umum Kota Duri.
Jojon sampaikan perbedaan gajah jantan dan betina. Ia sebut, gajah jantan bergerak secara acak atau soliter. Beda dengan pergerakan gajah betina yang berjalan bersama anaknya dan memiliki jalur tetap.
Gajah menyukai tempat dingin dan tidak panas. Saat pagi, gajah akan memilih untuk berendam dan tidur di siang hari. Biasanya gajah bergerak pada waktu malam hari untuk mencari makan. Makanannya pun beragam seperti rumput, bambu, pisang, cempedak, dan sebagainya.
“Tapi di pusat pelatihan gajah, sifat dan aktivitas gajah diubah. Gajah bergerak di siang hari untuk mencari makanan,” jelasnya.
Di area PT Kojo, ada gajah yang sering berkunjung ke hutan alam, yaitu gajah yang diberi nama Codet. Usianya sudah tua, sekitar 41 tahun. Gajah Codet terkenal sebab menjadi pemberitaan karena memasuki area tol. Nando sampaikan PT Hutama Karya (HK) pun membangun lima terowongan gajah di Tol Trans Sumatera itu.
“Saat itu, Codet berjalan pulang sehabis melakukan kawin. Codet pun berani melalui lintasan umum ke pemukiman penduduk. Banyak gajah yang melewati jalan atas atau tol namun yang viral hanya gajah Codet,” jelas orang yang akrab disapa Jojon.
Pria yang berpuluh tahun berprofesi sebagai penjaga gajah ini bercerita pengalaman temannya. Sambil terkekeh ia menceritakan kesalahan seorang petugas yang lalai dan tidak dalam jarak aman dengan gajah.
Kronologisnya, petugas itu sedang menghisap sebatang rokok dengan jarak kurang dari 10 meter. Angin pun membawa asap rokok itu ke arah gajah yang sedang tertidur pulas. Petugas yang menyadari kesalahannya pun segera mengalihkan arah asap rokok itu namun gajah segera mengetahuinya dan menimbulkan amarah gajah.
“Naas aksi kejar-kejaran pun tak dapat dielakkan,” kelakarnya.
Jojon pun berikan tips agar aman dari serangan gajah, yaitu dengan menjaga jarak sekitar 50 meter. Untuk mendekati gajah pun harus dilakukan secara hati-hati dan dapat dilihat dari telinganya. Jika telinga gajah bergerak santai, artinya ia dalam keadaan nyaman dan tenang. Sebaliknya, jika telinga gajah terlihat tegang artinya ia merasa terancam dan siap untuk menyerang.
Perilaku gajah juga kerap berubah-ubah. Dulu gajah dihalau dengan gertakan akan pergi. Sekarang gajah mau mengejar hingga jarak 100-200 meter. Tergantung kemampuan masing-masing petugas.
“Harus punya skill menangani gajah untuk bisa tenang saat didekati. Membaca arah angin pun diperlukan. Untuk mendekati gajah seseorang harus berlawanan dengan arah angin,” ucap Jojon.
Gajah sekarang sudah bisa beradaptasi dengan kehidupan manusia, kata Jojon, sehingga dapat mengikuti alur lingkungan maupun kehidupan. Sifat gajah itu pintar dan daya ingatnya tinggi. Apabila ia telah mengenali manusia maka akan ditandai seterusnya dari suara atau bau manusia tersebut.
Ada dua tips untuk menyelamatkan diri dari serangan gajah. Cara pertama yaitu melompat ke parit atau memanjati suatu pohon. Gajah tidak akan menyakiti atau membunuh kecuali saat ia merasa terpojok atau terancam. Cara kedua yaitu membawa dua baju untuk antisipasi, luaran dengan baju dalam. Apabila dikejar gajah bisa melakukan pengalihan dengan membuka baju luar dan melemparnya.
Jojon bilang pelatihan gajah terbagi tiga versi yakni gajah untuk patroli, gajah untuk memberikan edukasi, dan gajah tunggang. Selanjutnya pengembangan untuk bisa beradaptasi dengan masyarakat.
“Penjinakkan gajah bukan untuk pemaksaan atau penyiksaan. Gunanya untuk menyelamatkan satwa karena sistem rimba. Kita juga memberikan dukungan dengan memberi gula dan makanan,” jelas Jojon untuk membenahi pikiran masyarakat yang mengira menyiksa satwa itu.
Untuk perawatan gajah, Jojon dan teman-temannya melakukan perawatan tiga bulan sekali. Perawatan dilakukan dengan pemberian vitamin, memeriksa berat badan dan kesehatan, serta pemberian gizi yang cukup untuk gajah. Jika bertemu dengan gajah yang terjerat, mereka akan melepasnya dari jeratan untuk diberikan obat. Setelah pulih, gajah kembali dilepas ke habitatnya.
Umur gajah sama dengan umur manusia. Penyakitnya pun sama seperti manusia, yakni tuberkulosis, cacingan dan gondokan. Bedanya gajah tidak dapat menularkan penyakit yang diidapnya.
“Manusia dapat menularkan penyakit tapi gajah tidak dapat menularkan,” pungkasnya.
Jika menemukan gajah yang telah mati, Jojon dan timnya akan membawa ke laboratorium untuk diselidiki sebab kematiannya. Lalu akan dikubur sebagaimana mestinya. Tak lupa gading gajah yang mati akan diamankan. Sebab khawatir akan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Terkadang Jojon merasa iba dengan gajah yang mati sebab dikira merusak tanaman petani dan perumahan warga. Sepengalamannya, ada gajah yang mati sebab jaring yang seharusnya menjerat babi hutan. Gajah yang awalnya luka menjadi cacat dan akhirnya mati.
“Gajah bukan merusak tapi habitatnya yang dirusak. Kalau habitat gajah bagus, gajah tidak akan merusak,” ucapnya.
Setelah menyusuri trek gajah, tim diperlihatkan dengan fasilitas menara pandang gajah. Panjangnya mencapai 50 kilometer. Warnanya hijau sesuai pemandangan di sekitarnya. Dari atas menara terlihat underpass atau terowongan gajah dan jalan Tol Pekanbaru-Dumai. Di bawah langit biru dengan dihiasi sinar keorenan, netra tak bisa berkedip memandang betapa indahnya Hutan Alam PT Kojo itu.
Jojon sebut, ilmu mengenal satwa tidak bisa hanya dipelajari secara teori. Harus diiringi dengan pengalaman turun ke lapangan. Dirinya pun dijuluki sebagai mahout. Yaitu mereka yang sehari-harinya bekerja merawat, menjaga, dan melatih gajah. Ia sangat menyukai pekerjaannya sebagai mahout.
“Seenak apapun kalau kita mikirnya gak enak pasti gak enak. Di mahout itu kalau dia belum pernah jatuh dari gajah, belum pernah diinjak oleh gajah. Dia bukan seorang mahout,” ucap Jojon sembari tertawa.
M.Sutono Koordinator Wilayah Sumatera Bagian Tengah dari Pundi Sumatra sampaikan agar generasi mililenial harus lebih peduli pada kelestarian alam. Juga diperlukan jurnalis muda yang peduli terhadap konservasi. Tentunya alam akan memberi dampak positif bagi makhluk hidup lainnya.
“Dengan berbicara hanya beberapa orang yang terpengaruh, tapi dengan menulis dampak mempengaruhi jutaan pembaca. Jadilah jurnalis yang menghasilkan tulisan yang berdampak positif bagi pembacanya,” tutup Sutono.
Penulis : Arthania Sinurat
Editor : Denisa Nur Aulia