Sungai yang dulunya sebagai jalur transportasi utama masyarakat Riau kini mulai ditinggalkan. Berbagai masalah muncul seiring ditinggalkannya sungai ini. Pencemaran, pendangkalan bahkan budaya melayu sendiri mulai hilang.

Oleh Nurul Fitria

DERU MESIN TERDENGAR DARI ARAH EKOR PERAHU. Awalnya bersuara pelan, dan detik demi detik bertambah kencang. Ia diiringi dengan pergerakkan perahu yang sedikit terombang ambing ke kanan atau kiri. Terlihat dari arah badan para penumpang yang ikut bergoyang. Perahu bergerak perlahan meninggalkan dermaga, dalam hitungan menit, ia tengah mengarungi Sungai Siak.

Perahu ini kerap disebut speedboat. Perahu cepat yang melintas Sungai Siak. Ia dijadikan moda transportasi antar kabupaten. Dari Pekanbaru menuju Selat Panjang, Bengkalis ataupun Siak. Para penumpang bisa menggunakan speed—biasa disingkat—dengan membeli tiketnya di Pelabuhan Sungai Duku.

Di dalam speed berjajar tempat duduk penumpang. Dibagian kiri dan kanan. Dibelakang nakhoda speed ada 8 baris kursi kayu panjang dilapisi busa tipis. Masing-masing bisa memuat 2 orang dewasa. Begitu pula dibagian kiri.

Empat baris dari belakang speed, bagian kiri dan kanan penumpang ditutup badan speed hingga kebagian atap. Sehingga untuk melihat sungai, hanya bisa melalui jendela selebar satu jengkal tangan lelaki dewasa. Namun dibagian depan, badan speed tertutup hanya sampai seukuran bahu saat duduk dikursi penumpang. Saat sudah memulai perjalanan, bagian ini ditutup terpal besar, agar tak kepanasan, atau kehujanan.

Barang-barang penumpang diletakkan di atap speed. Ia diikat atau ditutup terpal pula. Seorang petugas speed duduk dibagian atap ini jika ia tak berada disamping nakhoda.

Jika berangkat dari Pelabuhan Sungai Duku dengan tujuan Pelabuhan di Kota Siak Sri Indrapura, penumpang cukup membayar tiket Rp 80 ribu sampai Rp 90 ribu perorang. Perjalanan yang ditempuh sekitar satu atau satu setengah jam. Lebih cepat dibanding tempuh jalan darat yang bisa mencapai 2 hingga 3 jam.

Jika bosan berada dikursi penumpang, keluar ke bagian dekat mesin speed bisa jadi pilihan. Atau naik kebagian atap. Menikmati pemandangan menyusuri Sungai Siak. Namun resikonya adalah mendengarkan deru mesin speed yang cukup mengganggu pendengaran.

 

RIAU MERUPAKAN PROVINSI YANG PUNYA LUAS PERAIRAN MENCAPAI 18,8 RIBU KILOMETER PERSEGI. Ia punya empat sungai besar, salah satunya Sungai Siak, sungai terdalam di Riau ataupun  indonesia. Dari wikipedia.org dijelaskan dahulu kedalamannya mencapai 30 meter. Sungai ini kerap dijadikan sarana transportasi air bagi kapal besar membawa peti kemas atau kapal tanker. Ia membentang di Pekanbaru, Kampar, Siak dan Bengkalis.

Sungai besar lainnya, Sungai Kampar, ia membentang di dua provinsi, Sumatera Barat dan Riau. Dengan hulu di Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Lima Puluh Koto Sumatera Barat dan hilir di pesisir Riau. Ia dijadikan sumber penggerak di Pembangkit Listrik Tenaga Air XIII Koto Kampar.

l2-peta-wilayah-sungai-di-riau
Wilayah Sungai di Riau

Sungai terpanjang yang dimiliki Riau adalah Sungai Indragiri, membentang di dua provinsi. “Sungai ini dari Danau Singkarak dan melintasi Kuantan Singingi hingga Indragiri Hilir,” ujar Tengku Ariful Amri, Dosen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengatahuan Alam Universitas Riau. Ia juga Direktur Rona Lingkungan UR yang banyak meneliti soal keadaan sungai.

Sungai besar terakhir ialah Sungai Rokan. Ariful menjelaskan sungai ini melintas 3 provinsi. Dimana huunya berada di Sumatera Utara, bagian tengah di Riau dan hilirnya di Sumatera Barat.

Dari laporan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau yang dirangkum dalam Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Riau tahun 2013, diperoleh data panjang dari tiap sungai. Sungai Indragiri yang terpanjang, mencapai 645 kilometer. Disusul posisi kedua dan ketiga, Sungai Kampar, 580 kilometer dan Siak 345 kilometer. Sedangkan Sungai Rokan sekitar 325 kilometer.

Air dari sungai-sungai tersebut secara keseluruhan dipergunakan untuk kebutuhan perekonomian ataupun pemenuhan kebutuhan rumah tangga. “Kalau dari zaman dulu, sungai itu dijadikan alat transportasi,” ujar Elmustian, , Ketua Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan atau P2KK Universitas Riau. Ariful sependapat dengan Elmustian. Menurutnya selain transportasi, sungai juga dijadikan sumber pengairan untuk kebun ataupun lahan pertanian.

Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 membagi kriteria dari pemanfaatan air dalam 4 kelas. Kelas pertama jika air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan baku air minum. Kedua air yang diperuntukkan untuk sarana prasarana rekreasi, budidaya ikan tawar, peternakan atau pengairan tanaman. Kelas selanjutnya yaitu khusus untuk budidaya ikan, peternakan dan pengairan tanaman. Kelas terakhir adalah air yang digunakan untuk pengairan tanaman.

BLH menjelaskan bahwa 92 persen keempat kelas tersebut dipenuhi oleh 4 sungai besar di Riau. Masyarakat banyak menggunakan sungai sebagai pemenuhan kebutuhan sesuai pembagian peraturan tersebut.

Data dari Dinas Perhubungan Provinsi Riau tahun 2013, sebagai sarana transportasi, sekitar enambelas pelabuhan dibangun di perairan Riau. Ada pelabuhan untuk bongkar muat barang, cargo ataupun pelabuhan penumpang.

Sebanyak 10 pelabuhan bongkar muat barang dan cargo terdapat di Sei Pakning, Pekanbaru, Sungai Guntung dan Rengat. Daerah lainnya di Tembilahan, Kuala Enok, Selat Panjang, Batu Panjang, Tanjung Medang dan Kuala Gaung. Untuk pelabuhan umum penumpang terdapat di Pelabuhan Sungai Duku, Kuala Cenako, Sei Buatan, Panipahan dan Sinaboi.

 

“DAHULU ORANG MEMBANGUN RUMAH ITU MENGHADAP SUNGAI,” ujar Elmustian. Ia menjelaskan makna sungai bagi masyarakat melayu.

Sungai sebelum masa kemerdekaan merupakan urat nadi transportasi dan perekonomian masyarakat. Terutama di Riau. Sebagai sungai besar yang menghubungkan Kerajaan Siak, Sungai Siak menjadi pilihan utama. Begitu pula dengan daerah lainnya. Pusat perdagangan akan dilakukan di sungai. Pengangkutan karet ataupun barang dagangan yang hendak di bawa ke Malaka akan gunakan kapal dan melalui sungai.

Kehidupan masyarakat melayu pada kala itu kental dengan melayu pesisir. Sebab mereka memang hidup dipinggiran sungai. “Biasanya tiap satu rantau selalu ada masyarakat yang mendiaminya.

Maksud dari satu rantau ialah jarak dari  satu tanjung menuju teluk disebuah pinggiran sungai. Tanjung merupakan bagian tanah yang menjorok ke sungai dan teluk adalah bagian sungai yang menjorok ke daratan. Diantara teluk dan tanjung tersebut, masyarakat melayu akan membangun kampung.

Kampung inilah yang menjadi hutan tanah bagi masyarakat melayu. Dimana pembagiannya ada tempat tinggal, tanah dusun, tanah peladangan dan rimba larangan. Masyarakat akan menggunakan sungai sebagai sumber pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Seperti sumber air ataupun mencari ikan.

Ketika membangun kampung, daerah tanjung akan dihindari utnuk dijadikan areal kelola. Sebab bahaya terjadinya abrasi atau pengikisan daratan akibat aliran sungai. “Nanti bisa jarak berapa rantau, ada desa lagi. Ini tergantung tanah kampung bisa dikelola atau tidak,” ujar Elmustian.

tengah
Warga di pinggirn Sungai Siak gunakan sungai sebagai tempat mencuci.

Ariful menjelaskan hal senada. Ia tekankan, walaupun sungai menjadi sumber kehidupan masyarakat, bukan berarti masyarakat dahulunya merusak sungai. “Kalau mencuci limbah rumah tangga, justru mereka mengangkat air ke rumah,” tukas dosen yang banyak meneliti soal pencemaran daerah aliran sungai ini.

Ia jelaskan bahwa soal mencuci piring dan pada akhirnya membuang sampah rumah tangga di sungai ikut berkontribusi menyebabkan pencemaran sungai. “Inilah pergeseran gaya hidup orang-orang zaman sekarang,” sesalnya. Menurutnya justru kini banyak orang dengan seenaknya membuang sampah ke sungai.

Elmustian berpendapat sama. Semenjak jalan didaratan sudah banyak dibangun, masyarakat tak lagi membangun rumah menghadap ke sungai. “Justru rumah itu membelakangi sungai, makanya limbah-limbah rumah tangga jadi enak dibuang ke sungai,” elmustian berujar.

 

PERGESERAN PEMAHAMAN TERKAIT MEMANFAATKAN SUNGAI MEMBAWA DAMPAK BESAR. Ariful menjelaskan dampak terbesar ialah terjadinya pencemaran kualitas air sungai. Disusul dengan berkurangnya daya dukung dan daya tampung sungai. Dan pada akhirnya ini berdampak pada kelayakan air sungai digunakan sebagai pemenuhan kelas yang disebutkan PP nomor 82 tahun 2001.

Terkait pencemaran sungai, BLH melaporkan bahwa penyebab terbesarnya karena kegiatan industri, penambangan emas tanpa izin atau PETI serta limbah rumah tangga, insutri ataupun rumah sakit. Dampak terbesar, dalam beberapa tahun kedepan, bisa terjadi krisis air di Riau.

Pencemaran lingkungan hidup dalam hal ini sungai juga dijelaskan dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2009. Dimana pencemaran lingkungan air berarti masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lainnya kedalam air. Karena hal ini baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan terlampaui dan kualitas air menurun sehigga tak bisa berfungsi sebagaimana mestinya.

Perdana Ginting menuliskan dalam penelitiannya terkait sistem pengelolaan lingkungan dan limbah industri terkait kondisi air yang tercemar.  Jika terjadi perubahan pH air, serta terjadi perubahan fisika warna berupa perubahan warna, bau dan suhu, ada indikasi air tercemar. Juga jika permukaan air tertututp lapisan terapung seperti minyak, lemak dan bahan padatan lain dan terjadi peningkatan bahan organik.

Ariful pernah melakukan penelitian terkait pencemaran sungai di Riau ini. Ia meneliti di Sungai Siak pada 2005. Pada saat itu ia merilis hasil penelitiannya pada 2007.

Ia jelaskan bahwa dampak dari banyaknya residu tersuspensi di sungai, menyebabkan kedalaman sungai berkurang. Ia meneliti kedalaman Sungai Siak sejak 1996. “Saat itu kedalaman Sungai Siak masih sekitar 29 meter,” ceritanya. Tahun demi tahun berlalu, kini kedalaman Sungai Siak tak lagi melebihi 20 meter. “Paling tidak lebih dari 15 meter.”

Ia katakan pada 2013 melakukan pengukuran kedalaman Sungai Siak didaerah Pelabuhan Indonesia, Senapelan. Dari hasil temuannya, ia mendapatkan sampah plastik yang berada didasar sungai hingga mencapai ketebalan 3 meter. “Setiap tahun bisa diperkirakan rata-rata terjadi pendangkalan sungai sebesar 70 sentimeter,” ujarnya.

BLH Provinsi Riau menetapkan ada 3 parameter untuk menetapkan apakah baku mutu lingkungan hidup terlampaui atau tidak. Pertama terkait parameter fisika, dengan melihat berapa banyak terdapat residu tersuspensi atau banyaknya zat padat yang ada di sungai dan tidak terlarut dengan air.

Kedua dilihat dari parameter kimia anorganik. Diantaranya, perubahan derajat keasaman (pH) dan berapa besar pemenuhan kebutuhan oksigen bagi bakteri. Oksigen ini digunakan bakteri di air untuk mengurai zat-zat yang ada di sungai menjadi bahan organik lebih sederhana, biasa disebut Biological Oxygen Demand (BOD). Selanjutnya juga ada Chemical Oxygen Demand (COD), jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik ataupun anorganik. Dan terakhir melihat kadar oksigen atau Dissolved Oxygen (DO). Semakin tinggi kadar oksigen, maka semakin bagus kualitas sungai. Ia berbanding terbalik dengan BOD dan COD, dimana jika nilai keduanya tinggi, maka sungai dalam kondisi tercemar.

Parameter ketiga ialah melihat mikrobiologi yang terkandung didalam sungai. Yang dilihat, berapa banyak konsentrasi atau jumlah dari fecal coliform dan Total Coliform. Ini merupakan bakteri yang digunakan untuk melihat apakah telah terjadi pencemaran pada suatu perairan atau tidak. Jika jumlah dari fecal coliform meningkat, maka ia sudah dalam kategori tercemar.

BLH melaporkan keadaan keempat sungai di Riau pada 2013.

Dimulai dari Sungai Kampar, dinyatakan bahwa residu tersuspensi mencapai 200 mg/L. Terutama diwilayah Muara Lembu, Desa Lipat Kain dan Paku Singingi. Sedangkan perubahan pH terjadi penurunan dari batas normal. Dimana baku mutu pH berada dalam kisaran 6 hingga 9. Namun pH di Sungai Kampar kurang dari 6, bahkan di Muara Sungai Nilo, pH mencapai tingkat asam, yaitu 4. Begitu pula dengan kadar BOD dan COD yang tinggi sedangkan DO tidak memenuhi standar baku mutu. Sehingga kondisi Sungai Kampar telah melampaui baku mutu yang ada.

Bagaimana dengan ketiga sungai lainnya?

Hal yang sama juga terjadi. Telah terjadi pendangkalan dari tiap sungai, perubahan pH yang menjadi lebih asam bahkan peningkatan bakteri fecal coliform. BLH menjelaskan salah satu dampak dari peningkatan ini adalah kegiatan industri di sungai serta tingginya aktifitas pembuangan limbah baik rumah tangga, industri ataupun mandi, cuci dan kakus di keempat sungai tersebut.

Bahaya pencemaran air sungai menjadi isu prioritas yang ditangani BLH. Secara garis besar mereka merangkum penyebab dari pencemaran ini menjadi lima poin. Pertama arena banyaknya kegiatan ataupun usaha yang membuang limbah di sungai. Baik itu industri, penginapan, rumah makan, rumah sakit ataupun klinik.

Kedua, banyaknya pabrik kelapa sawit yang terletak didekat sumber air yang membuang limbah cair ke aliran sungai tersebut. Ketiga, banyaknya penambang emas tanpa izin atau peti yang membuat sungai keruh dan tercemar logam berat raksa perngolahan emas. Peti banyak ditemukan didaerah Sungai Indragiri serta Sungai Kampar.

Keempat terkait banyaknya kegiatan MCK yang dilakukan masyarakat di pinggiran sungai. Ini menjadi penyebab meningkatnya parameter fecal coliform. Dan terakhir pengelolaan limbah rumah tangga yang pada akhirnya membuat tercemar sumber air. Air yang tercemar menjadi penyebab munculnya berbagai penyakit seperti diare, heaptitis, kolera, tipus ataupun disentri.

 

“PENYEBAB PENDANGKALAN JUGA KARENA TERJADINYA ABRASI,” ujar Ariful. Menurutnya selain limbah yang dibuang sembarangan, banyaknya abrasi yang terjadi juga jadi sebab. Hal ini dikaitkannya dengan kondisi hutan di Riau saat ini.

Ia jelaskan, sepuluh tahun lalu, Riau hanya mengenal soal banjir sekali dalam 5 tahun. Dimana daya tampung dan dukung dari sungai sudah tak sanggup lagi menahan debit air, sehingga terjadilah banjir. Namun dulu, itu hanya terjadi dalam periode 5 tahun. “Sebab dulu hutan masih sanggup menyimpan air.”

Ia menyayangkan kini kondisi hutan Riau sudah banyak berkurang, hingga hutan alam di sekitar aliran sungai sebagai cadangan air tak ada lagi. Dampaknya, banjir menjadi hal wajib yang dihadapi setiap tahun.

BLH Riau melaporkan kabupaten yang rawan banjir diantaranya Kampar, Kuantan Singingi, Pekanbaru, Rokan Hulu dan Hilir, Indragiri Hulu, Pelalawan dan Dumai. Selain karena letak dari Riau yang berada dalam alliran 4 sungai besar, berkurangnya areal tutupan hutan juga jadi alasan. Dalam sepuluh tahun terakhir, tutupan hutan disekitar Sungai Kampar berkurang hampir 100 ribu hektar. Diperkirakan tiap tahunnya hampir 10 ribu hektar hilang sebagai area resapan air.

“Juga diperhatikan, hutan hilang sekarang, malah digantikan oleh sawit,” ujar Ariful. Ia jelaskan bahwa tanaman sawit dalam 1 hari membutuhkan 12 liter air perpohon.

Dari wikipedia.org dijelaskan sawit merupakan tanaman yang tumbuh dalam kawasan yang memiliki curah hujan stabil. Dimana areal tersebut tidak akan tergenang saat hujan serta tak kering saat kemarau. “Masalahnya sawit ini boros air, butuh banyak air, tapi saat air melimpah—banjir—dia malah tidak bisa menyerap air itu,” kata Ariful.

Sawit yang tumbuh dikawasan gambut dan tak dikelola dengan baik turut andil sebabkan banjir tersebut. Gambut sebagai kawasan yang terbentuk dari pengendapan sisa tumbuhan dengan kadar bahan organik tinggi ini membutuhkan kondisi yang basah. Ia dapat menyimpan air dengan kapasitas yang besar. Kawasan gambut di Riau luasnya mencapai 1,3 juta hektar.

Dari situs freelerningji.wordpress.com dijelaskan dalam kawasan gambut, areal yang menjadi tempat penyimpanan air, disebut kubah gambut. Ia menjadi penyedia cadangan air pada musim kemarau bagi kawasan disekitarnya. Dan saat hujan tiba, ia menjadi seperti ember yang menampung air tersebut.

Masalah akan muncul ketika gambut mengalami kekeringan dan pasokan air tidak ada untuk menjaga kawasan ini. Basuki Wasis, Dosen Institut Pertanian Bogor dan ahli kerusakan lingkungan hidup jelaskan dampak dari kurangnya air bagi gambut. Jika kadar air tidak dijaga, maka gambut yang ditanami sawit akan mengalami kekeringan. Ketika sudah kering karena konsumsi air dari sawit yang boros, maka fungsinya tidak dapat berjalan. Diperlukan usaha pemulihan yang memakan banyak biaya. “Karena gambut ini terbentuk beratus-ratus tahun terdahulu,” ujarnya. BLH Riau menyatakan bahwa sekitar 200 ribu hektar gambut di Riau telah rusak terhitung pada 2013.

Masalah muncul ketika hutan sudah mulai hilang dan gambut tidak berfungsi semestinya. Terjadilah abrasi atau pengikisan tanah. Karena tak ada lagi penahan dipinggiran sungai, tanah jadi jatuh ke sungai dan membuat sedimentasi atau endapan didasar sungai. Semakin banyak endapan disungai, maka kedalaman sungai akan terus berkurang.

Data dari BLH Riau memaparkan kedalaman dari Sungai Rokan pada 2013 berada dalam kisaran 6 hingga 8 meter. Sedangkan Sungai Siak berada diantara 8 hingga 12 meter. Kedalaman Sungai Kampar 6 meter dan Sungai Indragiri memiliki kedalaman yang sama dengan Sungai Rokan.

Efek dari pendangkalan, daya tampung air di sungai menjadi berkurang, daerah resapan air sudah hilang, “Datanglah banjir tiap tahun,” ujar Ariful.

Data dari Dinas Sosial Provinsi Riau, lebih dari 75 ribu jiwa terkena dampak bencana banjir tersebut. Ia tersebar di kawasan-kawasan rawan banjir yang telah disebutkan sebelumnya. Selain kerugian fisik berupa rusaknya rumah, sekolah atau jalan, masyarakat juga harus menanggung penyakit yang diakibatkan oleh banjir.

 

tengah-2
Eceng gondok di Sungai Siak

HUTAN DAN SUNGAI SEBAGAI TUAH DAN MARWAH MELAYU RIAU. Melambangkan harga diri dan tempat masyarakat melayu belajar. Dijelaskan dalam pantun-pantun serta tunjuk ajar melayu, bahwa banyak ilmu yang diambil dari alam. Seperti yang dijelaskan Tenas Effendy, didalam hutan banyak contoh teladan, didalam rimba banyak bermakna, didalam tanah banyak berfaedah, didalam laut banyak yang patut.

Sungai di Riau banyak digunakan oleh masyarakat untuk menjadi tempat penyelenggaraan tradisi. Diantaranya tradisi pacu jalur yang diselenggarakan di Kuantan Singingi. Jalur yang dibuat dari kayu dan dibentuk menjadi sebuah perahu dengan panjang 25 hingga 40 meter akan mengarungi sungai. Dengan jumlah pendayung di tiap jalur sekitar 25 orang.

Balimau juga kerap dilakukan di sungai-sungai Riau. Di Pekanbaru, sehari jelang masuknya Ramadhan, akan diadakan acara Balimau atau kerap disebut Petang Megang untuk di Pekanbaru dan Balimau Kasai untuk daerah Kampar. Masyarakat melayu memaknai kegiatan ini untuk menyucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa.

Dari Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau, Balimau telah dilakukan sejak 1935 didaerah Kampar. Pusat pelaksanaanya di Desa Batu Belah, Batu Sanggan. Bahan yang diperlukan seperti beras, kencur dan limau yang nantinya akan diperas. Beras da kencur serta campuran bahan lain akan ditumbuk dan dicampur dengan air mendidih. Begitu pula dengan air perasan limau. Bahan ini bisa dibuat oleh masing-masing warga atau dibuat secara berkemlompok.

Setelah bahan untuk belimau siap, ia akan dibawa menuju tempat upacara di tepi sungai. Sebelum melakukan belimau bersama, masyarakat akan mendengarkan pesan dan nasehat dari ninik mamak di surau atau mushala. Setelah itu barulah semua berangkat ke sungai dan mandi membersihkan diri.

Tradisi lainnya yang berhubungan dengan sungai ialah adanya lubuk larangan. Ini merupakan tradisi yang dimiliki masyarakat didaerah aliran sungai. Mereka akan menangkap ikan dalam waktu tertentu saja dan dilakukan sesuai dengan hukum adat didaerah tersebut. Lubuk larangan biasa dimiliki oleh setiap desa. Daerah Kabupaten Kampar Kiri Hulu merupakan areal yang banyak memiliki lubuk ini.

Lahasyim, Khalifah dari Desa Batu Sanggan yang terletak diairan Sungai Subayang, Kampar Kiri Hulu menjelaskan bahwa tradisi lubuk larangan  menjadi kekayaan budaya lokal. Biasanya akan dilangsungkan pembukaan lubuk larangan pada saat air dangkal 1 kali setahun.

Selama lubuk belum dibuka, masyarakat dilarang untuk menangkap ikan diareal tersebut. Tradisi ini ditujukan untuk menjaga kelestarian ikan yang berada di Sungai Subayang. Sehingga pada masa panen, jumlah ikan yang diperoleh sangat banyak, bahkan dalam ukuran yang beragam. “Ini bisa dijadikan objek wisata budaya di desa kami ini,” ujar Lahasyim.

Salah satu desa lainnya yang juga memiliki lubuk larangan adalah Desa Tanjung Belit. Amril atau yang bergelar Datuk Marajo menceritakan bahwa memang lubuk larangan menjadi khasanah lokal, namun berbagai ancaman sedang menghantui keadaan Sungai Subayang.

Amril bersama Ujang yang bergelar Datuk Singo dan Bardiansyah yang bergelar Datuk Paduko Sindo merupakan ninik mamak di Desa Tanjung Belit. Mereka mengeluhkan soal keadaan sungai. Sungai menjadi urat nadi kehidupan masyarakat di Kampar Kiri Hulu ini. Ia jadi satu-satunya jalur transportasi antar desa, serta tempat untuk mencari ikan. “Air kami ini mulai keruh, ikan juga mulai tak banyak lagi,” ujar Amril.

Menurut ketiga datuk, karena adanya penebangan kayu ilegal serta peti, inilah yang jadi penyebab terbesar masalah di sungai muncul. Menurut Arsyad, staff World Wildlife Fund atau WWF yang sering melakukan kegiatan didaerah Sungai Subayang, kedua persoalan tersebut muncul silih berganti. Saat musim hujan dan air sungai menjadi pasang, penebangan kayu ilegal terjadi. Kayu-kayu hutan yang diikat menyerupai rakit akan ditemui mengalir di sungai. Ketika kemarau dan debit air berkurang, muncullah peti.

Peti merupakan kegiatan penambangan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok bahkan perusahaan untuk menggali emas. Untuk didaerah Sungai Subayang, menurut Arsyad yang pernah melakukan investigasi untuk hal ini, dilakukan secara tradisional. Mereka mengunakan perahu kecil yang dilengkapi mesin pengolahan emas. “Mesin ini bisa dibeli ditoko-toko yang menjual mesin-mesin, jadi semua orang punya peluang menjadi penambang emas tradisional,” ujar Arsyad.

Karena merupakan penambangan liar tanpa izin, peti cenderung memberikan dampak kerusakan lingkungan yang sangat besar. Selain menyebabkan air sungai menjadi keruh dari pengolahan emas menggunakan mesin, untuk pemurnian emas, banyak bahan kimia berbahaya yang digunakan. Zat yang digunakan ialah air raksa dan merkuri. “Ini buat ikan-ikan tak lagi banyak disungai, buka lubuk laranganpun tak banyak lagi ikan didapat,” ujar Amril.

Para ninik mamak khawatir efek dari bahaya zat kimia yang terlarut di air mengakibatkan penyakit bagi masyarakat. Sebab desa disepanjang Sungai Subayang menggunakan air dari sungai sebagai sumber kehidupan sehari-hari.

 

LAJU SPEED BERKURANG KETIKA DARI ARAH BERLAWANAN JUGA TERDAPAT SAMPAN ATAU KAPAL. Saat itu saya melihat sebuah kapal tongkang melintas dengan muatan kayu yang akan diolah. Kayu-kayu ini  akan dijadikan bahan untuk pembuatan bubur kertas. Tak lama berselang, laju kembali berkurang. Kali ini ada tongkang bermuatan pasir.

Saya memilih untuk keluar dari tempat duduk penumpang, lalu naik ke atap speed. Mengabadikan pemandangan di jalur Sungai Siak dari Pekanbaru menuju Siak Sri Indrapura melalui lensa kamera. Silih berganti tongkang membawa kayu, pasir ataupun sampan kecil nelayan mengapung di sungai ini.

Ketika melewati pemukiman warga dipinggiran sungai, tampak beberapa wanita tengah mencuci pakaian. Anak-anak kecil ikut melompat ke sungai untuk mandi sambil bersenda gurau tertawa dan bermain air. Beberapa lelaki yang duduk disampan sambil menangkap ikan sesekali melambaikan tangan. Ia melihat saya mengarahkan lensa kamera kearahnya.

Sungai Siak masih dijadikan jalur transportasi untuk pengangkutan barang ataupun penumpang dan sumber kehidupan masyarakat pinggiran sungai. Namun pertanyaannya, sampai kapan sungai ini masih bisa digunakan?