Hilangnya kontraktor sebabkan ruang kelas baru yang direncanakan tak rampung. Penyelidikan dihentikan karena kerugian negara sudah dikembalikan.

Oleh Suryadi

PADA 2011 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PUNYA KEINGINAN. Menambah Ruang Kelas Baru atau RKB jadi rencana. Ditujukan untuk jadi ruang kelas bagi para mahasiswa yang jumlahnya terus bertambah tiap tahun. Lokasinya sudah ditetapkan. Di sebelah mushalla fakultas, dekat dengan homestay Mahasiswa Pecinta Alam Sakai FISIP. Empat ruangan akan dibangun.

Keinginan ini diamini dengan siapnya dana pembangunan sebesar Rp 900 juta. Sumbernya dari dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Nasional atau BOPTN. Dibuatlah pengumuman untuk lelang perusahaan penyedia jasa dan barang yang berminat kerjakan proyek ini. Proyek pembangunan RKB di FISIP UR.

Baca juga : Dokumen Palsu untuk Gedung Pasca FISIP UR

Seperti biasa proses lelang berjalan, setelah diumumkan perusahaan yang berminat mendaftarkan diri dan ajukan penawaran. Dari perusahaan yang mendaftar dan lulus evaluasi administrasi maupun teknis, terpilih CV Siak Setia Jaya. Perusahaan ini yang selanjutnya akan membangun ruang kelas tersebut.

Tapi yang jadi soal, bisakah bangunan itu selesai dalam 2 bulan?

SIANG HARI DIPENGHUJUNG AGUSTUS. Bermodalkan informasi dari lpsesiak.go.id dua kru Bahana melakukan perjalanan ke Kabupaten Siak Sri Indrapura. Tujuannya hanya satu, mencari kantor CV Siak Setia Jaya di Suak Lanjut nomor 52. Itulah alamat perusahaan yang tertera si LPSE Siak.

Dengan sepeda motor saya dan Jeffri menempuh perjalanan sekitar 2 jam menuju Siak. Setibanya disana, kami mulai mencari daerah Suak Lanjut dengan bangunan nomor 52. Namun alamat ini tak ditemukan.

Ketika bertanya pada seorang siswi sekolah menengah atas, ia beritahu kembali ketitik awal masuk jalan. Karena jika kami teruskan perjalanan, hanya rumah penduduk yang didapat. Berbalik arah jadi pilihan. Penelusuran kembali dilakukan, namun hasilnya masih sama saja. Nihil. Tak dapat kami temukan alamat perusahaan ini.

Kembali bertanya jadi pilihan, kali ini arah yang ditujukkan Jalan Suak Lanjut di pinggir sungai Siak. Menurut lelaki yang menunjukkan arah, didaerah tersebut banyak perusahaan. “Tapi tak ada plang namanya,” ujarnya menambahkan.

Tak membuang waktu, daerah yang ditunjukkan tadi segera didatangai. Banyak rumah dibangun didaerah ini. Rumah nomor 52 ditemukan, tidak besar, rumah kayu berbentuk panggung.

“Ini rumah saya, bukan kantor,” ujar Muar, pemilik rumah tersebut.

Kembali ke nol, perusahaan yang kerjakan pembangunan kelas FISIP tak juga didapat.

Ketika kami mendatangi sebuah warung, didalamnya ada 5 lelaki yang sedang mengobrol sambil merokok. Mereka tahu CV Siak Setia Jaya dan pemiliknya bernama Nonet. “Alamatnya di Jalan Sutomo. Tanya saja dengan orang disana. Semua tahu dengan Nonet,” ujar lelaki di warung itu.

Alamat yang ditunjukkan kembali didatangi. Dan kali ini tepat. Memang tak ada plang yang menyatakan rumah itu adalah kantor sebuah perusahaan kontraktor. “Bapak lagi diluar, setelah dzuhur baru pulang,” ujar istrinya.

Hingga dzuhur Nonet tak juga kembali. Kami disarankan untuk mencarinya di mesjid Jalan Sutomo tersebut. Ia memang berada disana. Setelah perkenalkan diri dan menyampaikan tujuan kedatangan kami, ia bersedia diwawancara.

Jamarusen nama asli Nonet. Ia mendirikan perusahaan ini sejak 2003 dan membenarkan soal adanya lelang di FISIP UR. Perusahaannya menjadi pemenang untuk bangun kelas. Namun muncul masalah usai ia dinyatakan sebagai pemenang lelang.

Setelah dapatkan kontrak proyek tersebut, perusahaan tak segera mengerjakan pembangunan. Permasalahan yang dihadapi terkait kurangnya sumberdaya manusia yang bekerja. Waktu dua bulan semakin mepet dan fakta pekerjaan belum terlihat.

Nonet dipanggil Hery Suryadi, saat itu ia menjadi Pejabat Pembuat Komitmen. “Saya dimintai penjelasan kenapa pekerjaan tidak berjalan sebagaimana mestinya,” ujar Nonet.

Setelah bertemu dengan Heri tersebut, ia dipertemukan dengan Ekki Ghadafi. Lalu Ekki memperkenalkannya kepada Joko. Dengan  kontraktor ini, perusahaan Nonet mulai membangun kelas tersebut.

“Yang saya pertemukan dengan dia bukan Joko tapi Romi Sakirman,” ujar Ekki yang kini menjabat Kepala Bagian Tata Usaha Fakultas Hukum. Ia jelaskan alasannya mempertemukan kontraktor dengan Nonet karena hanya ingin membantu. Pasalnya usai penandatanganan kontrak, tak ada pekerjaan yang dilakukan. ‘Tapi ujung-ujungnya proyek itu tak selesai juga,” tambahnya.

Ekki katakan ia kenal dengan Romi karena ia turut mengerjakan pembangunan gedung Gelanggang Remaja—sekretariat lembaga mahasiswa—di FISIP.

BERITA TERKAIT PERMASALAHAN PEMBANGUNAN KELAS BARU FISIP INI TERSIAR SETAHUN YANG LALU. Namun tak ada yang jelas memberitakan kejelasan kasus ini.

Media riauaksi.com memberitakan Hendri Hanafi, Kepala Seksi Intelejen Kejaksaan Negeri Pekanbaru—Kasi Intel Kejari—tengah tangani kasus di UR. Dugaannya penyelewengan dana yang melibatkan mantan Pembantu Dekan II FISIP kala itu. Hery Suryadi. Hanya itu tanpa ada penggalian lebih dalam mengenai duduk perkara dan penyelewengan dana apa.

Usaha mendapatkan konfirmasi diajukan kepada Hendri. Namun sayang, ia telah dipindahkan ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK. Konfirmasi dialihkan ke pengganti Hendri, Hendra Wijaya. Ia menempati posisi Hendri sebelumnya. Menantikan giliran dapat wawancara, kru bahana dialihkan bertemu dengan Yasrizal, staff intelejen.

“Soal kasus Hery Suryadi itu kami tak tahu, tak pernah ditangani disini. Yang ada dulu Yohanes Oemar ada,” ujarnya. Ia beritahu jika masih mau mencari, coba dicek kebagian pidana khusus. Orang yang ditemui Abdul Farid. Kami kembali di oper ke staffnya, Ari. Pertanyaan yang sama, dan ia akatakan tak tahu soal kasus ini.

“Banyak yang baru disini, saya juga tak pernah dengar kasus itu. Coba saja surati untuk meminta data,” usulnya.

Merealisasikan usulan, surat permintaan data diajukan terkait kasus yang dimaksud. Menanti konfirmasi, kami datangi riauaksi.com. Mencari wartawan yang menuliskan berita tersebut. Dari penjelasan wartawan dimedia ini diperoleh penulisnya adalah Muhammad Syukur dan editornya Evi Endri atau Ombak.

Syukur tengah dilapangan, kami temui editornya, Ombak. Ketika ditanya kejelasan informasi kasus ini ia katakan bukan dia editornya, melainkan orang lain. Tak dapat kejelasan, kami datangi media lainnya yang juga beritakan informasi sama. Adanya keterlibatan Hery Suryadi dalam penyelewengan dana.

Media lain yang beritakan hal ini adalah politikriau.com. penulisnya Sani sudah tak bekerja disini. Tapi kami bertemu dengan editornya Ali Azumar sekaligus Pemimpin Redaksi. “Benar informasinya, tapi sekarang tidak tahu perkembangan kasus ini.”

Saat dapat kesempatan bertemu Syukur, kru Bahana tanyakan kebenaran informasi. Syukur katakan ia dapat informasi itu dari Hendri. Sebab saat itu ia bertugas meliput berita di Kejari. “Saya bicara langsung dengan dia. Tapi sekarang kelanjutan kasusnya tak tahu, sebab Hendri sudah pindah,” ujarnya. Mengkonfirmasi berita di media tak dapat titik terang. Konfirmasi pihak kejaksaan harus dikejar.

Saat mengecek perkembangan surat permintaan data, kami kembali berhadapan dengan Yasrizal. Ia tanya maksud surat meminta data perkara yang diajukan. Setelah dijelaskan kasus yang melibatkan petinggi FISIP kala itu baru ia paham. “Mungkin data soal kasus RKB ini,” ujarnya. Ia beritahu datang 3 hari lagi karena mereka perlu mencari berkas-berkasnya.

Tiga hari berlalu, ketika dicek, Yasrizal bilang akan membalas permintaan kami dengan surat. Benar saja surat balasannya tiba dengan isi sebagai berikut.

Kejaksaan Negeri Pekanbaru tidak pernah melakukan penyelidikan terkait kasus dugaan penyelewengan dana Universitas Riau. Terkait dengan kasus yang melibatkan saudara Hery Suryadi yang pernah dipanggil oleh Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri Pekanbaru pada tanggal 13 Juni 2012, tidak ada kaitannya dengan dugaan penyelewengaan dana Universitas Riau yang dimaksud. Sehingga kami belum bisa memberikan data yang saudara maksud. Surat ditanda tangani langsung oleh Edy Birton, SH. MH Kepala Kejaksaan Negeri Pekanbaru.

Kru bahana ajukan permintaan wawancara dengan Yasrizal. Ia menolak dan katakan lebih baik wawancara Hendra. Saya sempat berbincang singkat terkait pengetahuan Yasrizal dalam kasus ini. Ia katakan masuk dalam tim bersama Hendri tangani perkara ini. Dalam penyelidikan ia bertugas sebagai pencatat. Namun ia katakan tak ingat dengan yang dicatatnya.

Mengikuti saran Yasrizal, kami kru bahana ajukan permintaan wawancara dengan Hendra Wijaya. Sembari menantikan konfirmasi dari Hendra, kami mencoba hubungi Hendri Hanafi di PPATK. Kontak Hendri tak diperoleh, namun kami bisa berkomunikasi dengan rekannya Rusli Safrudin.

Melalui email saya menanyakan kesediaan Hendri beri penjelasan terkait perkara ini. Namun Rusli memberitahukan bahwa hasil koordinasinya dengan Hendri. Melalui rekannya itu, Hendri nyatakan kasus yang pernah ia tangani sepenuhnya dilimpahkan kepada penyidik Kejari.

Akhirnya setelah dilempar kesana kemari untuk dapatkan penjelasan, Hendra Wijaya mau berbicara.

Hery Suryadi pernah dipanggil oleh Kejaksaan Negeri Pekanbaru pada Juli 2012. Ia  diperiksa terkait pembangunan Ruang Kelas Baru atau RKB tahun 2011. Dari hasil Audit investigasi BPKP  Perwakilan Riau menemukan kelebihan pembayaran pada pembangunan tersebut. Dari temuan ini negara dirugikan sebesar Rp 200 juta.

“Kerugian Rp. 200 juta itu sudah dikembalikan ke negara,” kata Hendra Wijaya. Bukti pengembalian uang Rp. 200 juta ke negara itu lewat rekening bank Mandiri cabang Pekanbaru.

Kerugian ini dikembalikan pada negara pada Agustus tahun 2012 sebelum BPKP mengumumkan hasil audit pada November di tahun yang sama.

“SAYA HARUS JUAL MOBIL DAN KEBUN UNTUK GANTI KERUGIAN NEGARA Rp 200 JUTA ITU,” cerita Nonet.

Imbas dari proyek yang dimenangkannya bukanlah membawa untung bagi perusahaan CV Siak Setia Jaya. Ujung-ujungnya Nonet harus berurusan dengan pihak kepolisian dan merogoh koceknya dalam-dalam.

Pasalnya, usai menangkan proyek dan tandatangan kontrak, Nonet tak kerjakan pembangunan. Kemudian ia dikenalkan kepada kontraktor yang ia ketahui bernama Joko. Awalnya pembangunan berjalan. Sesekali Nonet datang meninjau pekerjaan.

Namun makin hari, ia makin jarang melihat para pekerjanya. “Saya terkendala jarak Siak dan Pekanbaru,” ujarnya. Efeknya pembangunan tak bisa dilanjutkan karena kontraktor melarikan diri. Ia terus berusaha menghubungi Joko tersebut tapi tak pernah ada jawaban.

Ia akhirnya dipanggil oleh Kejari dan BPKP. Nonet akui ia telah lalai karena tak mengontrol pekerjaan tersebut. “Rumah kontraktor itupun sudah dijual, jaksa juga tak  bisa menemukannya,” cerita Nonet.

Akhirnya bangunan tak selesai, kontraktor lari dan Nonet berakhir dengan membayar kerugian negara sebesar Rp. 212.539.282 hasil dari audit. Kejari Pekanbaru langsung menghentikan penyelidikan. “Kan tidak ada lagi kerugian negara, sudah dikembalikan,” kata Hendra Wijaya.#