Membangun Kampung di Tengah ‘Hutan Beton’

Di tengah terik Kota Pekanbaru, Jalan Kopi tetap lah sejuk. Mengapa demikian ?

Oleh Eko Permadi

SIANG HARI di penghujung Desember, saya mengunjungi RW 04 Kelurahan Tangkerang Labuai, Kecamatan Bukit Raya, Pekanbaru. Dari Gobah berjarak empat kilometer, dengan mengendarai motor beat putih biru bersama teman. Terik matahari menembus sweater abu-abu. Di dalamnya, badan, kedua tangan yang memegang kemudi motor sudah basah. Keringat bercucuran. Lain lagi dengan kedua tapak tangan dan jari-jari—tanpa penutup—mulai memerah. Menurut perkiraaan cuaca, suhu siang ini menembus 34 derajat.

“Panas betul ya!”

“Cemana lagi, ini lah Pekanbaru,”

“Masih jauh lagi tak?”

“Sabar ajalah. Gangnya sebelah kanan.”

Selama 15 menit berkendara, kami melewati jalan lintas Harapan Raya menuju Jalan Kopi. Ruko-ruko menjual berbagai macam peralatan baju, besi, makanan dan air akar. Rumah warga, kantor pemerintah.  Beton sambung menyambung menutupi seluruh permukaan tanah, tak banyak lahan yang tersisa buat tanaman hidup.

Asap dari kendaraan, dari ayam bakar rumah makan mengepul. Saya berniat menarik tuas gas kencang tapi mobil di depan merayap jelang lampu merah. Suhu badan meningkat sebab menunggu beberapa menit lampu hijau. Tak lama kemudian, plang Jalan Kopi yang masuk wilayah Tangkerang Labuai tampak. Pohon mahoni lebih tinggi dari tiang listrik menjulang disampingnya.

Hidupkan sein ke kanan, kami akhirnya sampai.

“Wah, emang beda loh, sejuk,” katanya dari belakang.

“Iya. Banyak angin nih.”

Kami berkeliling RW 04 menurun dan menanjak daerahnya tak datar. Di sepanjangan jalan pohon mahoni, ketapang dan berbagai jenis lainnya melindungi kami dari terpaan sinar matahari. Bunga dengan bermacam warna menambah indah pekarangan rumah warga ditambah rumput-rumput di lahan kosong tetap dirawat. Tak terlihat sama sekali ada tumpukan sampah. Air jernih mengalir dengan lancar di selokan rumah warga.

Kami bertemu seseorang yang dianggap berjasa membuat daerah ini berubah. Memakai celana pendek dan baju orange, kami bincang-bincang di sebuah gerai. Namanya Achenk Mirshal.

***

ACHENK MIRSHAL pindah dari Bukittinggi, Sumatera Barat  ke Pekanbaru usai menikah sekira 1998. Masih pagi, biasanya Achenk mengayuh sepeda untuk pergi ke tempat kerja : sebuah studio foto. Rutinitas itu dilakoni setiap hari untuk menyambung hidup. Ia merasa kepanasan, gersang, tak ada satu pun pohon ketika itu di tumbuh di lingkungannya.

Mulanya ia mengumpulkan uang dari teman sesama klub motor untuk membeli bibit pohon sebagian meminta ke Dinas Kebersihan. Total 100 bibit terkumpul.  Ia menanam secara acak di pinggir jalan. “Berbuat secara ikhlas, yang penting sejuk,” niatnya. Kali ini ia sudah pakai vespa, mulai hidup bersosialisasi dengan masyarakat.

“Achenk ni bikin sampah saja kerjanya,” kenangnya menirukan ucapan warga kala itu.

Daun atau ranting pohon yang sudah tua saban hari memenuhi pekarangan harus disapu. Hal ini yang membuat warga tak menyukai apa yang dikerjakan Achenk. “Kalau mau tanam yang punya buah lah, bisa dinikmati,” tambahnya.

Achenk menjawab sederhana. Manfaatnya akan dirasakan kalau pohon sudah besar, pasti sejuk kalau di rumah. Meski begitu, tak ada yang mengikuti gerakan penghijauan yang dilakukannya.  Ia merawat pohon kurang lebih belasan tahun kadang-kadang menambah tumbuhan bunga.

Pada 2014, Achenk terpilih menjadi ketua Rukun Tetangga (RT) 04 RW 04 Kelurahan Tangkerang Labuai, Kecamatan Bukit Raya. Karena cintanya kepada lingkungan, mulai menyisihkan honor atau gaji untuk membeli pot bunga. Suatu ketika istrinya berkata “Honor RT abiah bali bungo ajo. Bali bareh ndak ado.”

Sebab jabatan itu juga  Achenk kuasa membuat aturan. Pertama, ia tak perbolehkan masyarakat  menggantung apapun di pohon dengan paku. “Tadi baru saja aku turunkan spanduk caleg,” keluhnya. “Mau jadi caleg aja dah merusak.”

Ia rutin patroli melihat kondisi pohon di pinggir jalan.

Selanjutnya, meminta tolong kepada warga jangan sampai menebang pohon, tetapi cukup di pangkas saja. Ia fasilitasi untuk mendatangkan Dinas Kebersihan jika ingin memangkas pohon. Ada lagi aturan, jika membuang puntung rokok di halaman rumah maka didenda satu pot bunga. Dalam hal ini juga, Anchenk buat program pojok rokok, artinya jika ingin merokok lebih baik di tempat yang sudah disediakan. Sebuah kursi  dan meja berlindung di bawah pohon besar.

Aturan demikian mendukung lingkungan RT-nya bersih dan sejuk. Bebas sampah walaupun sekecil puntung rokok. Pelan-pelan masyarakat mulai mengikuti gerakan penghijauan ini. Dimulai dari pekarangan rumah sendiri : menanam bunga beraneka ragam, pohon-pohon di selanya. Makin mudah mengajak gotong royong sebulan sekali.

Salah satu upaya mencegah efek rumah kaca melalui Program Kampung Iklim disingkat Proklim dari  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Melalui aksi lokal, sebuah upaya meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan.

Tahun 2014 Achenk  dikenalkan Camat Bukit Raya ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kota Pekanbaru. Gayung bersambut, instansi tersebut mendatangi RW 04 untuk verifikasi apakah layak untuk dijadikan proklim dan mendapat sertifikat. Dinas terkait tingkat provinsi juga turun ke lapangan untuk verifikasi.

Kementerian memutuskan RW 04 Tangkerang Labuai menjadi Kampung Proklim berhak mendapatkan sertifikat Proklim. Pengakuan ini berdasarkan upaya penghijauan yang diinisiasi sejak dulu oleh Achenk masuk dalam adaptasi pengendalian kekeringan, banjir dan longsor.

Tindak lanjut dari program ini, pemerintah memberikan bantuan berupa alat biopori, hidroponik, peralatan kompos, cangkul dan sekop. Masalahnya Achenk belum pernah menggunakan alat-alat itu. Bantuan tak disertai dengan penyuluhan lebih dulu.  “Sama Pak Achenk selesai ni,” ungkap petugas dari dinas tersebut.

Ia mesti belajar kembali terutama menggunakan alat hidroponik. Mencari caranya di internet. Bukan hanya bisa gunakan alat, ia bahkan menjadi pembicara di berbagai kegiatan. Misalnya saat diminta menjelaskan dihadapan siswa SDN 48 Pekanbaru. Beberapa sekolah lain juga memintanya. Belakangan, Achenk berbagi ilmunya di internet dengan membuat sebuah blog berisi kegiatan dan pengetahuan seputar hidroponik.

Masyarakat bisa memanfaatkan lahan terbatas untuk bercocok tanam. Seperti pekarangan hingga teras rumah. Biasanya lebih banyak sayur-sayuran seperti sawi, terong, daun sop, cabai, daun kemangi, kangkung dan seledri.

Riau punya pengalaman buruk tentang kebakaran lahan dan hutan. Puncaknya pada 2015, hampir seluruh aktivitas warga berhenti. Bandara ditutup, sekolah dan kampus diliburkan, karyawan dirumahkan. Kantor pemerintah dan rumah sakit siaga. Jalanan lengang. Indeks Standar Pencemaran Udara menunjukkan tanda bahaya.

Tapi tidak dengan warga di lingkungan ini. Pohon-pohon menyerap asap, suplai oksigen tetap bagus. Masyarakat di kampung ini  beraktivitas seperti biasa.

Keberhasilan RW 04 ini mendulang banyak penghargaan.  Juara satu hingga tiga kali berturut-turut lomba kebersihan kelurahan se-Kota Pekanbaru tahun 2018. Menjadi kampung percontohan di berbagai bidang seperti perilaku hidup sehat dan bersih. Belakangan, Achenk terpilih menjadi ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat.

Pada 2017, Achenk tak mengetahui kalau perwakilan Astra Group sudah memantau daerahnya. Rencananya mereka ingin mencari daerah yang akan dijadikan Kampung Berseri Astra di Riau. Setelah merasa cocok, kemudian mendatangi DLHK untuk koordinasi lebih lanjut. Pihaknya rekomendasi nama Achenk untuk menjadi penanggung jawab.

Misi yang dibawa oleh Astra mirip dengan apa yang diperjuangkan Achenk selama ini. Sebuah program kontribusi sosial berkelanjutan dengan integrasikan empat pilar : lingkungan, kesehatan, pendidikan dan kewirausahaan. Pada 29 Oktober 2017, PT. Astra Group menetapkan RW 04 Tangkerang Labuai menjadi Kampung Berseri Astra Indah Madani Pekanbaru.

Taufik Ramadhani Kordinator Wilayah Astra Group Riau sampaikan pihaknya memilih RW 04 salah satunya masyarakat yang partisipatif. Ia menilai, selain Achenk, warga sekitar mau bergerak untuk perubahan.

Apa yang ditanam Achenk sejak 1998 berbuah sekarang. Astra memupuk harapannya hingga terwujud. Masyarakat bersama-sama bisa menikmatinya. Sekaligus menjawab rasa pesimistis warga saat pertama kalinya ia menghijaukan kampung.

Astra memberi pelatihan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya pelatihan hidroponik dan kompos. Achenk tak memikirkan lagi alat pembuatan hidroponik karena sudah dibantu oleh Astra. Pot bunga  dari drum besi menghiasi jalan.

Lalu ada 35 anak mendapat Beasiswa Lestari setiap semesternya. Ditambah bantuan perpustakaan dan buku bagi MDTA Tsamaratul Iman. Berbeda dengan taman baca yang dibangun di bawah pohon rindang sekitar rumah warga. Kemudian  alat-alat kesehatan di Posyandu berubah menjadi digital.

Dua  bus membawa rombongan kebanyakan ibu-ibu dari KBA Talang Babungo, Solok, Sumatera Barat. Kunjungan kali ini ingin melihat bagaimana KBA Indah Madani mengembangkan bidang kewirausahaan yaitu Sabun Cair Madani. Di gerai UKM, sabun dijual seharga 9000 rupiah. Sudah melibatkan 15 warga. Tak hanya itu, produk anyaman juga dijual. Hal ini meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar.

Taufik bersama-sama dengan Achenk kembangkan bidang ini, sebab belum ada sebelumnya. Pada November lalu, KBA Indah Madani masuk nominasi KBANNOVATION. Hanya ada 10 dari 77 KBA se-Indonesia. Katanya, ada lompatan besar dari bintang satu ke tiga hanya dalam setahun.

***

KAMI menutup wawancara dengan berfoto bersama sambil memegang Sabun Cair Madani. Pamitan dengan Ibu-ibu yang sedang sibuk merangkai miniatur kaktus. Selemparan batu dari Jalan Kopi, terik matahari kembali membakar kulit.

“Panas lagi nih,” kata teman saya sambil mengeluarkan sarung tangan, memakainya seraya menutup helm merapatkan kemeja untuk melindungi diri dari terpaan sinar matahari yang kian menyengat.#