Di masa pandemi Covid-19 ketahanan pangan Riau sangat rawan. Hampir semua bahan pangan dipasok dari luar daerah.

Oleh Raudatul Adawiyah Nasution

DUA buah hand tractor berjejer di halaman gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Riau (LPPM UNRI). Keduanya merupakan salah satu bantuan sarana produksi pertanian dari PT Chevron Pasific Indonesia.

LPPM UNRI kebagian menyeleksi kelompok tani yang dapat bantuan ini. Ada 20 kelompok tani dari Dumai, Pekanbaru, Bengkalis, Siak, Rokan Hilir dan Kampar.

Di masa pandemi Covid-19 ketahanan pangan di Riau sangat rawan. Lantaran hampir semua bahan pangan dipasok dari berbagai daerah tetangga. Begitu yang disampaikan Syahfalefi Kepala Dinas Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura (PTPH) Riau ketika menyerahkan bantuan pada 22 Oktober 2020.

“Kita menyadari bahwa hampir semua bahan pangan utama masih belum mencukupi dari hasil produksi sendiri,” katanya.

Pada 2019 saja misalnya, produksi beras Riau hanya mencukupi sekitar 23,6 persen kebutuhan konsumsi. Atau hanya mampu memproduksi 147.090 ton beras dari total konsumsi sebanyak 623.274 ton.

Sementara pada 2024 mendatang kebutuhan beras Riau diperkirakan sampai 662.475 ton. Jumlah ini untuk konsumsi 7,4 juta penduduk Riau. Pemerintah pun targetkan 50 persen produksi beras untuk kebutuhan konsumsi pada 2024.

Bagaimana akademisi UNRI memandang ketahanan pangan di bumi lancang kuning?

Ketua LPPM UNRI—Almasdi Syahza—optimis Riau mampu mandiri dalam hal pangan. Hal ini disampaikannya bukan tanpa alasan.

“Berdasarkan penelitian saya selama ini, Riau sebenarnya mampu,” katanya.

Temuan Almasdi misalnya produksi cabai merah yang melimpah di Muara Fajar, Pekanbaru. Namun, harga jual dipermainkan tengkulak. Bahkan, cabai sengaja didatangkan dari provinsi tetangga. Akibatnya, produksi petani setempat dihargai murah.

“Karena tokenya udah punya langganan dari Sumbar [Sumatera Barat], ya udah di sini diabaikan,” keluhnya.

Kementerian Pertanian merilis data produksi cabai keriting Riau hanya 17.513 ton per 2019. Sedangkan cabai rawit 8.120 ton. Angka ini jauh di bawah produksi Sumatera Barat—pemasok cabai tertinggi ke Riau— yang hampir 140 ribu ton.

Joni Jasman pedagang sayur di Pasar Selasa, Pekanbaru katakan tak pernah menjual cabai dari petani di Riau. “Cabai dari Riau gak ada barangnya, dari Riau itu biasanya sayur,” ujar pria 31 tahun ini.

Ia justru memilih mendatangkan cabai dari negeri Serambi Mekkah, Aceh. Lantaran harganya yang terjangkau ketimbang  cabai dari daerah lainnya. Jika cabai dari Aceh kosong, Ia akan ambil yang dari Medan. Kalau tak ada juga, cabai asal Sumatra Barat jadi pilihan terakhirnya. Semuanya diperhitungkan sesuai harga yang lebih murah.

Berbeda dengan Joni, Welda justru lebih memilih jual cabai dari Sumbar sebagai pilihan utamanya. Cabai ini lebih diminati pembeli, sebab rasanya enak, walaupun harganya tinggi. Meski begitu itu, Ia juga jual cabai dari Aceh.

Welda juga tak menjual cabai dari Riau. Sepengatahuannya daerah produksi cabai di Riau ada di Kubang dan di Dumai. “Tapi rasanya ndak enak, jadi gak suka orang. Harganya lebih murah, tapi gak cantik,” cerita Welda.

Begitu juga halnya dengan beras. Beberapa daerah penghasil beras di Riau malah punya nama produksi dari luar.  Misalnya di Rengat ada beras Kuala Cenaku, lalu Rambah Samo dan Bunga Raya. Ada pula beras dari Kuala Kampar.

Tapi satu hal yang aneh bagi Almasdi ketika beras Kuala Kampar yang taukenya datang dari Batam. Sedangkan Kuala Cenaku datang dari Jambi. Akhirnya, beras produksi Riau tak terlihat dipasarkan di Riau.

Katanya, ia juga menyaksikan sendiri bagaimana beras-beras Riau dibawa ke luar provinsi oleh tengkulak. “Jadi gak tercatat sebagai produksi Riau,” ujar Almasdi.

Selaras dengan Almasdi, Syafrinal Dekan Fakultas Pertanian UNRI sebut adanya kejanggalan dalam proses distribusi beras dari luar provinsi ke Riau. Misalnya ketika mengangkut beras dari Sumbar menuju Rengat. Di tengah jalan pulang, mampir dahulu di Keritang, Indragiri Hilir. Kendaraan membawa padi dari Keritang ke Sumbar. Seolah-olah beras tersebut adalah beras Sumbar.

“Nah ini tidak terpantau bagi kita,” kata Syafrinal.

Ia heran kenapa harus dibawa ke Sumbar, sebab akan menambah biaya seperti tansportasi. “Mengapa tidak diolah sendiri di Keritang?”

Sementara itu, Usman Pato Dosen Fakultas Pertanian menilik dari permasalahan berbeda. Produksi beras di Riau dari tahun ke tahun yang terus menurun. Hal ini terjadi karena berkurangnya luas lahan setelah dialihfungsikan oleh masyarakat. Lahan tanaman pangan diubah jadi perkebunan, khususnya kelapa sawit.

Menurutnya, petani melirik pendapatan dari kebun sawit lebih menjanjikan. Pilihan ini tak dapat dilarang, tak pula boleh dipaksa menanam tanaman pangan. Hal ini tak jadi masalah, kata Usman. Walaupun produksi di Riau berkurang, tapi pasokan pangan dari luar masih lancar.

“Aman-aman saja sampai saat ini,” tutur Usman Pato.

Ia menilai perlu dipikirkan kondisi pangan ke depan. Mengantisipasi jika kemungkinan-kemungkinan buruk terjadi. Bisa saja ketahanan pangan Riau berubah terancam. Misalnya, semua daerah pemasok beralih ke tanaman non-padi. Ataupun kondisi tanaman yang terganggu akibat kekeringan atau hama penyakit. Otomatis, daerah pemasok lebih memikirkan untuk masyarakat daerahnya.

Perlu juga dipertimbangkan jika sepenuhnya mengandalkan impor dari Thailand, Vietnam dan India. “Karena, hubungan diplomatik belum tentu terus mulus,” kata Usman.

Upaya Mendorong Ketahanan Pangan

Kurun waktu empat tahun mendatang, Dinas TPHP Riau targetkan peningkatan produksi beras. Minimal 50 persen dari total kebutuhan konsumsi beras Riau.

Di Riau luas baku sawah saat ini seluas 62.689 hektare. Namun baru sekitar 23 persen atau 14.321 hektare yang sudah melakukan penanaman dua kali setahun. Sementara, sisanya hanya produksi setahun sekali.

Luas ruang pertanian di Riau saat ini mencapai 514.199,54 hektare. Pemerintah punya kebijakan menerapkan pertanian lestari dan menjamin ketersediaan serta akses terhadap sumber daya lahan dan air secara berkelanjutan berdasarkan kearifan lokal.

Ada kebijakan penjagaan terhadap lahan pertanian pangan melalui kawasan pertanian pangan berkelanjutan. Selain itu, ada pula lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan yang tersebar di seluruh kabupaten atau kota di wilayah Riau.

Pemprov Riau juga canangkan lima langkah strategi terkait ketahanan pangan. Meliputi pertama pengembangan praktik pertanian terbaik berdasarkan sumber daya lokal. Kedua, penerapan teknologi pertanian yang adaptif dengan sumber daya lokal. Ketiga, peningkatan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat tempatan dalam pemanfaatan dan pengendalian jasa ekosistem.

Keempat, Pengolahan lahan dan penguasaan aplikasi teknologi ramah lingkungan bagi petani juga diperlukan. Terakhir, meningkatkan dan memperluas peran serta pihak terkait dalam akses permodalan petani.

Badan Kebijakan Fiskal Indonesia telah merilis alokasi APBN 2021 untuk program ketahanan pangan  mencapai 104,2 triliun rupiah. Salah satu kebijakannya mendorong produksi komoditas pangan. Melalui pembangunan sarana, prasarana dan penggunaan teknologi.#