Jauh sebelum laporan dugaan plagiat antara Ahmad Eddison dan Sri Erlinda mencuat, keduanya sudah bersitegang terkait pemilihan Ketua Prodi PPKn. Yang satu melaporkan satunya ke pihak fakultas maupun universitas terkait dugaan kecurangan, begitupun sebaliknya.
Oleh: Dicky Pangindra
Ribut-ribut terkait dugaan plagiat yang menyeret nama dua dosen Prodi PPKn FKIP Universitas Riau (Unri) ternyata punya riwayat Panjang. Ahmad Eddison menerbitkan dua jurnal di Pelita Bangsa Pelestari Pancasila—Jurnal yang dikelola Prodi PPKn. Kedua jurnal itu, serupa dengan jurnal milik mahasiswanya sendiri yakni Nurhidayah dan Ayu Andira. Kemiripan ada di judul, pembahasan, hingga kesimpulan.
Sementara, Sri Erlinda menerbitkan buku Sosiologi Politik. Buku itu digunakan sebagai bahan ajar yang dicetak pertama kali pada Maret 2009. Delapan tahun sebelum itu, penerbit Rineka Cipta juga menerbitkan buku. Judulnya Pengantar Sosiologi Politik yang ditulis Rafael Raga Maran. Bila dibandingkan antara kedua buku itu, isi dan pembahasan semuanya serupa. Hanya letak halaman yang berbeda.
Kedua dosen PPKn tersebut saling lapor ke pimpinan fakultas, adapun laporan-laporan tersebut berkaitan dengan jabatan yang ada di Prodi PPKn. Semua bermula pada 14 Januari 2016, saat itu diadakan pemilihan pengelola Prodi PPKn. Pemilihan itu untuk menentukan koordinator prodi, senat prodi dan kepala laboratorium PPKn.
Saat itu ada tujuh dosen yang mengikuti pemilihan. Yang Kemudian terpecah jadi dua kelompok. Ada kelompok Ahmad Eddison, Hambali, dan Jumili Arianto. Sisanya Sri Erlinda, Supentri, Zahirman juga Haryono.
Dari hasil pemilihan itu, Hambali hanya mampu kumpulkan tiga suara. Sementara, Sri raup empat suara dan berhak menjadi Kaprodi PPKn. Lalu, Zahirman dan Supentri menduduki Senat dan Kepala Labor, hal ini karena keduanya masing-masing dapat empat suara.
Namun hasil pemilihan itu dianggap curang oleh kelompok Ahmad Eddison, Hambali, dan Jumili. Alasannya, pemilihan tersebut tidak sesuai prosedur peraturan pemilihan berdasarkan SK Dekan FKIP saat itu. Dosen atas nama Haryono seharusnya tidak boleh menggunakan hak pilih karena masih berijazah Strata 1. Juga atas statusnya sebagai pegawai bukan dosen. Hal ini yang kemudian hari ditulis pada Surat Terbuka oleh Eddison dan kedua rekannya.
Menurut Haryono, alasan Eddison mengatakan dirinya tak boleh ikut memilih sebenarnya sudah terbantahkan. Karena sebelum pemilihan kaprodi, ia telah ikut memilih saat dilakukan pemilihan Ketua Jurusan IPS. Begitu juga dengan dosen dari prodi lain yang masih berstatus S1, seperti dari Prodi Pendidikan Sejarah dan Prodi Ekonomi.
Setahu Haryono tidak ada aturan baku siapa saja yang boleh memilih, asalkan dia dosen baik S1, S2 dan S3 berhak memilih. Kecuali untuk mencalonkan diri, S1 belum bisa.
Dua tahun berselang, April 2018, perseteruan kembali bergulir. Hal ini karena dikeluarkannya Surat Keputusan Dekan FKIP saat itu M.Nur Mustafa—kini menjabat Wakil Rektor bidang Akademik. Ia menandatangani surat nomor: 903/UN19.5.1.1.5/TU/2018 tentang nama-nama pengelola Jurnal Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau Tahun 2018-2019.
Surat itu menetapkan Haryono sebagai Ketua dan Supentri sebagai Wakil Ketua Pengelola Jurnal. Sri Erlinda menjadi Penanggung Jawab, sisanya di Dewan Redaksi. Hanya nama Eddison yang tidak masuk dalam struktur. Eddison cerita, Jurnal Pelita Bangsa Pelestari Pancasila pertama kali disahkan pada 3 Mei 2006. “Itu saya yang merintis pertama kali di PPKn. Saat itu jamannya Isjoni,†kata Eddison. Isjoni adalah mantan Dekan FKIP selama dua periode.
Lain pendapat terjadi, menurut Haryono, jurnal yang disahkan 2006 itu dibuat Supentri. Begitu juga dengan covernya. Eddison yang justru membuat HAKI atas namanya. Haryono cerita, ia terpilih jadi ketua pengelola jurnal melalui pemilihan, bukan ditunjuk begitu saja oleh Sri Erlinda.
Lalu, pada pertengahan 2018 Prodi PPKn tengah mempersiapkan proses akreditasi. Eddison, Hambali, dan Jumili protes karena tidak diikutsertakan dalam rangkaian persiapan akreditasi. Mereka lalu membuat surat terbuka pada 25 September 2018.
Surat itu ditujukan kepada pimpinan di lingkungan Universitas Riau. Tertuju Pelaksana tugas Rektor serta Wakil Rektor I. Juga kepada Dekan dan Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNRI.
Ada lima poin yang dipaparkan pada tujuh halaman di surat tersebut, kemudian mengerucut pada dua tuntutan. Pertama menuntut pelaksanaan rapat terbuka pertanggung jawaban pengelolaan prodi pada Koordinator Prodi PPKn. Kedua, meminta pemindahan Sri Erlinda ke jurusan atau fakultas lain.
Di akhir halaman, Ahmad Eddison, Hambali dan Jumili Arianto membubuhkan tanda tangan.
Kurang dari sebulan kemudian, pimpinan fakultas merespon. Lalu diadakan audiensi menanggapi surat terbuka itu. Namun forum yang dihadiri dekan dan ketiga wakilnya serta ketua jurusan berakhir tanpa kesepakatan.
Sehari berselang, ketiganya kembali mengirim surat. Kali ini hanya ditujukan kepada pelaksana tugas rektor.
Saat itu jabatan Rektor Aras Mulyadi di periode pertama telah berakhir. Proses pemilihan rektor berulang kali tertunda. Sampai Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi menunjuk Agus Indarjo sebagai Pelaksana tugas.
Ada sembilan poin yang disampaikan dalam surat itu. Mereka menyebut pimpinan fakultas tidak netral menyikapi tuntutan agar Sri Erlinda dipindahkan dari Prodi PPKn. Selebihnya menceritakan forum audiensi yang tak membuahkan kesepakatan bagi ketiganya.
Namun, Agus Indarjo juga tak memberi balasan. Kasus ini terus menggelinding tanpa tampak hilirnya. Akibatnya, tepat pada 14 Desember 2018, mahasiswa PPKn protes. Mereka menggelar aksi mogok kuliah.
Bahkan hingga M. Nur Mustafa dilantik menjadi Wakil Rektor bidang Akademik, pada Januari 2019 lalu, perselisihan antara Ahmad Eddison dan Sri Erlinda tak berhenti.
Barulah tiga bulan kemudian, Mahdum yang saat itu masih menjabat Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan dan Alumni berhasil membujuk keduanya membuat kesepakatan damai. Keduanya berjanji tidak saling lapor dan mengungkit kasus plagiat yang menerpa mereka.
Namun Mahdum mengatakan bahwa mediasi itu hanya membahas cara penyelesaian agar keduanya berdamai, agar perkuliahan kondusif. “Mediasi saat itu bukan soal plagiat,†ujarnya.
Sayang, tak lama perjanjian damai dibuat, keduanya kembali gaduh. “Sebenarnya saya malu, sudah capek menangani ini,†ucap Mahdum.
Ia cerita, sudah tak terhitung puluhan kali mendudukan keduanya. Bukan hanya di kantor, sudah sering juga diajak sambil ngopi di luar, berbicara secara kekeluargaan. Baik Ahmad Eddison juga Sri Erlinda masih keras kepala.
“Bukan mereka yang kasihan tapi mahasiswa. Mereka yang jadi korban, tak kondusif perkuliahan,†lanjutnya.
Sebulan setelah dilantik sebagai Dekan. Mahdum keluarkan Surat Keputusan. Ia mengembalikan pengelola jurnal kepada Ahmad Eddison. Hambali lalu ditetapkan sebagai wakil ketua. Sedang, Jumili dan empat dosen PPKn di posisi Dewan Redaksi. Keputusan itu berlaku sampai 31 Desember 2020 nanti.
Namun kini gantian, nama Sri Erlinda dan ketiga rekannya saat pemilihan di 2016 dicoret dari kepengurusan pengelola jurnal.
Sri Erlinda juga tak gentar. Pada 30 September 2019 atau sebulan setelah SK itu keluar. Ia melayangkan surat kepada Mahdum.
Dalam surat itu, Sri meminta Mahdum bertindak tegas menyikapi pelanggaran yang dituduhkan ke Eddison, Hambali dan Jumili. Mereka bertiga disebut-sebut melanggar perjanjian damai yang diteken 13 Maret 2019 silam.
Sri mengejawantahkan tuntutan itu dalam tiga poin. Pertama, soal pemilihan Koordinator Prodi PPKn yang menurutnya melanggar poin nomor 4 perjanjian.
Bunyi poin itu: Untuk menindaklanjuti keberadaan ketua program studi PPKn dan Pengelolaan Jurnal PPKn setelah adanya surat pernyataan dari Ketua Program Studi PPKn, maka pihak yang hadir dan dosen-dosen di lingkungan PPKn dapat melakukan rapat untuk menentukan dan memilih Koordinator Program Studi PPKn sebagai pengganti antar waktu dan pengelolaan Jurnal PPKn selanjutnya dengan nenperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Saat ini Koordinator Prodi PPKn dijabat Jumili Arianto. Sejak 17 Juni lalu, ia ditetapkan sebagai Pengganti Antar Waktu, menggeser posisi yang ditinggalkan Sri Erlinda.
Kedua soal dilaksanakannya pemilihan Ketua Jurnal PPKn. Disitu disebutkan poin nomor 4 juga yang dilanggar. Terakhir, perjanjian poin 3. Isinya antar kedua pihak yang sepakat menyudahi soal plagiat keduanya. Poin-poin itu, kata Sri, dilanggar Eddison Cs.
Kamis siang, 7 November 2019. Di ruangan Ketua Jurusan Pendidikan IPS, Lantai dua Dekanat FKIP. Sri Erlinda baru saja hendak menyantap makan siang sesaat Kru Bahana menemuinya. Ia enggan diwawancarai.
“Saya no comment,†kata Sri, sembari beranjak dari tempat duduknya, lalu berdiri di depan pintu masuk ruangan itu. “Biarkan saja, tak usah kalian urusi.â€
Di lain waktu dan tempat yang berbeda. M. Nur baru saja selesai rapat dari ruangan rektor. Ia mengaku tak tahu banyak soal seteru antar dosen di PPKn. Ia sudah banyak lupa. Data-data pun tak dikantonginya. Saat itu para pembantunya—para wakil dekan—yang fokus menyelesaikan masalah ini.
“Nanti tersalah bahasa awak,†beberapa kali kata itu diulang-ulang olehnya.
Soal SK yang pernah dikeluarkan. Ia membantah menghilangkan nama Ahmad Eddison dalam kepengurusan Jurnal. Sebab saat itu prodi yang mengusulkan nama-nama pengelola untuk di SK-kan.
Ia hanya membaca sekilas surat permohonan dari Prodi PPKn, lantas mendisposisikan pada Zul Irfan, Wakil Dekan 1. Di situlah pengecekan dan penyusunan SK.
“Saya tinggal tanda tangan saja,†ujarnya.
Terkait laporan plagiat dan ribut-ribut antar dosen PPKn tersebut sudah diterima Usman Tang, ia ketua Tim Pencari Fakta. Usman dibantu Ikhsan, Khasnah Faizah, Tiyas Tinov dan Sofyan Husein Siregar. Di tahun 2017 lalu, Usman juga pernah ditugaskan oleh Sujianto—Wakil Rektor bidang Umum dan Keuangan untuk menyelidiki dugaan plagiat yang dilakukan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Syafri Harto.
Usman Tang lalu bertemu Mahdum, ia memberi tenggat seminggu kepada Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan itu untuk menyelesaikan konflik antar dosen di Prodi PPKN.
“Kita kembalikan lagi ke fakultas. Biar diselesaikan disana dulu,†kata Usman Tang.
Dua minggu lebih, tenggat waktu yang diberikan Usman Tang usai. Jumat, 6 Desember kemarin, Mahdum menelepon Ikhsan—anggota TPF juga Ketua Satuan Pengawas Internal. Kasus tersebut ia kembalikan lagi ke TPF karena tak sanggup menjadikan mimpi damai itu jadi kenyataan.
Eddison tetap ngotot tak mau berdamai bila Sri Erlinda tak kunjung dipindahkan. Pintanya, Sri harus dikembalikan ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik—tempatnya menyelesaikan studi S1 di UNRI.
“Kami tak berhak memindahkan begitu saja,†kata Mahdum. Apalagi saat ini hanya tujuh dosen di PPKn yang berstatus pegawai negeri. Sementara satu lagi akan memasuki masa pensiun. “Bagaimana ngurus Prodi dengan cuma lima orang.â€
Usman sudah mendengar laporan Mahdum yang belum bisa menyelesaikan masalah tersebut secara internal di fakultas. Sehingga, Senin 16 Desember, TPF adakan rapat di kantor SPI.
Usman juga mengaku menerima pengaduan baru. Laporan tersebut terkait Ahmad Eddison yang memplagiat buku Pengantar Ilmu Sosial yang ditulis Asril, dosen Pendidikan Sejarah. Buku itu dikirim ke rektorat kemudian diberikan pada tim TPF.
Bahkan kata Usman, pada laporan itu, dua mahasiswa juga mengaku membeli buku.
“Ini sedang kami bahas. Kalau diperjualbelikan itu berat nanti sanksinya,†tutup Usman Tang.
18 Desember 2019, Usman Tang baru keluar dari ruangannya. “Hasil rekomendasi temuan TPF dari dugaan plagiat Sri Erlinda sudah di tangan rektor,†kata Usman. Namun, ia enggan membocorkan hasil temuan itu.
Katanya, hasil temuan TPF itu, akan disusul temuan dari laporan dugaan plagiat buku juga yang dituduhkan pada Ahmad Eddison.
Usman jelaskan, setelah semua hasil rekomendasi TPF selesai, rektor akan mengeluarkan SK untuk dibahas di Komisi Etik Senat Universitas. “Kayaknya Januari baru dibawa ke Senat,†jelas Usman.
Namun hingga Maret 2020, kejelasan terkait kasus dugaan plagiat yang ditangani TPF belum juga jernih. Usman berdalih, semua bukti laporan dugaan plagiat Eddison dan Sri Erlinda sudah diberikan ke fakultas. “Berkas masih di fakultas dan belum dikembalikan, kami mau buat undangan untuk memanggil pihak fakultas agar mengembalikan berkas itu lagi,†katanya.
Lagi, kata Usman, tidak ada hasil dari fakultas sehingga tim akan mengambil lagi kasus itu. FKIP meminta perpanjangan hingga maret, namun ternyata belum juga selesai. “Rencananya minggu ini atau minggu depan akan diadakan rapat,†ujarnya pada 10 Maret 2020.
Tapi Mahdum menepis pernyataan Usman Tang, katanya, kasus plagiat sampai saat ini masih ditangani oleh SPI atau TPF dan belum ada penyelesaian secara formal. “Sampai hari ini, belum ada laporan dari TPF, saya hanya menunggu keputusan saja,†katanya.
Ia juga mengaku tak pernah diberikan berkas soal plagiat oleh TPF, termasuk surat dari universitas juga tak pernah ia terima. “Mereka—Usman Tang dan TPF—hanya secara persuasif menanyakan.â€
“Saya sudah lama tidak berkomunikasi dengan TPF dan tidak ada bertanya juga. Itu adalah kewenangan tim,†ujar Mahdum.*